Sinar Harapan Jumat, 04 September 2015 | dibaca: 71
Di era kepresidenan Joko Widodo, ada fenomena baru yang berkembang dalam kancah perpolitikan nasional.
Di era kepresidenan Joko Widodo, ada fenomena baru yang berkembang
dalam kancah perpolitikan nasional, yakni dahsyatnya kekuatan relawan
yang tanpa reserve mendukung dan membela Jokowi. Namun, pada saat yang
sama (sebagai penyeimbang) fenomena sebaliknya, yakni keberadaan para
pembenci (haters) pun muncul dengan mencela apa pun yang dilakukan
Jokowi.
Menolak kebijakan apa pun yang dikeluarkan pemerintah, jika disertai argumentasi yang masuk akal berikut jalan keluarnya yang lebih bagus, tentu akan menjadi masukan yang sangat bermanfaat. Ini juga akan sangat konstruktif untuk memelihara demokratisasi dan meringankan beban pemerintah di masa datang.
Bagi segenap rakyat yang belum merasakan manfaat apa-apa dari kehadiran pemerintah, penolakan kebijakan secara argumentatif juga bisa menumbuhkan optimisme bahwa di negeri ini masih ada tokoh-tokoh politik yang peduli dengan nasib mereka.
Masalahnya, yang dilakukan haters lebih mirip ungkapan kekecewaan atau lontaran ketidaksukaan. Dikatakan demikian karena mereka menyampaikannya tanpa didasari argumentasi memadai, tanpa pilihan alternatif jalan keluar yang lebih baik.
Jika yang melakukan penolakan adalah rakyat biasa yang merasa terbebani kebijakan pemerintah atau sekelompok anak-anak muda, misalnya mahasiswa yang masih dibalut idealis memelangit, kita tentu mafhum. Namun, haters itu umumnya bukan rakyat biasa. Mereka adalah para elite politik, terutama para pendukung calon presiden yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Sebagai elite politik, seyogianya mereka memahami kondisi yang dihadapi pemerintah sekarang karena sebagian mereka pun pernah mengalaminya. Mungkinkah, setelah lengser dari jabatan empuk yang pernah didudukinya dan setelah kalah bersaing merebut kembali jabatan itu, tiba-tiba memiliki kecerdasan dan keterampilan lebih untuk mengelola pemerintahan? Sungguh tak mudah mempercayai hal ini. Hal yang lebih masuk akal, apa yang dilakukan itu mungkin lebih tepat disebut manuver politik ketimbang masukan yang konstruktif bagi pemerintah.
Yang namanya manuver politik, bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja, apalagi di alam demokrasi seperti sekarang. Masalahnya, saat masyarakat menghadapi berbagai kesulitan, sedangkan pemerintah tak punya banyak pilihan, manuver politik yang ditempuh haters itu akan tampak seperti mengail di air keruh. Alih-alih mencari solusi malah akan lebih memperkeruh suasana.
Kita percaya, persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat berat dan kompleks. Sejak pertengahan 1997, negeri ini dilanda krisis multidimensi. Sejumlah presiden setelah Soeharto, seperti Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono terbukti belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis. Jadi, tak heran jika ada kalangan yang berpendapat, “Siapa pun presidennya, tak akan mampu menanggulangi persoalan yang dihadapi bangsa ini.”
Meski sumbang dan pesimistis, barangkali itulah fakta yang kita hadapi kini. Sejauh ini, bahkan Presiden Jokowi yang dipilih langsung dan dielu-elukan rakyat pun belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.
Ini menunjukkan dukungan dan kepercayaan rakyat tidak cukup diwujudkan dengan ikut serta dalam pemilu. Hal yang lebih penting adalah bagaimana memupuk kepercayaan itu setelah pemilu berlangsung.
Penting untuk digarisbawahi, dalam memelihara kepercayaan rakyat, tak mungkin bisa berjalan dengan baik tanpa ada kesadaran bersama dari kedua pihak, antara pemerintah (presiden) yang dipercaya dan rakyat yang memercayainya.
Adalah keharusan bagi pemerintah untuk terus-menerus mendengar, menyerap, dan menunaikan aspirasi rakyat. Namun, pada saat yang sama, pemahaman rakyat akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemerintah tentu akan sangat membantu meringankan beban sehingga pemerintah bisa berpikir objektif dalam mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Dalam hal kebijakan menaikkan harga BBM, mungkin ini bukan jalan terbaik. Namun secara realistis, untuk saat ini, nyatanya itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh pemerintah. Subsidi harga BBM yang sebelumnya lebih banyak dinikmati para pengusaha dan orang-orang kaya (sebagai pihak yang lebih banyak memanfaatkan BBM), kini diubah menjadi kompensasi yang dikhususkan bagi keluarga miskin dalam bentuk Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera.
Melihat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, tentu akan sangat bermanfaat jika kita ikut membantu mengawasi agar benar-benar tepat sasaran. Ini agar fasilitas pendidikan, fasilitas pengobatan dan perawatan gratis itu benar-benar disalurkan tepat mengenai sasaran, dan tidak dikorupsi atau disunat aparat yang ada di bawah.
Ada pepatah mengatakan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Daripada terus-menerus mencaci maki Presiden Jokowi, lebih baik segera singsingkan baju, ikut membantu bahu-membahu mencari jalan keluar dari segala kesulitan yang dihadapi bangsa ini.
Penulis adalah Jeffrie Geovanie Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
Menolak kebijakan apa pun yang dikeluarkan pemerintah, jika disertai argumentasi yang masuk akal berikut jalan keluarnya yang lebih bagus, tentu akan menjadi masukan yang sangat bermanfaat. Ini juga akan sangat konstruktif untuk memelihara demokratisasi dan meringankan beban pemerintah di masa datang.
Bagi segenap rakyat yang belum merasakan manfaat apa-apa dari kehadiran pemerintah, penolakan kebijakan secara argumentatif juga bisa menumbuhkan optimisme bahwa di negeri ini masih ada tokoh-tokoh politik yang peduli dengan nasib mereka.
Masalahnya, yang dilakukan haters lebih mirip ungkapan kekecewaan atau lontaran ketidaksukaan. Dikatakan demikian karena mereka menyampaikannya tanpa didasari argumentasi memadai, tanpa pilihan alternatif jalan keluar yang lebih baik.
Jika yang melakukan penolakan adalah rakyat biasa yang merasa terbebani kebijakan pemerintah atau sekelompok anak-anak muda, misalnya mahasiswa yang masih dibalut idealis memelangit, kita tentu mafhum. Namun, haters itu umumnya bukan rakyat biasa. Mereka adalah para elite politik, terutama para pendukung calon presiden yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Sebagai elite politik, seyogianya mereka memahami kondisi yang dihadapi pemerintah sekarang karena sebagian mereka pun pernah mengalaminya. Mungkinkah, setelah lengser dari jabatan empuk yang pernah didudukinya dan setelah kalah bersaing merebut kembali jabatan itu, tiba-tiba memiliki kecerdasan dan keterampilan lebih untuk mengelola pemerintahan? Sungguh tak mudah mempercayai hal ini. Hal yang lebih masuk akal, apa yang dilakukan itu mungkin lebih tepat disebut manuver politik ketimbang masukan yang konstruktif bagi pemerintah.
Yang namanya manuver politik, bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja, apalagi di alam demokrasi seperti sekarang. Masalahnya, saat masyarakat menghadapi berbagai kesulitan, sedangkan pemerintah tak punya banyak pilihan, manuver politik yang ditempuh haters itu akan tampak seperti mengail di air keruh. Alih-alih mencari solusi malah akan lebih memperkeruh suasana.
Kita percaya, persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat berat dan kompleks. Sejak pertengahan 1997, negeri ini dilanda krisis multidimensi. Sejumlah presiden setelah Soeharto, seperti Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono terbukti belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis. Jadi, tak heran jika ada kalangan yang berpendapat, “Siapa pun presidennya, tak akan mampu menanggulangi persoalan yang dihadapi bangsa ini.”
Meski sumbang dan pesimistis, barangkali itulah fakta yang kita hadapi kini. Sejauh ini, bahkan Presiden Jokowi yang dipilih langsung dan dielu-elukan rakyat pun belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.
Ini menunjukkan dukungan dan kepercayaan rakyat tidak cukup diwujudkan dengan ikut serta dalam pemilu. Hal yang lebih penting adalah bagaimana memupuk kepercayaan itu setelah pemilu berlangsung.
Penting untuk digarisbawahi, dalam memelihara kepercayaan rakyat, tak mungkin bisa berjalan dengan baik tanpa ada kesadaran bersama dari kedua pihak, antara pemerintah (presiden) yang dipercaya dan rakyat yang memercayainya.
Adalah keharusan bagi pemerintah untuk terus-menerus mendengar, menyerap, dan menunaikan aspirasi rakyat. Namun, pada saat yang sama, pemahaman rakyat akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemerintah tentu akan sangat membantu meringankan beban sehingga pemerintah bisa berpikir objektif dalam mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Dalam hal kebijakan menaikkan harga BBM, mungkin ini bukan jalan terbaik. Namun secara realistis, untuk saat ini, nyatanya itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh pemerintah. Subsidi harga BBM yang sebelumnya lebih banyak dinikmati para pengusaha dan orang-orang kaya (sebagai pihak yang lebih banyak memanfaatkan BBM), kini diubah menjadi kompensasi yang dikhususkan bagi keluarga miskin dalam bentuk Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera.
Melihat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah, tentu akan sangat bermanfaat jika kita ikut membantu mengawasi agar benar-benar tepat sasaran. Ini agar fasilitas pendidikan, fasilitas pengobatan dan perawatan gratis itu benar-benar disalurkan tepat mengenai sasaran, dan tidak dikorupsi atau disunat aparat yang ada di bawah.
Ada pepatah mengatakan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Daripada terus-menerus mencaci maki Presiden Jokowi, lebih baik segera singsingkan baju, ikut membantu bahu-membahu mencari jalan keluar dari segala kesulitan yang dihadapi bangsa ini.
Penulis adalah Jeffrie Geovanie Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
No comments:
Post a Comment