Rainy MP Hutabarat
Kompas Cetak |
438 dibaca
0 komentar
Internet dan lingkungan hidup, bagaimana keduanya berkelindan? Yang satu disebut ruang maya, yang satunya lagi ruang nyata.
Satu hal pasti, selain perlu pulsa, mengakses internet butuh energi
listrik sebab semua jenis gawai pakai baterai. Inilah tautan terpenting
antara internet dan lingkungan hidup. Penemuan listrik adalah fondasi
perkembangan pesat teknologi. Soal ini tentu tidak krusial. Energi
listrik untuk mengisi baterai gawai terlalu kecil dibandingkan dengan
yang dikonsumsi papan iklan berhias lampu warna-warni dan film yang
bergerak sepanjang hari.
Yang menonjol justru manfaat internet sebagai ruang publik
virtual,khususnyamedia sosial, untuk membuka kesadaran publik lebih
lebar tentang urgensi perawatanlingkungan hidup. Ekologi media
diharapkan meningkatkan kesadaran dan pengetahuanpublik tentang
pentingnya pemulihandan atau perawatanlingkungan yang telah rusak parah.
Asumsinya, kiantinggi frekuensi media menyiarkan isu lingkungan
hidup, kian paham dan sadar publik pengguna media akan urgensi perawatan
atau pemulihannya. Kendati pengguna internet, khususnya media sosial,
tak seragam soal pemanfaatan internet, ekologi media diharapkan jadi
instrumen penyadaran sehinggamendorong aksi nyata.
Tentu ini harapan muluk. Kita tahu lingkungan hidup bukanlah isu seksi
dibandingkan korupsi, politik, atau skandal seks yang melibatkan tokoh
publik. Masalah ini baru mengemuka jika terjadi bencana besar
lingkungan, seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, erupsi gunung
berapi, kekeringan dan kelangkaan air bersih,atau cuaca panas ekstrem
yang makan korban manusia dan harta benda dalam jumlah besar.
Sebatang pohon tua yang tumbang melintang di jalan umum tak jadi berita
media. Ketika pohon itu menimpa mobil yang tengah melintas kencang,
lalu dua orang di mobil tewas seketika, barulah itu berita.Apalagi jika
mobilitu milik menteri dan yang tewas sang menteri.Bad news is good news berlaku bagi peliputan bencana alam.
Di sisi lain, publik pengguna internet dan media sosial punya kemauan
masing-masing dalam berinternet, dan tak pula selalu positif. Karena
itu, internet,selainberpotensi menyadarkan publik tentang kerusakan
lingkungan hidup kemudian mendo- rong untuk bertindak,juga menjauhkan
kitadari masalah itu.
Data Aliansi Pengguna Jasa Internet Indonesia mencatat separuh pengguna
aktif internet di Indonesia 88,1 juta jiwa, sepertiga penduduk
Indonesia yang 255,5 juta. Sebanyak 55 persen sudah bekerja, disusul
mahasiswa (18 persen) dan ibu rumah tangga (16 persen).Waktu yang
dihabiskanberinternet 1-3 jam, bahkan ada yang sembilan jam per hari.
Saya yakin, mengingat internet kini mudah diakses melalui ponsel,
pengguna aktif menghabiskan waktu berinternet lebih dari tiga jam. Nah,
data ini bisa menunjuk pada isyaratlain: kian lama seseorang berinternet
kian kehilangan waktu untuk mengurus lingkungan.
Bukan prioritas
Jika di dunia pers lingkungan hidup bukan isu seksi, dalam kehidupan
sehari-hari lingkungan hidup juga bukan prioritas. Ketika kesibukan
sehari-hari relatif padat, sementara gawai danmedia sosial jadi
kebutuhan sekaligus gayahidup, urusan merawatlingkunganadalah hal
pertama yang dikeluarkan dari daftar prioritas.
Memang merawat lingkungan hidup tak mesti berhubungan langsung dengan
alam. Mengubah pola hidup, khususnya konsumsi yang ramah lingkungan,
juga bentuk kepedulian. Konsumsi yangrakus, yang hanya mengejar pemuasan
(want) ketimbang pemenuhan (need), adalah pangkal
perusakanalam secara masif. Dengan keugaharian, eksploitasi alam akan
direm. Mereka yang tinggal di flat, rumah susun, atau apartemen dengan
luas ruangterbatas pasti paham pentingnya membeli sesuatu berdasarkan
kebutuhan.
Mereka yang punya uang berlebih memang bisa membayar pekerja untuk
mengurus lingkungan. Artinya, merawat lingkungan hidup dengan meminjam
tangan orang laindengan duit sendiri. Tentu ini tak salah. Namun,
kita—apa pun agama, suku, ras, kaya atau miskin, penguasa atau
rakyat,intelektual atau bukan—hidup di Planet Bumi yang satu yang
kinirusak parah dan membutuhkan kepedulian kita.
Gelombang panas pada puncak musim panas belakangan menewaskan 1.500
orang di India dan ratusan orang di Pakistan. Sebanyak 100.000 kelelawar
jatuh dari angkasa dan mati di Australia, sementara Amerika Serikat
beku hingga minus 26 derajat celsius. Ini merupakan peringatan alam yang
amat keras bagi seluruh Bumi. Gelombang panas ini juga melanda Jepang
dan Inggris dengan korban manusia dan hewan. Di Indonesia, seiring
kemarau, terjadi bencana kekeringan, kebakaran hutan, dan kelangkaan air
bersih di banyakwilayah.
Di sinilah soalnya:kita yang tak terkena bencana lingkungan
cenderungmemelototi gawaisebagai hobi atau kerja ketimbang sejenak
menggerakkantangan- tangan kita menghijaukan teras dan pekarangan. Kita
lebih memilih membelanjakan uang untuk gawai dan aksesorinya, juga
pulsa, ketimbang membeli pupuk, pot, atau tanaman.
Dulu berkebun dan mengurus tanaman adalah kegemaran banyak orang
sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Sekarang beli pulsa, aksesori
gawai; bergaul di media sosial atau menjelajahi internet; pilihan utama.
Di mana-mana kian umum orang berjalan sambil bertelepon atau
menggerakkan layar sentuh gawai. Sesama manusia yang duduk di samping
atau di depan kita tak dihiraukan. Media sosial jadi ”kitab suci” harian
yang tanpanya kita merasa tak mampu menjalani hidup.
Diskusi maya, kerja nyata
Teknologi membuat manusia merasa sanggup hidup tanpa melihat pepohonan
dan hewan selama sebulan, setahun. Bukankah aneka tumbuhan, hewan, dan
pemandangan alam yang ajaib kini bisa dinikmati sepuasnya dari layar
laptop? Ini bukan realitas yang dikonstruksikan dalam film fiksi
saintifik, ini kisah nyata manusia netizen. Sehari tanpa gawai atau ponsel ibarat hidup berasa neraka. Ponsel kini ibarat kekasih, suami/istri kedua.
Dalam tempo cepat dunia maya telah jadi bagian penting dalam hidup
kita. Sebagian aktivitas kerja, seperti transaksi bisnis dan komunikasi,
berlangsung di ruang virtual.
Memang sebagian aktivitas hidup bisa berlangsung di ruang virtual,
seperti kampanye, diskusi, obrolan, promosi, atau transaksi bisnis.
Namun, merawat atau memulihkan lingkungan hidup hanya dapat dilakukan di
dunia nyata. Sudah saatnya kita peduli terhadap dedaunan kering yang
gugur perlahan, tumpukan sampah plastik di tepi jalan, puntung rokok
yang dibuang lewat kaca jendela mobil, rerumputan yang meranggas di
taman kota.
Jangan sampai kiamat ekologis merampas paksa waktu, tenaga, dan uang
kita untuk memulihkan yang harus dipulihkan demi kelangsungan hidup di
Bumi. Menyikapi Bumi yang kian rusak parah, internet, khususnya media
sosial, baru bersifat transformatif jika tak semata membuka kesadaran
dan pemikiran, tetapi sekaligus pendorong gerakan dan kerja nyata untuk
merawat dan memulihkan lingkungan. Prinsip hubungan internet dan
lingkungan hidup adalah: maya diskusinya, tetapi nyata gerakan dan
tindakannya!
Rainy MP Hutabarat, Pekerja Media dan Cerpenis
No comments:
Post a Comment