Sunday, September 6, 2015

Pilkada Tanpa “Mahar”

Jumat, 12 Juni 2015 | dibaca: 1275
Sejumlah partai politik berkomitmen menghilangkan tradisi pemberian “mahar” dalam proses penjaringan (seleksi) calon kepala daerah.
Sejumlah partai politik berkomitmen menghilangkan tradisi pemberian “mahar” dalam proses penjaringan (seleksi) calon kepala daerah. Ini akan menjadi pertanda baik dalam proses demokratisasi pemilihan kepala daerah (pilkada).

“Mahar” secara generik artinya maskawin, atau secara terminologis berarti pemberian wajib calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan sebagai bentuk ketulusan hati dan ekspresi rasa cinta yang mendalam pada saat akad nikah dilangsungkan.

Di arena politik, istilah “mahar” dipopulerkan oleh para aktivis partai Islam yang dibebankan kepada bakal calon yang diseleksi untuk menjadi calon yang akan maju, baik dalam pilkada maupun pemilihan presiden (pilpres). Tanpa memberikan “mahar” dengan jumlah yang disepakati, seorang bakal calon tidak bisa menjadi calon dari partai yang meminang/dipinang.



Dengan demikian, “mahar” tak sekadar mengalami pergeseran, tapi juga deviasi makna, dari yang ikhlas (dengan ketulusan hati dalam prosesi pernikahan) menjadi penuh interest (berharap menjadi calon dalam proses kandidasi). “Mahar” menjadi semacam modus “pencucian istilah" dari “pembelian kursi” yang notabene merupakan praktik penyuapan menjadi (seolah-olah) dilegalkan, atau bahkan diharuskan sebagaimana dalam proses pernikahan.

Jika partai benar-benar membutuhkan calon pemimpin yang berkualitas plus integritas yang tinggi, mestinya partailah yang berinisiatif merekrut mereka untuk diseleksi melalui proses yang objektif dan akuntabel, bukan dengan cara memungut “mahar” dari para calon itu. Calon pemimpin yang menggunakan “mahar” sebagai jalan untuk “membeli” kursi kekuasaan bukanlah pemimpin yang sebenarnya. Ia pemimpin palsu.

Akar Korupsi
Praktik pemberian “mahar” menjadi beban yang memberatkan karena jumlahnya yang besar. Jika diakumulasi, jumlahnya bisa melebihi gaji yang seharusnya diterima selama menjadi kepala daerah. Itu pun jika ia terpilih. Jika tidak terpilih akan menjadi utang dan kerugian besar bagi sang kandidat.

Untuk yang terpilih, “mahar” menjadi seperti modal yang telah dikeluarkan.  Sebagai modal, tentu ada upaya untuk mengembalikannya. Dalam setiap transaksi pun akan berlaku hukum dagang bahwa pada setiap modal yang dikeluarkan harus bisa membawa keuntungan, bila perlu keuntungan yang berlipat-lipat.

Dari mana para kepala daerah itu bisa meraih keuntungan? Di sinilah kerap terjadi korupsi. Karena jika semata-mata diambil dari gaji, tidak akan sampai pada jumlah yang diinginkan, maka dicarilah upaya-upaya di luar kepatutan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Keuntungan itu, biasanya, diambil dari pembiayaan program pemerintah.  Jika program itu berupa proyek pembangunan infrastruktur, tingkat destruksinya jauh lebih tinggi karena di samping penyunatan anggaran itu sendiri, akan berakibat pula pada rapuhnya infrastruktur karena dibiayai jauh di bawah kualitas yang seharusnya.

Bisa juga diambil dari fee para kontraktor yang memenangi tender.  Parahnya lagi, umumnya instansi menginginkan praktik semacam ini terus berlangsung karena banyak pula yang ingin menjadi partnernya, dengan prinsip saling menguntungkan.

Banyaknya kasus gedung sekolah roboh, jembatan runtuh, dan jalan raya yang cepat berlubang dan mengelupas, merupakan akibat langsung dari penyunatan anggaran biaya infrastruktur. Infrastruktur menjadi tidak bersahabat karena bisa rusak atau runtuh kapan saja.

Patut Diapresiasi
Oleh karena itu, partai-partai yang menolak praktik pemberian “mahar” patut diapresiasi. Harapannya (minimal) partai tidak dicurigai sebagai pihak yang menjadi akar korupsi. Ini penting karena partai politik merupakan pihak yang paling banyak dicurigai atau bahkan dikecam di tengah-tengah masyarakat. Kecaman yang tumbuh akibat performance dari masing-masing partai yang, di samping masih kurang berperan maksimal sesuai fungsinya, juga masih sering melakukan korupsi atau kesalahan-kesalahan lain.

Kesalahan apa yang paling mudah memicu kebencian, jawabnya korupsi, karena praktik korupsi berada pada tingkat yang menjijikkan. Dalam proses pemilihan, baik pilkada maupun pilpres, praktik korupsi biasanya berjalan secara masif walaupun kadang sulit dideteksi. Ibarat orang buang angin, baunya menyengat, tapi tak terlihat wujudnya dan sulit ditebak siapa pelakunya.

Pemotongan (peniadaan) pemberian “mahar” bisa menjadi salah satu cara yang jitu untuk meminimalkan beban berat para kandidat. Mengurangi modus pengembalian modal dan membuat proses seleksi kandidat—dari bakal calon menjadi calon—menjadi jauh lebih objektif dan akuntabel.

Jika kita ingin korupsi hilang atau setidaknya diminimalkan maka kita harus mencabut dari akarnya. Pemberian “mahar” merupakan salah satu akar dari korupsi, di samping money politics –yakni memberi uang saku atau uang jajan bagi para pemilih (voters).

Jeffrie Geovanie Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

No comments:

Post a Comment