Muhammad Yusuf
KOMPAS Cetak |
Ibarat pesawat, posisi petinggi
instansi penegak hukum—KPK, kejaksaan, dan kepolisian—merupakan
pilotnya. Di tangan mereka nasib para penumpang ditentukan sampai atau
tidak ke tempat tujuannya.
Pengendalian dan penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum
sangat dipengaruhi oleh figur atau profil dari pemimpin penegak hukum
dimaksud. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kuatnya figur dan magnet
serta pengaruh yang dimiliki Jenderal Hoegeng, Jaksa Agung Suprapto,
Jaksa Agung Baharuddin Lopa, demikian pula Ketua Mahkamah Agung Mudjono,
dalam memberikan warna semangat dan perilaku para penegak hukum di
bawah kendali mereka.
Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak ahli hukum, memiliki
perangkat hukum yang memadai, didukung oleh lembaga yang mempunyai
kemampuan menelusuri aliran dana dari pihak terkait dalam suatu
kejahatan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), seharusnya sudah sama posisi penegakan hukumnya dengan
negara-negara tetangga seperti Singapura, Jepang, bahkan Norwegia
sekalipun.
Pertanyaan mendasar, mengapa hingga saat ini berdasarkan laporan hasil
survei Transparency International Corruption Index tahun 2014, Indonesia
masih berada di urutan ke-107 dari 174 negara, bahkan posisi tersebut
tidaklah menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki agama,
menjunjung tinggi moralitas, mempunyai fasilitas dan sistem informasi
yang memadai dengan didukung oleh PPATK sebagai lembaga yang mampu
membantu penelusuran aliran dana dari pelaku kejahatan di bidang
ekonomi.
Pokok masalah
Penulis memandang ada tiga pokok masalah yang membuat Indonesia masih
tertinggal dalam bidang pemberantasan korupsi khususnya dan penegakan
hukum pada umumnya, yaitu Indonesia masih miskin tokoh panutan di
lingkungan penegak hukum yang dapat menjadi roda penggerak ke arah
perubahan yang lebih baik dan bersifat revolusioner. Tokoh panutan di
sini mengandung arti bahwa orang tersebut mempunyai pengaruh yang pada
umumnya dimiliki oleh petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum.
Sang petinggi atau pemimpin instansi penegak hukum haruslah memiliki
integritas yang dapat diandalkan dan dibanggakan. Integritas yang
dimaksud di sini meliputi aspek motivasi yang harus berorientasi pada
mewujudkan keadilan dan kebenaran yang bermuara pada kepastian hukum.
Komponen berikutnya dari integritas adalah sikap yang bercirikan berani,
bernyali, tegas, tega tetapi rendah hati, dan berpola hidup sederhana.
Selanjutnya kejujuran. Kejujuran sebagai salah satu komponen dari
integritas harus menjadi pakaian sehari-hari yang tergambar melalui
tutur kata, perilaku dan sikap yang baik, serta gaya hidup sederhana
dari sang petinggi. Komponen lain dari integritas adalah independensi
yang menggambarkan sang penegak hukum tidak dapat dipengaruhi oleh siapa
pun, dengan apa pun, karena sang petinggi memang bebas dari
kepentingan. Adapun komponen terakhir dari integritas adalah komitmen.
Komitmenmerupakan bentuk nyata dari tekad sang pemimpin sebagai insan
yang amanah memegang teguh janji yang telah dinyatakannya.
Adapun syarat kedua yang harus dimiliki seseorang petinggi atau
pemimpin instansi penegak hukum, termasuk para penegak hukum di
bawahnya, adalah kompetensi. Kompetensi di sini meliputi pemahaman yang
bersangkutan terhadap norma hukum yang tertuang dalam undang-undang
berikut turunannya dan latar belakang serta tujuan dari norma tersebut.
Ditambah lagi pemahaman dari yang bersangkutan tentang etiket (tata
cara) mengimplementasikan atau menegakkan norma hukum tersebut secara
arif, bijaksana tanpa arogansi dan kesewenang-wenangan. Dengan
kompetensi seperti itu, penegakan hukum yang dilakukan sang petinggi dan
jajarannya akan menimbulkan kenyamanan dan akan sejalan dengan maksud
dan tujuan dibuatnya norma tersebut (rechtmatigheid dan doelmatigheid).
Seandainya dua syarat pokok tersebut dimiliki para petinggi penegak
hukum, tentu apa yang mereka lakukan akan memberi warna pada jajaran di
bawahnya yang pada akhirnya akan melahirkan faktor ketiga yang juga tak
kalah pentingnya dalam proses penegakan hukum, yaitu budaya masyarakat.
Budaya masyarakat menjadi penting karena tanpa kontribusi dan
partisipasi masyarakat, tentu penegak hukum akan kesulitan mencari dan
mendapatkan akses serta mengumpulkan alat bukti untuk mengungkap kasus
yang ditanganinya. Partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh
integritas, pelayanan, dan kompetensi sang penegak hukum.
Penegak hukum ideal
Cobalah bayangkan jika penegak hukumnya cerdas, profesional, rendah
hati, disiplin melayani, santun, dan mempunyai gaya hidup yang
sederhana. Tentu masyarakat akan dengan senang hati membantu penegak
hukum dan berpartisipasi dalam proses pengungkapan suatu kasus dan
penegakan hukum. Namun, sebaliknya jika petinggi atau pemimpin instansi
penegak hukum nyatanya tidak memiliki integritas, kompetensi yang baik,
dan bersikap sewenang-wenang atau arogan, tentu masyarakat akan kapok
dan berusaha untuk tidak berhubungan dengan instansi penegak hukum.
Nawacita butir ke-4 yang berbunyi ”Menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan tepercaya”, tentu tidak akan terlaksana jika ketiga
komponen tersebut tidak dimiliki atau diabaikan oleh petinggi instansi
penegak hukum dan jajarannya. Sebagai warga masyarakat, mari kita doakan
agar proses penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik, nyaman,
dan menyenangkan dengan tetap berorientasi pada terwujudnya kepastian
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta kemanfaatan.
Muhammad Yusuf,
Kepala PPATK
No comments:
Post a Comment