Sinar Harapan, Jumat, 01 Nopember 2013
Publik harus diberitahu mana lembaga survei yang independen dan mana yang menjadi bagian tim sukses.
ist dok
Ada lembaga survei yang hasil-hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi,
tapi ada juga yang prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei
yang benar-benar objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional
yang disewa partai politik atau kandidat yang objektivitasnya
dipertaruhkan.
Sejak era Reformasi,
hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan -atau
bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu kepala daerah tingkat
kabupaten/kota hingga pemilu presiden/wakil presiden, lembaga survei
senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal
kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat
setelah pemilu dilangsungkan.
Sepanjang dilakukan secara benar dan objektif, lembaga survei punya
peranan yang konstruktif, antara lain untuk menambah kegairahan
pelaksanaan pemilu sehingga para pemilih tertarik dan mau datang ke
bilik suara. Lembaga survei punya peran besar, terutama dalam
memprediksi hasil pemilu. Hasil prediksi inilah yang kemudian direspons
publik, terutama para pengamat hingga pelaksanaan pemilu menjadi ajang
yang menarik perhatian.
Dulu, saat
belum ada peran lembaga survei, sisi yang menarik perhatian publik dari
pemilu hanya pelaksanaan kampanye. Menarik karena dalam kampanye
biasanya disuguhkan berbagai macam hiburan, terutama musik dangdut yang
populer di tengah-tengah masyarakat.
Selain hiburan, yang menarik perhatian publik adalah karnaval atau
arak-arakan yang diwarnai berbagai tingkah unik para pendukung partai
yang tengah berkampanye. Di luar hiburan dan karnaval, ceramah yang
berisi pemaparan visi misi sama sekali tidak diperhatikan. Kampanye
menjadi salah sasaran karena fokus publik tidak pada penyampaian visi
misi.
Dengan keterlibatan lembaga
survei, pengenalan pemilu menjadi beragam, tidak hanya melalui kampanye,
tapi juga melalui pemberitaan-pemberitaan yang berisi prediksi,
popularitas para kandidat -yang biasanya naik turun- dan grafik
elektabilitas mereka.
Sayangnya,
belakangan ini banyak bermunculan lembaga survei yang tidak objektif
karena menjadi bagian dari tim sukses salah satu kontestan pemilu, entah
partai politik atau para kandidat baik dalam Pemilu Legislatif maupun
Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Lembaga survei yang menjadi tim sukses
cenderung tidak objektif karena memiliki tujuan untuk memenangkan partai
atau kandidat yang didukungnya.
Untuk
kalangan terbatas yang peka dan paham arah kecenderungan popularitas
partai dan para kandidat, tentu bisa membedakan mana hasil survei yang
benar-benar objektif dan mana yang memiliki kecenderungan untuk
memenangkan partai atau kandidat tertentu. Namun, bagi khalayak secara
umum, bukan perkara mudah untuk membedakan antara keduanya.
Ketidakpercayaan Publik
Lembaga survei menjadi tim sukses tentu tidak dilarang. Hal ini karena
biasanya lembaga survei juga menjadi bagian dari kerangka besar (grand
design) dari lembaga konsultan politik yang bertujuan memenangkan partai
atau kandidat tertentu.
Akan tetapi,
jika hasil-hasil survei yang dilakukan secara berpihak diumumkan ke
publik sebagaimana layaknya hasil survei yang dilakukan lembaga
independen, tentu akan menjadi masalah.
Kenapa masalah? Pertama, akan terjadi pencampuradukkan antara hasil
kerja akademis yang objektif dan independen dengan hasil kerja tim
sukses yang penuh kepentingan. Meskipun metodologi keduanya sama-sama
bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, tetap ada sisi lain yang
membedakan secara signifikan antara keduanya, misalnya dalam pemilihan
sampel, penyusunan pertanyaan, dan lain-lain.
Kedua, dapat menumbuhkan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga
survei yang lain. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Akibat ulah
satu-dua lembaga survei yang menjadi tim sukses, kredibilitas lembaga
survei umumnya menjadi ikut tercemar.
Ketiga, bisa menyebarkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena
memang tidak mudah membedakan mana hasil survei yang benar-benar
objektif dengan yang hasil rekayasa untuk memenangkan partai atau
kandidat tertentu. Publik sulit membedakan mana lembaga survei yang
benar-benar independen dengan yang dependen dalam arti memiliki tujuan
tertentu untuk memenangkan partai atau kandidat yang didukungnya.
Karena faktor inilah, sempat muncul keinginan untuk membuat regulasi
-berupa undang-undang atau yang semacamnya- yang mengatur kelembagaan,
fungsi, dan peranan lembaga survei. Namun, karena banyak pihak yang
menolak, regulasi ini belum terwujud.
Saya termasuk mendukung dibuatnya aturan main ini, tujuannya bukan untuk
membatasi atau mengekang, apalagi melarang keberadaan lembaga survei.
Namun, untuk membedakan mana lembaga survei yang objektif dengan yang
tidak. Caranya, misalnya dengan diumumkan ke publik mana lembaga survei
yang independen dan mana yang menjadi bagian dari tim sukses.
Kalau tidak mau diumumkan ke publik, tak ada masalah, tapi hasil-hasil
survei dari lembaga suvei yang menjadi tim sukses juga hendaknya tidak
diumumkan ke publik sehingga benar-benar hanya menjadi masukan untuk
perbaikan kinerja partai atau kandidat yang “menyewanya”.
Dengan ketentuan ini saja, rasanya sudah cukup untuk membuat publik
tidak kebingungan. Dengan demikian, lembaga survei benar-benar bisa
difungsikan secara maksimal, baik sebagai tim sukses maupun lembaga
independen yang ikut secara aktif menggairahkan dan mewarnai jalannya
pemilu. Tanpa keterlibatan lembaga survei, pemilu bagai sayur tanpa
garam.
Jeffrie Geovanie *Penulis adalah Founder The Indonesian Institute.
No comments:
Post a Comment