SINAR HARAPAN, Jumat, 30 Mei 2014 | dibaca: 634
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong
Dalam
acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah
yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon
presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi
kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri
atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta
pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.
Dengan
mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik,
organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi
netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke
pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini
dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.
Sebagai
organisasi dakwah, Muhammadiyah sebenarnya mempunyai kepentingan untuk
“memberi tahu” mana di antara kedua pasangan capres-cawapres yang
dianggap lebih baik, setidaknya yang kejahatannya lebih sedikit. Tapi,
jika hal itu dilakukan, Muhammadiyah akan dianggap partisan, tidak
mengayomi semua golongan. Jadi, sikap netral menjadi pilihan yang tepat.
Muhammadiyah
adalah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang
didasarkan kepada khitah yang menjadi salah satu pedoman dalam gerakan
politiknya. Secara garis besar, khitah berarti kebijakan strategis.
Dalam
kebijakan strategis ditegaskan, dalam menjalankan dakwahnya,
Muhammadiyah mengambil dua saluran secara serentak, yakni saluran
politik melalui partai politik dan saluran masyarakat melalui organisasi
kemasyarakatan. Karena diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah
tahun 1969 di Ponorogo, khitah ini disebut “Khitah Ponorogo”
(Syaifullah, 1997: 233-234).
Ada yang
mengartikan khitah politik Muhammadiyah adalah politik etis atau yang
sering disebut Amien Rais sebagai politik adiluhung (high politics).
Tentu yang dimaksud bukan politik untuk meraih jabatan yang tinggi, tapi
politik yang mengacu nilai-nilai luhur, tidak kepada politik praktis
yang memburu jabatan-jabatan strategis.
Pada
setiap kurun, khitah mengalami penyesuaian-penyesuaian redaksional yang
dikorelasikan dengan kebutuhan-kebutuhan faktual. Meskipun demikian,
prinsipnya tetap sama, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, namun
tidak alergi terhadap politik karena dalam strategi perjuangan
Muhammadiyah, politik merupakan salah satu sarana berdakwah.
Karena
fungsinya sebagai sarana berdakwah, perlu segera dicatat, netralitas
Muhammadiyah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan berarti
mendukung golput. Muhammadiyah tetap punya pilihan, namun itu diserahkan
ke masing-masing individu. Anggota Muhammadiyah tidak dilarang
mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendakinya.
Dengan
demikin, netralitas politik Muhammadiyah bisa disebut netralitas aktif.
Meskipun netral, tapi tetap aktif memberikan pencerahan kepada siapa
pun yang meminta penjelasan, pandangan, dan pertimbangan untuk memilih
siapa di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik.
Pencerahan
yang dimaksud biasanya dilakukan tokoh-tokohnya dengan cara
isyarat-isyarat tertentu–baik melalui ucapan maupun tindakan—yang tidak
terlalu sulit dibaca dan dipahami warga Muhammadiyah yang umumnya
terdidik.
Menjelang pilpres kali ini misalnya,
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin pernah
menegaskan, Hatta Rajasa–cawapres yang mendampingi capres Prabowo—tidak
mewakili Muhammadiyah. Penegasan ini untuk menjawab spekulasi bahwa
calon yang diajukan Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap identik dengan
Muhammadiyah.
Meskipun lahir dari salah satu
keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Sermarang pada 1998 dan
didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, sebagai partai politik PAN
tidak memiliki hubungan yang mengikat dengan Muhammadiyah. Selain karena
ada rumusan khitah sebagaimana disebutkan di atas, hubungan
Muhammadiyah dengan partai politik (termasuk PAN) lebih banyak
dipengaruhi sikap para pemimpinnya.
Keharmonisan
hubungan antara pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin partai politik
sedikit banyak memengaruhi ke arah mana kecenderungan umumnya dukungan
warga Muhammadiyah.
Seperti pada partai
politik, dukungan terhadap capres-cawapres juga akan memiliki pola yang
relatif sama, sedikit banyak dipengaruhi hubungan pemimpin Muhammadiyah
dengan pasangan capres-cawapres yang ada.
Jadi,
jika ada pertanyaan, akan diarahkan ke mana dukungan warga Muhammadiyah
pada pilpres? Jawabannya akan sangat tergantung siapa yang menjawab.
Jawaban itu dianggap mewakili individu.
Jika
ada yang mengklaim jawaban itu dengan mengatasnamakan organisasi, jelas
merupakan kesalahan fatal karena melanggar khitah perjuangan
Muhammadiyah.
Dengan netralitas politiknya,
Muhammadiyah akan tetap menjadi tenda besar, tempat bernaung semua
golongan, semua kepentingan, yang menjunjung etika agama dan moral
politik yang benar. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik
bukan bagian etika yang benar.
Karena saat
kepentingan politik memasuki ranah agama, akan muncul pertikaian
antargolongan dan antarkepentingan. Pesan-pesan moral agama yang santun
dan menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin) tergerus
kepentingan politik praktis.
Jeffrie Geovanie Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
No comments:
Post a Comment