Sinar Harapan, Jumat, 29 Mei 2015 | dibaca: 1020
Gerakan
mahasiswa kadang terjebak dalam situasi sulit, untuk membedakan antara
bergerak menegakkan moralitas, atau untuk kepentingan politik kekuasaan.
Gerakan mahasiswa sudah tidak murni lagi. Opini insinuatif ini
berkembang di kalangan elite politik belakangan ini; terutama setelah
gelombang demonstrasi mahasiswa terbelah dalam dua kutub, antara yang
menuntut pencabutan mandat Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan yang
tetap mendukung pemerintah, walau tetap ditambah frasa “secara kritis”.
Polarisasi itu jelas terlihat saat demonstrasi digalang untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015, yang kemudian disusul peringatan 17 tahun reformasi, 21 Mei 2015. Satu sisi ada gerakan yang jelas menuntut Presiden Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) JK mundur dari jabatannya. Di sisi lain ada sebagian gerakan mahasiswa yang tetap bersifat kritis kepada pemerintah, namun ingin mempertahankan Jokowi-JK hingga akhir masa jabatannya.
Kubu yang menuntut Jokowi-JK mundur adalah yang tidak menghadiri atau tidak diundang makan malam bersama Jokowi di Istana. Pihak yang ingin mempertahankan Jokowi-JK adalah yang diundang makan malam dan berdialog dengan Jokowi pada Senin (18/5) lalu. Kabarnya dialog itu berjalan santai namun konstruktif, sehingga berakhir dengan acara selfie dan foto bersama Jokowi.
Karena itu, muncul cibiran mahasiswa yang menuntut Jokowi-JK mundur karena tidak diundang ke Istana. Sebaliknya, yang tidak menuntut mundur karena sudah “diredam” di Istana. Artinya, secara tidak langsung ada anggapan, kedua kelompok mahasiswa ini tidak memiliki substansi nalar cukup memadai dalam gerakan politiknya.
Anggapan miring ini bukan tanpa alasan. Kalau kita cermati, tampak ada kegamangan dalam gerakan mahasiswa; misalnya, sebagian mereka yang sebelumnya tidak menuntut pencabutan mandat, dengan alasan yang tidak substantif (karena Jokowi dianggap ingkar janji untuk ketemu lagi Senin, 25 Mei 2015), akhirnya ikut-ikutan menuntut pencabutan mandat.
Kegamangan gerakan mahasiswa timbul akibat dua hal; pertama, tidak adanya landasan nalar kokoh yang mampu mempersatukan dan memperkuat soliditas gerakan mahasiswa. Kedua, adanya infiltrasi kepentingan politik kekuasaan baik dari yang pro maupun kontra rezim yang ada sekarang.
Landasan Moral
Gerakan mahasiswa akan memiliki nalar kokoh saat dilatarbelakangi kepentingan untuk menjaga tegaknya moralitas politik di tengah masyarakat, baik secara horizontal maupun vertikal. Nalar inilah yang memperkokoh sejarah gerakan mahasiswa sebagai moral force (kekuatan moral) dan the agent of social change (agen perubahan sosial).
Masalahnya, pada era keterbukaan politik seperti sekarang, saat sistem demokrasi tumbuh dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada segenap warga negara (termasuk mahasiswa) untuk mengekspresikan kepentingan dan aspirasi politiknya, gerakan moral pun rentan terhadap kemungkinan terkontaminasi kepentingan politik kekuasaan.
Di sinilah kadang gerakan mahasiswa terjebak dalam situasi sulit, untuk membedakan antara bergerak untuk menegakkan moralitas, atau untuk kepentingan politik kekuasaan. Apalagi, bicara moralitas pada dasarnya bicara soal nilai yang bisa kita temukan di mana pun. Moralitas tidak secara eksklusif melekat pada gerakan mahasiswa. Moralitas bisa juga melekat pada pejabat negara saat ia mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar; mampu menolak godaan suap dan tidak mementingkan kelompoknya saja (adil).
Lantas bagaimana membedakan gerakan mahasiswa yang konsisten dengan nilai-nilai moral dengan yang terkontaminasi kepentingan politik? Yang pertama lebih menyuarakan kebenaran, seperti menolak korupsi dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil dan tidak pro rakyat; yang kedua lebih mementingkan kepentingan kelompok dan cenderung masuk pada kepentingan kekuasaan, baik untuk mendukung maupun menolaknya.
Infiltrasi Elite
Gerakan mahasiswa bermetamorfosis menjadi menuver politik kekuasaan, saat diinfiltrasi kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang dibawa elite-elitenya. Satu fenomena yang lumrah dalam gerakan mahasiswa adalah adanya hubungan yang berpola patron-client antara senior-junior. Hubungan semacam ini bisa terjalin erat terutama karena adanya kesamaan interest politik, atau karena adanya subsidi finansial dari senior ke juniornya.
Hubungan kesamaan interest politik bisa dilihat pada gerakan-gerakan mahasiswa pada organisasi sayap (mahasiswa), yang menginduk pada (partai politik). Hubungan karena adanya subsidi finansial bisa dilihat pada gerakan mahasiswa dalam organisasi kemasyarakatan (ormas mahasiswa), yang dalam aktivitasnya mendapatkan subsidi dari senior-seniornya, yang menjadi pengusaha atau yang aktif di berbagai partai politik.
Pola hubungan patron-client antara mahasiswa (junior) dan elitenya (senior) inilah yang seyogianya diperbaiki. Hubungan kedua generasi ini seharusnya dibangun atas dasar sukarela, tidak ada “udang di balik batu”. Meski ada keinginan senior untuk membimbing juniornya, itu lebih pada pemompaan motivasi untuk tetap peduli dan bergerak untuk kepentingan rakyat, bukan untuk mengarahkan atau mengooptasi.
Pola hubungan senior-junior yang dibangun secara sukarela akan menumbuhkan independensi gerakan mahasiswa. Sebaliknya, pola hubungan patron-client akan mengooptasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang independen lebih mudah untuk mempertahankan basis moralitas gerakannya; yang terkooptasi akan lebih mudah diarahkan pada kepentingan politik kekuasaan tertentu. (*)
Jefri Geovani Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
Polarisasi itu jelas terlihat saat demonstrasi digalang untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015, yang kemudian disusul peringatan 17 tahun reformasi, 21 Mei 2015. Satu sisi ada gerakan yang jelas menuntut Presiden Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) JK mundur dari jabatannya. Di sisi lain ada sebagian gerakan mahasiswa yang tetap bersifat kritis kepada pemerintah, namun ingin mempertahankan Jokowi-JK hingga akhir masa jabatannya.
Kubu yang menuntut Jokowi-JK mundur adalah yang tidak menghadiri atau tidak diundang makan malam bersama Jokowi di Istana. Pihak yang ingin mempertahankan Jokowi-JK adalah yang diundang makan malam dan berdialog dengan Jokowi pada Senin (18/5) lalu. Kabarnya dialog itu berjalan santai namun konstruktif, sehingga berakhir dengan acara selfie dan foto bersama Jokowi.
Karena itu, muncul cibiran mahasiswa yang menuntut Jokowi-JK mundur karena tidak diundang ke Istana. Sebaliknya, yang tidak menuntut mundur karena sudah “diredam” di Istana. Artinya, secara tidak langsung ada anggapan, kedua kelompok mahasiswa ini tidak memiliki substansi nalar cukup memadai dalam gerakan politiknya.
Anggapan miring ini bukan tanpa alasan. Kalau kita cermati, tampak ada kegamangan dalam gerakan mahasiswa; misalnya, sebagian mereka yang sebelumnya tidak menuntut pencabutan mandat, dengan alasan yang tidak substantif (karena Jokowi dianggap ingkar janji untuk ketemu lagi Senin, 25 Mei 2015), akhirnya ikut-ikutan menuntut pencabutan mandat.
Kegamangan gerakan mahasiswa timbul akibat dua hal; pertama, tidak adanya landasan nalar kokoh yang mampu mempersatukan dan memperkuat soliditas gerakan mahasiswa. Kedua, adanya infiltrasi kepentingan politik kekuasaan baik dari yang pro maupun kontra rezim yang ada sekarang.
Landasan Moral
Gerakan mahasiswa akan memiliki nalar kokoh saat dilatarbelakangi kepentingan untuk menjaga tegaknya moralitas politik di tengah masyarakat, baik secara horizontal maupun vertikal. Nalar inilah yang memperkokoh sejarah gerakan mahasiswa sebagai moral force (kekuatan moral) dan the agent of social change (agen perubahan sosial).
Masalahnya, pada era keterbukaan politik seperti sekarang, saat sistem demokrasi tumbuh dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada segenap warga negara (termasuk mahasiswa) untuk mengekspresikan kepentingan dan aspirasi politiknya, gerakan moral pun rentan terhadap kemungkinan terkontaminasi kepentingan politik kekuasaan.
Di sinilah kadang gerakan mahasiswa terjebak dalam situasi sulit, untuk membedakan antara bergerak untuk menegakkan moralitas, atau untuk kepentingan politik kekuasaan. Apalagi, bicara moralitas pada dasarnya bicara soal nilai yang bisa kita temukan di mana pun. Moralitas tidak secara eksklusif melekat pada gerakan mahasiswa. Moralitas bisa juga melekat pada pejabat negara saat ia mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar; mampu menolak godaan suap dan tidak mementingkan kelompoknya saja (adil).
Lantas bagaimana membedakan gerakan mahasiswa yang konsisten dengan nilai-nilai moral dengan yang terkontaminasi kepentingan politik? Yang pertama lebih menyuarakan kebenaran, seperti menolak korupsi dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil dan tidak pro rakyat; yang kedua lebih mementingkan kepentingan kelompok dan cenderung masuk pada kepentingan kekuasaan, baik untuk mendukung maupun menolaknya.
Infiltrasi Elite
Gerakan mahasiswa bermetamorfosis menjadi menuver politik kekuasaan, saat diinfiltrasi kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang dibawa elite-elitenya. Satu fenomena yang lumrah dalam gerakan mahasiswa adalah adanya hubungan yang berpola patron-client antara senior-junior. Hubungan semacam ini bisa terjalin erat terutama karena adanya kesamaan interest politik, atau karena adanya subsidi finansial dari senior ke juniornya.
Hubungan kesamaan interest politik bisa dilihat pada gerakan-gerakan mahasiswa pada organisasi sayap (mahasiswa), yang menginduk pada (partai politik). Hubungan karena adanya subsidi finansial bisa dilihat pada gerakan mahasiswa dalam organisasi kemasyarakatan (ormas mahasiswa), yang dalam aktivitasnya mendapatkan subsidi dari senior-seniornya, yang menjadi pengusaha atau yang aktif di berbagai partai politik.
Pola hubungan patron-client antara mahasiswa (junior) dan elitenya (senior) inilah yang seyogianya diperbaiki. Hubungan kedua generasi ini seharusnya dibangun atas dasar sukarela, tidak ada “udang di balik batu”. Meski ada keinginan senior untuk membimbing juniornya, itu lebih pada pemompaan motivasi untuk tetap peduli dan bergerak untuk kepentingan rakyat, bukan untuk mengarahkan atau mengooptasi.
Pola hubungan senior-junior yang dibangun secara sukarela akan menumbuhkan independensi gerakan mahasiswa. Sebaliknya, pola hubungan patron-client akan mengooptasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang independen lebih mudah untuk mempertahankan basis moralitas gerakannya; yang terkooptasi akan lebih mudah diarahkan pada kepentingan politik kekuasaan tertentu. (*)
Jefri Geovani Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
No comments:
Post a Comment