Saturday, July 15, 2017

Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme, dan Gaya Hidup

Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme, dan Gaya Hidup

Oleh: Bagong Suyanto*
koran jawa pos, JUMAT, 07 JUL 2017 17:15 | EDITOR : MIFTAKHUL F.S
GLOBALISASI dan perkembangan perekonomian dunia telah menciptakan iklim persaingan yang makin ketat. Pelaku ekonomi yang tidak siap menghadapi globalisasi bukan tidak mungkin akan terancam gulung tikar karena tidak mampu menghasilkan komoditas yang diinginkan di mata konsumen.
Apa yang harus dilakukan para pelaku ekonomi di tanah air agar tidak tergerus iklim persaingan yang kompetitif dan saling mematikan? Pertanyaan penting itulah yang melatarbelakangi kenapa kemudian muncul disiplin sosiologi ekonomi yang memfokuskan diri untuk mengkaji gaya hidup dan perilaku konsumsi masyarakat di era post-modern.
Pergeseran
Berbeda dengan ilmu ekonomi yang fokus mengkaji aktivitas produksi dan pemasaran serta memahami perilaku konsumsi sebagai perilaku yang rasional kalkulatif, sosiologi ekonomi adalah cabang ilmu sosial yang mengkaji perilaku konsumsi yang dikaitkan dengan perkembangan gaya hidup dan mekanisme yang dikembangkan kapitalisme untuk mengembangkan ceruk-ceruk pasar baru bagi komoditas yang mereka hasilkan.
Sosiologi ekonomi adalah sebuah disiplin yang berkembang karena melihat adanya dua pergeseran menonjol di era masyarakat post-modern. Pertama, terjadinya pergeseran dari persoalan produksi ke konsumsi. Kedua, terjadinya pergeseran fokus kapitalisme dari pengeksploitasian pekerja ke pengeksploitasian konsumen (Ritzer, 2010: 372–375). Sosiologi ekonomi menyadari bahwa masalah sosial yang muncul di era kapitalisme lanjut bukan lagi soal eksploitasi dan alienasi buruh, melainkan bagaimana kekuatan kapitalis atau kekuatan industri budaya memainkan dominasi melalui penjajahan kultural, menghegemoni, dan bagaimana caranya memanipulasi hasrat konsumen.
Berbagai kajian telah membuktikan bahwa realitas sosial-ekonomi di era masyarakat post-modern makin berkembang, proses komodifikasi makin luas, serta perilaku konsumsi masyarakat juga telah mencapai tingkat akselerasi perkembangan yang tidak lagi bisa dikendalikan karena dukungan dan pertumbuhan teknologi informasi yang luar biasa (Campbell, 1987). Di era masyarakat kontemporer, masyarakat bukan hanya makin familier dengan gadget, tetapi juga dengan kehidupan dan interaksi sosial di dunia maya (cyberspace) –sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari jaringan data-data komputer– yang digunakan sebagai saluran komunikasi antarmanusia dalam skala global (Piliang, 2009: 366). Di era post-modern, masyarakat tidak hanya bisa mengonsumsi produk industri budaya melalui pemesanan via internet, tetapi produk budaya macam apa yang dibeli dan dikonsumsi seringkali juga diilhami dari apa yang mereka akses di internet dan tawaran iklan yang menggoda.
Sebagai sebuah bidang kajian, sosiologi ekonomi di era post-modern telah menemukan ladang persemaian tema yang seolah tak terbatas.Dan era ini tidaklah keliru jika dikatakan sebagai era kebangkitan sosiologi ekonomi kontemporer. Dikatakan kontemporer karena realitas sosial-ekonomi yang menjadi fokus kajian tidak lagi berkaitan dengan kehidupan masyarakat modern, tetapi telah merambah kehidupan masyarakat post-modern, di mana yang namanya kenyataan dan halusinasi sudah tidak lagi dapat dibedakan. Era post-industrial, post-modern, atau era kapitalisme lanjut adalah era yang melahirkan berbagai persoalan baru yang berkaitan dengan konsumsi dan gaya hidup.

Lingkaran Setan APBN

KORAN TEMPO

RABU, 12 JULI 2017 | 00:59 WIB
Haryo Kuncoro
Dosen Keuangan Negara FE Universitas Negeri Jakarta

Pemerintah baru saja merampungkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Kecuali produksi minyak dan gas, asumsi makro ekonomi lainnya mengalami perubahan yang substansial.

Di satu sisi, pemerintah realistis menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi. Asumsi kurs, misalnya, yang semula Rp 13.300 per dolar AS diubah menjadi Rp 13.400 per dolar AS. Hal yang sama terjadi pada inflasi yang dilonggarkan dari 4 persen menjadi 4,3 persen.

Asumsi harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional dipatok US$ 50 per barel, dari sebelumnya US$ 45. Dampak langsungnya adalah kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas yang diperkirakan mencapai Rp 15 triliun.

Kenaikan penerimaan PNBP, sayangnya, belum mampu menutupi selisih realisasi dan target (shortfall) perpajakan. Penerimaan perpajakan diprediksi hanya tumbuh 13 persen sepanjang 2017, dengan selisih minus Rp 50 triliun dari target awal Rp 1.499 triliun.

Di sisi lain, sinyal optimisme dipancarkan pemerintah melalui RAPBN-P 2017. Di tengah menyusutnya penerimaan negara, pagu belanja dipatok naik menjadi Rp 2.111 triliun, dari pagu mula-mula Rp 2.080 triliun.

Dua Wajah Islam Moderat

KORAN TEMPO

JUM'AT, 30 JUNI 2017 | 00:32 WIB
Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Wajah Islam Indonesia yang moderat tercoreng oleh sebagian kelompok Islam radikal. Jika hal ini dibiarkan, kelompok radikal tersebut makin menggerogoti dari dalam. Bagaimana caranya agar sikap moderat Islam ini tetap terjaga?

Serangan teroris teranyar terjadi di Kampung Melayu dengan cara bom bunuh diri, akhir Mei lalu. Jaringan ini diduga merupakan kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD), yang terbiasa melakukan tindakan teror serta berkeyakinan bahwa dunia ini diisi oleh orang-orang kafir dan thogut. 

Potret tersebut bisa memunculkan gambaran Islam yang fanatik dan merupakan ancaman nyata bagi umat dan keutuhan sebuah bangsa. Sebab, mereka menstigma orang lain sebagai kafir, sesat, dan imajinasi yang menyeramkan. 

Paham-paham radikal tersebut bisa masuk melalui institusi pendidikan, mimbar-mimbar masjid dengan menyebarkan ujaran kebencian, dan lini masa media sosial. Ruang-ruang tersebut menjadi arena paling ampuh untuk menyebarkan virus radikalisme. 

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, pada 2016, merekam tiga temuan penting. Pertama, buku teks pendidikan agama Islam mengabaikan pembentukan nilai-nilai kebangsaan. Kedua, guru agama berorientasi Islamis, mendukung tindak kekerasan dalam menyikapi perbedaan. Ketiga, guru agama Islam tidak memiliki kapasitas dalam melawan paham eksklusif dan radikal.

Polemik Pemindahan Ibu Kota

KORAN TEMPO

SENIN, 10 JULI 2017 | 00:24 WIB
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance

Wacana pemindahan ibu kota mirip kaset yang selalu diputar berulang-ulang. Lagu yang diputar tetap sama. Sejak era Presiden Sukarno sampai zaman Susilo Bambang Yudhoyono, niat memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke daerah selalu kandas. Seberapa mendesak pemindahan ibu kota? Kalau alasannya hanya faktor kemacetan dan kepadatan penduduk, tentu kurang pas. Kemacetan ada karena transportasi publik yang nyaman dan aman terlambat disediakan pemerintah. Soal kepadatan penduduk juga karena pemerintah tidak mampu menangkal arus urbanisasi dengan menyediakan lapangan kerja di daerah.

Jakarta memang termasuk kota nomor 6 paling padat di dunia versi majalah Time. Soal kemacetan, Kota Jakarta berada di urutan ke-3 setelah Bangkok dan Meksiko. Tapi penyelesaian masalah dengan memindahkan ibu kota juga terkesan parsial. Anggap saja Jakarta menjadi kota bisnis serta pusat keuangan, dan Palangkaraya menjadi ibu kota pemerintahan. Masalah kemacetan di Jakarta tentu tidak akan berkurang signifikan kalau jumlah kendaraan bermotor tidak dibatasi. Investor dan pebisnis juga tidak nyaman tinggal di Jakarta. Bisa disimpulkan bahwa pemindahan ibu kota untuk mengatasi masalah sifatnya lebih ke placebo atau obat yang isinya kosong.

Perdebatan berikutnya adalah kesiapan anggaran pemerintah. Berdasarkan perbandingan negara tetangga yang ibu kotanya hijrah, seperti Malaysia pada 1990-an, ongkos pindah sangatlah mahal. Dengan 300-an pegawai negeri sipil yang pindah dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada 1995, biaya pembangunannya mencapai US$ 8,1 miliar atau setara dengan Rp 107 triliun.

Calon Presiden Pemilu 2019

KORAN TEMPO

SELASA, 11 JULI 2017 | 01:07 WIB
Arya Budi
Peneliti Research Center for Politics and Government UGM

Sampai saat ini, ada beberapa isu krusial di DPR yang bisa jadi akan menentukan hidup-matinya partai, panas-dinginnya kontestasi, dan efektif-tidaknya pemerintahan yang dihasilkan. Tapi debat perihal ambang batas pencalonan presiden adalah faktor yang paling berpengaruh, baik pada konstelasi politik Pemilu 2019 maupun pemerintahan yang dihasilkannya.

Pertama, pencalonan presiden berimplikasi pada bagaimana koalisi partai terbentuk. Kedua, paralelisme platform calon presiden dan partai pendukungnya akan menentukan bagaimana pemilih menggunakan suaranya, seperti coattail effect, yaitu preferensi yang sama antara pilihan calon presiden dan partai pengusungnya karena kecenderungan psikologis pemilih pada calon presiden.

Tapi tingkat perbedaan pilihan atas calon presiden dan partai pengusungnya bisa saja tinggi karena pencalonan presiden yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Hal tersebut bisa menciptakan presiden minoritas, sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif karena presiden tidak didukung partai-partai non-pemerintah di parlemen.

Hingga kini, praktis hanya PDIP, Golkar, dan NasDem (42 persen kursi) yang secara jelas mendukung ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Tujuh partai lainnya (58 persen kursi) cenderung untuk menghapus ambang batas itu. Apalagi, atas basis keserentakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, Mahkamah Konstitusi bisa saja mengabulkan uji materi jika ambang batas pencalonan akhirnya tetap diberlakukan. Artinya, jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, setiap partai yang mengikuti Pemilu 2019 mempunyai kesempatan mencalonkan presiden. Lanskap kontestasi Pemilu 2019 akan berubah sama sekali dibanding empat pemilu sebelumnya.

Sunday, April 23, 2017

Anomali Biaya Kampanye Ahok Putaran Kedua


Jika kita lihat hasil perolehan suara paslon Ahok-Djarot pada putaran kedua terdapat sesuatu yang bisa dikatakan anomali. Dikatakan anomali karena, mereka mengeluarkan biaya kampanye sebesar 31,7 Milyar, tapi justru perolehan suaranya merosot sebanyak 13.139 suara di banding putaran pertama.

Artinya, biaya kampanye sebesar itu hanya muspro, bahkan kontraproduktif karena justru mengurangi jumlah pendukung yg jika dikonversi per suara menguras biaya kisaran 2,4 juta rupiah.

Tujuan kampanye adalah untuk meraih dukungan, bukan mengempeskan dukungan. Seharusnya kampanye dengan logistik yang tak sedikit dapat menambah dukungan, bukan malah mengempeskan dukungan. Ada banyak kemungkinan yg menjadi penyebab misalnya, alokasi dana tidak tepat sasaran, mesin politik mandeg karena logistik bocor diperjalanan, dan atau terlalu mahal membayar para buzzer yg tak henti membangun framing politik serta secara bersamaaan melakukan delegitimasi lawan.

Ini jelas anomali yang menarik untuk dicermati, terutama para donatur yang telah mengucurkan dana, termasuk intelektual politik. Kenapa logistik cair tapi justru menggerus dukungan? Alih-alih mempertahankan suara putaran pertama, tapi justru malah mengurangi dukungan. 
Atau, jangan-jangan malah banyak tim sukses yang 'sukses' meski jagoannya keok.

Monday, April 3, 2017

Menuju Dua Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN

KORAN SINDO Edisi 03-04-2017
Menuju Dua Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN

Tidak terasa pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah memasuki tahun kedua. 

MEA merupakan agenda regional yang menyepakati pembangunan kawasan ASEAN dalam empat pilar, yaitu sebagai wilayah dengan aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja; wilayah ekonomi yang kompetitif; wilayah dengan pembangunan yang merata, dan menjadi wilayah yang terintegrasi secara penuh ke dalam ekonomi global. 

Jika melihat kembali periode 2014-2015, begitu banyak berita dan kajian yang menyoroti tentang pemberlakuan kesepakatan MEA. Dari dampak positif dan negatif MEA bagi Indonesia, masalah mobilitas tenaga kerja ASEAN, hingga kesiapan pemerintah daerah. Sosialisasi juga dilakukan, sayangnya masih terkesan reaktif dan terbatas. Saat ini, seiring dengan berjalannya MEA, tidak banyak media dan kajian yang membahas hal tersebut, sosialisasi pun terasa sepi. 

Isu MEA meredup, padahal faktanya pertarungan baru mulai. Di mana kita? Ada dua hal utama yang menjadi ukuran dalam melihat dampak dari sebuah kerja sama ekonomi, yaitu arus perdagangan dan investasi. Jika ditelusuri, data perdagangan Indonesia dalam ASEAN 6, terlihat bahwa tren pertumbuhan perdagangan Indonesia dengan kelima negara ASEAN sangat bervariasi pada periode Januari- Oktober 2015 ke 2016 (data Kemendag RI). 

Tren perdagangan Indonesia dengan Filipina dan Thailand menunjukkan pertumbuhan positif, sementara dengan ketiga negara lainnya yaitu Malaysia, Singapura dan Brunei, perubahannya negatif atau menurun. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan perubahan pada periode 2011-2015, hanya perdagangan Indonesia dengan Filipina yang perubahannya positif, dengan keempat negara lainnya cenderung negatif. 

Melawan Stigma Seleksi

koran sindo Edisi 03-04-2017
Melawan Stigma Seleksi


Sesuai jadwal yang dirilis Komisi II DPR, 3-4 April 2017 dilangsungkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2017-2022. 

Uji kelayakan dan kepatutan ini mengakhiri polemik soal apakah DPR akan melakukan proses pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu atau tidak. Kepastian pelaksanaan fit and proper test diambil setelah Komisi II menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu pada 30 Maret 2017. RDP bersama Timsel bukan mulus-mulus saja. Banyak kritik tajam dan pernyataan kritis disuarakan. 

Berbagai istilah keras bermunculan. Misal, Timsel menjadi ”predator” Bawaslu karena tidak meloloskan satu pun dari empat anggota Bawaslu yang mendaftar. Isu kebocoran soal, keberpihakan pada calon berlatar anggota KPU, juga dugaan Timsel bekerja tidak profesional. Rapat didominasi pertanyaan mengapa Ketua Bawaslu Muhammad yang mendaftar sebagai calon anggota KPU tidak diloloskan, sementara lima anggota KPU yang mendaftar semuanya lolos. 

Dalam pandangan Komisi II, Bawaslu dianggap berprestasi dalam mengawasi pemilu. Sedangkan KPU sebagai ”anak nakal” yang ”melawan DPR” karena mengajukan uji materi atas undang-undang pilkada yang mewajibkan KPU melakukan konsultasi mengikat dalam membentuk peraturan KPU. KPU juga dituding kerap melakukan pelanggaran dengan membuat peraturan yang melahirkan norma hukum baru dan bertentangan dengan undangundang. 

Contohnya ketika KPU mewajibkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% sampai tingkat kecamatan saat verifikasi partai politik peserta pemilu 2014. Maka tak heran saat RDP, Komisi II ramai-ramai menggugat kinerja Timsel. Sempat pula muncullontaranbahwaDPRbisa jadi tak akan memilih sesuai dengan jumlah yang ditentukan, yaitu 7 orang untuk KPU dan 5 orang untuk Bawaslu. 

Mereka beralasanundang-undangmemberi ruang bagi DPR untuk mengembalikan nama-nama calon kepada Presiden jika tidak ada yang memenuhi syarat atau jumlah calon yang memenuhi syarat kurang dari yang dibutuhkan. 

Sinergitas Agama Dan Polit

KORAN SINDO Edisi 03-04-2017
Sinergitas Agama Dan Politik

Ketika mengunjungi objek wisata religi pemakaman Mahligai Barus di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017), Presiden Joko Widodo membuat pernyataan kontroversial. Presiden mengingatkan masyarakat agar ”memisahkan politik dengan agama”. 

Presiden mengatakan, ”Jangan dicampuradukkan politik dan agama.” Kontan saja pernyataan ini menuai pro dan kontra, karena pernyataan tersebut bukan hanya multitafsir, melainkan juga kurang didukung argumen faktual, logis, dan sosial historis. Agama di negeri ini bukan semata urusan personal domestik, tapi juga merupakan persoalan sosial-politik. Relasi agama dan politik selalu menarik didiskusikan dan dimaknai dalam konteks zamannya. 

Pasalnya, berpolitik tanpa beragama secara benar dan konsisten sungguh sangat berbahaya. Agama boleh jadi hanya diperalat atau dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat. Agama disalahgunakan untuk meraih kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tanpa dilandasi nilai-nilai agama dan akhlak mulia. Sebaliknya, beragama tanpa berpolitik juga tidak menguntungkan. Karena melalui politik, ekspresi keberagamaan dapat diaktualisasikan. 

Berbagai aturan hukum dan perundang- undangan yang diinspirasi dan diadaptasi dari nilainilai agama dapat dilegislasi dan dikodifikasi melalui proses politik. Melalui kekuasaan politik yang populis dan humanis, agama dan penganut agama mendapat perlindungan dan jaminan kebebasan dalam kehidupan beragama. 

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk

koran tempo RABU, 22 MARET 2017 | 01:31 WIB
Gunawan Suswantoro
Sekretaris Jenderal Bawaslu RI

Dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang sedang berlangsung di DPR ternyata memunculkan beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan itu, antara lain, mengenai representasi publik yang akan dihasilkan oleh sistem pemilu dan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif melalui demokrasi elektoral multipartai.

Jika berkaca pada sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata bangunan relasi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat selalu diwarnai ketidakefektifan dalam pengambilan kebijakan. Setidaknya ada empat hak angket di DPR dan dua kali perombakan kabinet pada masa SBY-JK. Meski upaya membangun koalisi di parlemen untuk mendukung kekuasaan Presiden telah digalang melalui Koalisi Kerakyatan dari tujuh partai pendukung plus Partai Golkar hingga menguasai 71 persen suara di DPR, fragmentasi dalam jajaran Koalisi Kerakyatan tetap tidak terhindarkan.

Cerita yang sama berlanjut dalam skema Sekretariat Gabungan koalisi partai pendukung SBY-Boediono. Manuver partai-partai pendukung SBY-Boediono dalam Pansus Century menunjukkan mekanisme Setgab telah memunculkan krisis dalam tatanan sistem presidensialisme. Kompleksitas relasi kuasa Presiden dan DPR yang tergambarkan sebagai Presidensialisme Setengah Hati (Hanta, 2013) telah diperkuat oleh kajian disertasi dari Agus Gumiwang (2014), yang menyoal efektivitas Setgab Partai Koalisi SBY-Boediono.

Saturday, March 25, 2017

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari Tiongkok.
Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

KORAN TEMPO Selasa, 21 Maret 2017 | 01:18 WIB
Tobias Basuki
Peneliti Centre for Strategic and International Studies

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.

Bisa dikatakan hasil putaran pertama pilkada DKI ini adalah imbang untuk kedua kerangka teori pemilih rasional versus politik aliran. Hasil putaran pertama menempatkan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan 43 persen suara dan penantangnya, Anies Baswedan, 40 persen. Ini menunjukkan bahwa dua teori tersebut mempunyai kekuatan penjelas tapi terbatas.

Ketika elektabilitas Ahok menukik tajam sampai di titik 20 persen sekitar November, alasan utama yang digarisbawahi adalah kasus penistaan agama yang menjerat Ahok ke dalam kasus hukum. Menariknya, setelah kasus penistaan tersebut masuk ke pengadilan, justru elektabilitas Ahok menanjak ke angka 30-an persen.

Dari kasus ini bisa dikatakan kurang akurat jika menggambarkan 400 ribu umat muslim yang turun dalam aksi 411 dan 212 semata marah karena agamanya dinistakan. Sebab, jika kemarahan itu demikian besar, elektabilitas Ahok pasti tidak akan mencapai 43 persen pada putaran pertama lantaran  pemilih muslim di DKI Jakarta lebih dari 80 persen.

Friday, March 24, 2017

Negara Versus Freeport

Negara Versus Freeport

Setelah skandal "Papa Minta Saham", PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia kembali berbalas pantun. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mengumumkan force majeur pada 17 Februari 2017 untuk menekan Indonesia agar terhindar dari kewajiban pengolahan dan pemurnian di smelter dalam negeri dan mengubah kontrak karya sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Padahal, telah berulang kali Pemerintah Indonesia mengubah peraturannya sendiri karena gagal memaksa PT Freeport Indonesia patuh. Freeport juga tak malu-malu menggunakan cara memperhadapkan buruh sebagai bidak menghadapi pemerintah lewat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Sudah waktunya taktik seperti itu diakhiri.
Kontrak karya Freeport sudah berumur setengah abad, ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 1967 sebelum UU Pertambangan Indonesia disahkan, bahkan sebelum penentuan pendapat rakyat Papua berlangsung. KK ini mewariskan luka mendalam bagi Indonesia dan rakyat Papua.
Model kontrak karya Freeport  yang diadopsi dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 tak hanya membuat Indonesia memberikan pelayanan luar biasa kepada investasi asing. Model kontrak itu juga mewariskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di sekitar lokasi tambang, seperti di sekitar tambang  Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Inco/Vale di Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Halmahera.
Bagi rakyat Papua-pemilik sebenarnya cebakan emas terkaya di dunia itu-kehadiran PT Freeport Indonesia bagai pisau bedah yang memutus ikatan orang  Papua dengan alamnya dan pintu terjadinya pelanggaran HAM.  Pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) melaporkan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambang PT Freeport Indonesia sepanjang 1994-1995. Kucuran dana keamanan PT Freeport Indonesia untuk kepolisian  dan TNI-sekitar Rp 711 miliar sepanjang 2001-2010 (Indonesia Corruption Watch, 2011) membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan dan bisnis militer.

Pembubaran Partai

Pembubaran Partai

Proyek pengadaan dan penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan—yang dikenal dengan KTP elektronik (KTP-el)—menjadi bancakan. Surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut puluhan nama anggota DPR sebagai penikmat duit korupsi proyek.
TOTO S
Uang haram juga diduga mengalir ke partai. Misalnya, ada dana sekitar 5,5 juta dollar AS diserahkan kepada Anas Urbaningrum yang kemudian digunakan untuk membayar akomodasi Kongres Partai Demokrat di Bandung. Tampaknya tak hanya Partai Demokrat, partai lain pun menerima gelontoran anggaran pengerjaan KTP-el. Elite partai yang korupsi mengundang sejumlah reaksi. Banyak pendapat meminta supaya partai—tempat anggota atau petingginya terjerat korupsi—dibubarkan.

Dari Stabilitas Menuju Produktivitas

Dari Stabilitas Menuju Produktivitas

Ketidakpastian adalah hantu dalam perekonomian. Sering kali perilaku investor menjadi tak terkendali menghadapinya. Merespons kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed, menaikkan suku bunga referensi sebesar 0,25 persen menuju 0,75 hingga 1 persen, investor sama sekali tidak gugup. Seakan mereka menghadapi situasi biasa saja.
Ketidakpastian memang bersifat relatif. Hari-hari ini ketidakpastian bukanlah hantu yang menakutkan. Faktor utamanya, perekonomian AS terlihat mulai membaik. Bank Sentral AS memiliki dua mandat pokok, menjaga inflasi dan angka pengangguran. Inflasi Februari 2017 sebesar 2,7 persen, yang dibandingkan dengan tahun lalu sudah lebih tinggi daripada target The Fed sebesar 2 persen. Jika efek kenaikan harga makanan dan energi dikeluarkan, inflasi sebesar 2,2 persen. Hal itu menandakan perekonomian mulai menggeliat. Sementara, angka pengangguran sudah menuju titik ideal atau full employment. Sepanjang Februari 2017 telah terjadi penambahan lapangan kerja sekitar 235.000 sehingga angka pengangguran turun menjadi 4,7 persen. Akibatnya, tingkat upah naik sekitar 6 persen.
Oleh karena itu, kenaikan suku bunga adalah keniscayaan, suatu langkah menuju ”situasi normal” kembali. Ekspektasi investor terhadap kenaikan suku bunga melejit lebih dari 90 persen, persis sebelum kebijakan diambil. Sudah lebih dari tujuh tahun suku bunga mendekati nol persen dan inilah saatnya naik. Sebagai catatan, suku bunga tertinggi di AS dalam beberapa dekade terakhir terjadi pada bulan Juni 1981, sekitar 19 persen.
Faktor lain adalah perkembangan politik di Eropa. Partai anti-imigran kalah dalam pemilu di Belanda minggu lalu. Partai beraliran moderat (kanan tengah) pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte unggul dalam perhitungan exit polls. Situasi ini memberikan sedikit kelegaan. Publik berharap perkembangan politik di Belanda akan memengaruhi hasil pemilu di Perancis dan Jerman yang akan digelar tahun ini. Menguatnya gejala nasionalis yang anti-keterbukaan, seperti Brexit dan hasil pemilu AS, menorehkan trauma global.
Laporan tiga bulanan Dana Moneter Internasional, World Economic Outlook (edisi 1/2017) berjudul A Shifting Global Economic Lanscape. Muncul situasi ambigu, perekonomian global sebenarnya mulai membaik, tetapi situasi geopolitik justru semakin tak menentu.
Secara umum, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dua tantangan pokok, yakni risiko jangka pendek (cyclical) dan jangka panjang (struktural). Risiko pertama terkait dengan normalisasi kebijakan moneter di AS yang berpotensi menimbulkan kepanikan serta pembalikan modal, sedangkan risiko jangka panjang bersumber pada belum pulihnya ekspor serta investasi swasta.
Terkait kenaikan suku bunga The Fed minggu lalu, paling tidak risiko pertama tak terjadi. Justru sebaliknya, modal asing terus mengalir ke pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia justru mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, pada level 5.540, justru setelah kenaikan suku bunga The Fed. Selain faktor kepastian global yang mulai tercipta, ada faktor domestik yang mendorong, seperti potensi kenaikan peringkat investasi oleh Standard & Poor’s serta kinerja emiten yang bagus.
Indeks Pertambangan mencatat kenaikan paling tinggi di antara kelompok industri lainnya, yang ditopang kenaikan harga komoditas. Seiring masuknya modal asing, nilai tukar rupiah juga terjaga pada posisi Rp 13.300-an per dolar AS. Kekhawatiran penguatan indeks dollar AS dengan kenaikan suku bunga The Fed tak terjadi.
Meskipun situasi tampak terjaga, ketidakpastian belum hilang. Masih terlalu dini menganggap perekonomian global stabil. Berbagai kejutan masih mungkin terjadi sehingga gejolak masih akan datang lagi. Stabilitas adalah sesuatu yang kita butuhkan, tetapi sama sekali tak mencukupi. Perekonomian kita harus terus ekspansi sehingga fokus harus bergeser pada produktivitas.
Laporan triwulanan perekonomian Indonesia terbitan Bank Dunia (edisi 1/2017) mengambil judul Sustaining Reform Momentum. Menghadapi kehadiran kembali ketidakpastian politik global serta risiko guncangan keuangan, cara yang paling baik adalah melanjutkan reformasi perekonomian domestik. Pertama, melanjutkan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi meningkatkan daya saing dan produktivitas perekonomian domestik. Kedua, melanjutkan konsolidasi fiskal serta perbaikan pengeluaran publik, untuk menyokong reformasi struktural. Ketiga, secara khusus fokus pada kualitas pembelajaran di sektor pendidikan.
Satu aspek penting untuk mengatasi persoalan stabilitas sekaligus produktivitas dalam jangka panjang adalah pendalaman sektor keuangan. Ketergantungan pada modal asing, khususnya jangka pendek, merupakan salah satu masalah fundamental dan struktural yang kronis. Itulah mengapa kita cenderung menjadi korban dari gejolak sektor keuangan global. Pendalaman sektor keuangan dengan bantuan kemajuan teknologi digital bisa menjadi kunci asal dikelola dengan benar.
Arahnya bukan menambah atau mengganti akses keuangan bagi yang sudah memilikinya, melainkan menambah akses yang belum terlayani. Masalah inklusi keuangan menjadi isu sentral, apalagi di era teknologi finansial ini.
A PRASETYANTOKO, REKTOR UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 15 dengan judul "Dari Stabilitas Menuju Produktivitas".
  • 0
  • 0
  • 0

Ketimpangan Perekonomian

OPINI > ARTIKEL > KETIMPANGAN PEREKONOMIAN

Ketimpangan Perekonomian

Akhir-akhir ini, isu ketimpangan perekonomian nasional kembali menghangat. Ini sebenarnya lagu lama dengan topik yang timbul tenggelam.
Ketimpangan dan ketidakadilan adalah hal yang sangat serius, mengingat beragamnya etnis, agama, dan suku. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi semua pihak dan lapisan masyarakat.
Menurut Amy Chua dalam bukunya World on Fire, pasar bebas dalam demokrasi yang didominasi kelompok yang sedikit dapat berujung pada perpecahan. Oleh karena itu, masalah ketimpangan dalam perekonomian sangatlah krusial dan perlu ditangani segera oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan.
Terjadi di semua negara
Masalah ketimpangan ekonomi ini ternyata bukan hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga negara maju yang berkecukupan dan lebih manusiawi. Kita pikir, urusan perut hanyalah milik negara miskin ternyata dirasakan juga oleh rakyat negara maju, terutama dalam hal kesempatan kerja.
Tilik saja mengapa Presiden Donald J Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45. Tidak lain adalah karena masalah ketimpangan ekonomi yang berhasil dikemas dengan jitu dan "seksi" oleh Trump.
Slogan "Beli Produk Amerika (Buy American)" dan "Pekerjakan Orang Amerika (Hire American)" secara implisit menyatakan adanya ketimpangan perekonomian di Amerika Serikat. Si kaya semakin kaya, sementara penduduk miskin terperangkap dalam kemiskinan dan sulit bangkit karena energinya habis untuk meratapi kemiskinannya.
Menurut OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development), ketimpangan di Amerika Serikat meningkat, terutama setelah krisis ekonomi dan moneter global 2008. Ini sangat jelas ditunjukkan oleh angka koefisien gini yang meningkat dari 0,374 pada 2007 menjadi 0,394 pada 2014.
Dunia memang begitu ironis dan kontras. Ketika dunia lagi berbenah dan disibukkan oleh pemulihan perekonomian global yang terasa amat lambat, yang terjadi justru ketimpangan ekonomi yang makin melebar.
Mungkin saya agak naif, ketimpangan perekonomian yang meningkat di dunia ada kaitannya dengan kebijakan QE (quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif) oleh Amerika Serikat yang juga dilakukan Jepang dan Uni Eropa. Bisa jadi, dugaan ini masih sangat prematur dan harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih dalam dan komprehensif. Meski demikian, kita perlu mencermati secara hati-hati apa arti QE sesungguhnya?
QE adalah kebijakan moneter nonkonvensional, di mana bank sentral membeli aset keuangan dari bank komersial dan institusi swasta lainnya dengan harapan meningkatkan uang beredar di perekonomian. Sangat jelas di sini, suntikan dana yang dilakukan oleh bank sentral, tahap pertama melalui sektor finansial, baru kemudian berlanjut menjadi stimulus ke sektor riil.