Tuesday, February 28, 2017

Demokrasi Kita Terlalu Kebablasan



Demokrasi Kita Terlalu Kebablasan
 Pertama, banyak pertanyaan kepada saya. Presiden Jokowi dalam 4-5 bulan akhir ini, kita banyak disuguhkan oleh persoalan-persoalan bangsa yang banyak menjadikan tanda tanya kita. Apakah bangsa kita masih bersatu? Saya jawab bangsa kita masih bersatu.
Memang pemahaman konsep, pemahaman nilai-nilai kebangsaan inilah yang terus harus kita gaungkan. Dan dalam 4-5 bulan ini mengingatkan kita semuanya. Betapa masih banyak yang harus kita perbaiki. Betapa banyak yang masih harus kita benahi. Terutama dalam memahami konsep dan nilai-nilai kebangsaan yang semua rakyat harus tahu betul.
Betapa kita ini sangat beraneka ragam, betapa kita ini sangat majemuk. Dan keanekaragaman yang melekat pada bangsa Indonesia ini menjadi jati diri, menjadi identitas, sekaligus entitas Indonesia sebagai suatu bangsa. Keanekaragaman tersebut telah menyatu dalam kehidupan masyarakat dan menjadi simbol kerukunan dan keharmonisan dari rakyat.
Oleh sebab itu, harus kita jaga terus apa yang sudah menjadi anugerah dari Tuhan kepada kita. Sebagai bangsa yang besar, yang majemuk, yang beraneka ragam.
Banyak juga yang bertanya kepada saya: Apakah demokrasi kita ini sudah terlalu bebas dan sudah keblabasan? Saya jawab, iya. Demokrasi kita ini sudah terlalu kebablasan. Dan praktek demokrasi politik yang kita laksanakan telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran yang lain, yang bertentangan dengan ideologi kita Pancasila.

Pelangi Indonesia

Pelangi Indonesia
Yudi Latif
(Kompas, Selasa, 21 Februari 2017)


Di dalam agama cinta (rahman-rahim), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tetapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang melahirkan pelangi Indonesia yang indah. Dengan ini, pemilihan Kepala Daerah secara serentak berlalu dengan relatif damai, menyisakan Pilkada DKI Jakarta di pusat pertaruhan.
Di 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, orang dengan berbagai latar agama bisa dipilih dan memilih tanpa diskriminasi dan intimidasi. Di berbagai tempat, bahkan partai Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera, bisa mengusung calon kepala daerah yang agamanya bukan Islam. Situasi ini menggambarkan determinasi peradaban cinta yang masih terpatri pada jatidiri bangsa. Di sekujur tubuh kebangsaan, titik rawan daya cinta ini justru terletak di Ibu kota negara. Di Jakarta, daya pompa jantung politik dalam mengalirkan darah cinta mengalami pelemahan, terdesak penguatan aliran daya benci.
Kehilangan daya cinta di Ibu kota negara bisa menjadi pangkal kehilangan Indonesia. Harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini. Modal unggulan Indonesia yang bisa dibanggakan pada dunia. Dengan kemerosotan daya cinta, Indonesia akan mengalami kerusakan gen.
Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti asing, anti perbedaan. Berutung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.

Hunian untuk Rakyat

Hunian untuk Rakyat

Dalam kerasnya pertarungan Pilkada 2017 di DKI Jakarta, salah satu yang mengemuka adalah pemikiran atau janji untuk menghadirkan program penyediaan rumah bagi warga Jakarta dengan uang muka 0 persen.
TOTO S
Janji ini sontak menjadi perdebatan hebat, terutama di media sosial, baik antara pengamat, tim sukses, maupun para pendengung. Keriuhan ini wajar karena janji ini seperti guyuran hujan di tengah kemarau, mengingat semakin mahalnya harga rumah di Jakarta yang membuat warga semakin tidak mampu membeli.
Tulisan ini tidak untuk menyanggah atau mendukung janji tersebut secara buta, tetapi untuk melihat secara komprehensif jika janji tersebut diwujudkan. Oleh karena itu, saya akan menganggap bahwa janji tersebut dilaksanakan dan mencoba melihat apa yang akan terjadi di belakang. Juga akan dilihat kemungkinan-kemungkinan lain dalam upaya penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Asumsi di awal, skema ini akan diberikan kepada masyarakat berpenghasilan terbatas yang belum memiliki hunian. Skema ini juga diasumsikan ditujukan pada pembelian hunian rumah susun yang sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diharapkan menjadi solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hunian, bukannya rumah tapak.

Ekonomi Politik Pengadaan

Ekonomi Politik Pengadaan

Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016 mengungkap bahwa modus korupsi yang paling banyak ditangani meliputi tindak pidana korupsi terkait suap-menyuap, pengadaan barang dan jasa, serta pencucian uang.
Sudah jamak diketahui publik, pengadaan barang dan jasa masih jadi sektor paling rawan terjadinya korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus suap-menyuap selalu beririsan dengan kepentingan untuk mendapatkan proyek-proyek yang dibiayai oleh negara.
Pada satu sisi, pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah bagian dari kebutuhan untuk memberikan pelayanan kepada publik. Di sisi lain, ada potensi kerugian begitu besar jika terjadi penyimpangan. Hal ini semakin mengkhawatirkan ketika sistem PBJ tidak selalu mampu memitigasi terjadinya korupsi.
Masalah ini patut jadi catatan penting bagi rezim Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mengingat program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan menggelontorkan dana tidak sedikit, bahkan ada yang dibiayai dari utang. Sementara sistem pengawasan terhadap megaproyek ini hanya disandarkan pada pengawasan konvensional yang selama ini ada.

Seputar Ambang Batas Pilpres

KORAN SINDO Edisi 28-02-2017
Seputar Ambang Batas Pilpres


Setelah membahas pilihan sistem proporsional terbuka atau tertutup di tulisan bulan lalu, saat ini penulis hendak membahas isu lain yang mengemuka dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang sampai saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah. 

Isu tersebut adalah ambang batas perolehan suara partai politik dalam pemilu DPR atau kursi yang diperoleh di DPR yang harus dipenuhi sebagai salah satu persyaratan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara singkat disebut sebagai ambang batas pilpres (presidential treshold). 

Keberadaan ambang batas pilpres diatur dalam UU Pilpres yaitu memperoleh 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR. Di dalam UUD 1945 memang tidak diatur tentang ambang batas ini. Namun, ambang batas yang telah digunakan sejak Pemilu 2004 ini didalilkan sebagai turunan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memuat politik hukum mengarah pada sistem kepartaian sederhana. 

Frasa ”pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik...” dimaknai sebagai kehendak agar terjadi penggabungan partai politik sehingga jumlah partai politik tidak terlalu banyak. Ada beberapa instrumen guna mencapai multipartai sederhana antara lain melalui pengaturan pembentukan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu, electoral threshold,dan parliamentarythreshold. 

APBD Desa dan Kemiskinan

APBD Desa dan Kemiskinan

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam.
TOTO S
Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.
Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD). Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Kecanduan Pembangunan

Kecanduan Pembangunan

koran tempo KAMIS, 23 FEBRUARI 2017 | 01:09 WIB
IGG Maha Adi
Pegiat Ekoliterasi

Dalam literatur pembangunan, kategori kemakmuran negara dibagi menjadi dua: maju dan berkembang, dengan beberapa variannya. Stratifikasi ini juga banyak diyakini para ahli dapat menggambarkan tingkat kebahagiaan penduduk sebuah negara. Namun, dalam teori dampak lingkungan, kemakmuran yang tinggi justru menjadi determinan pokok kerusakan lingkungan hidup.

Pada dekade 1960-an, Leopold Kohr, aktivis dan ilmuwan sosial Austria, menawarkan kategori yang cukup radikal terhadap stratifikasi kemakmuran, yaitu negara-negara yang mengalami kecanduan pembangunan (overdeveloped countries). Terminologi ini umumnya dipakai dalam memahami fenomena pembangunan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologisnya. Negara pecandu ini terus mengejar pertumbuhan tanpa batas dan memaksa seluruh komponennya untuk memenuhi ambisi itu.

Kategori Kohr juga biasa dipakai untuk menyebut gejala yang sama pada tingkat kota, yang pertumbuhannya cenderung kosmopolitan. Kota Jakarta, Bandung, dan Denpasar adalah tiga kota yang menunjukkan gejala sama. Salah satu ciri fisik yang menonjol pada kota yang mengalami kecanduan pembangunan adalah pembangunan lahan yasan (real estate) dan fasilitas pendukungnya secara masif serta munculnya gejala kecanduan belanja (hyperconsumption) pada barang-barang nonfungsional.

Thursday, February 23, 2017

Islam dan Kesalehan

Islam dan Kesalehan

Menarik membaca artikel F Budi Hardiman berjudul "Kesalehan dan Kekerasan" (Kompas, 6/1). Artikel ini akan mengurai perspektif Islam tentang tema yang diurai dalam artikel tersebut mengingat dominannya narasi kekerasan yang muncul dari tafsir salah kaprah ekstremis Muslim atas Islamnya maupun dikaitkannya Islam dengan isu kekerasan, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Meskipun basisnya sangat kuat, bahkan paling kuat dalam Islam, etika tak mendapat perhatian besar dari filosof-filosof Muslim. Salah satu dari sangat sedikit yang memberikan perhatian besar pada tema itu adalah Ibn Miskawaih, filosof Islam asal Persia abad ke-10 yang disebut sebagai "Bapak Etika Islam" melalui karya monumentalnya berjudul Tahdzibul Akhlak wa Tathir  al-Araq".
Sejak awal, secara filosofis, Ibn Miskawaih meletakkan etika dalam fakultas diri yang disebutan-nafs an-nathiqah (daya berpikir). Oleh karena itu, ia harus dididik. Ibadah termasuk salah satu "kurikulum" pendidikan etika dalam Islam. Karunia daya pikir itu tak ada kaitannya dengan agama. Basisnya pun adalah nilai universal berupa keadilan.
Bergantung akhlak
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima firman pada umurnya ke-40, ia lebih dulu tampil dengan dua fondasi: rahmat dan akhlak. Dia adalah Nabi Rahmat (Nabi ar-Rahmah) bagi semesta alam (rahmatan lil alamin), bukan sekadar bagi umat Islam (lil muslimin), sebagaimana dalam QS Al-Anbiya: 107. Dia juga, sebagaimana sabda-Nya dan firman-Nya (QS Al-Qalam: 4), benar-benar diutus untuk menyempurnakan akhlak. Bukan "membawa", melainkan "menyempurnakan". Sebab, etika atau akhlak adalah bawaan daya pikir setiap manusia.

Tuesday, February 21, 2017

Konservatisme dan Pilkada

OPINI > ARTIKEL > KONSERVATISME DAN PILKADA

Konservatisme dan Pilkada

Propaganda adalah senjata ampuh dalam setiap pemilihan politik. Lebih ampuh lagi jika propaganda tersebut berpijak pada diktum-diktum konservatisme.
Memang pada awalnya propaganda konservatif sering dipandang sebelah mata. Berpolitik dengan menjual identitas seperti barang antik di kurun kemajemukan dewasa ini. Saat kita sudah berbicara warga negara dunia, rasisme bukan sesuatu yang menjanjikan lagi secara politik. Namun, apa daya, perebutan kekuasaan tetap bersandar pada politik identitas yang pekat. Kemenangan Trump seperti lonceng yang menyadarkan kelompok konservatif di seantero planet, khususnya kelompok agama.
Politisasi ketakutan
Konservatisme pada awalnya adalah secarik proposal filsafat politik. Di tengah deru perubahan sosial yang bergegas, tradisi perlu mendapat pembelaan filosofis. Perubahan yang serta-merta cenderung tak terkendali dan mematahkan sendi-sendi tradisi. Di sini filsuf konservatif awal bernama Edmund Burke menyatakan betapa tradisi, keluarga, dan institusi agama takBOLEH dirobohkan atas nama revolusi sosial. Perubahan, pun jika ada, harus dibiarkan berjalan secara organik, bukan lewat rekayasa sosial.
Proposal filsafat itu lambat laun jadi politik praktis. Dia bukan lagi abstraksi filosofis, melainkan ideologi yang operasional. Berbagai kelompok politik pun bermunculan dengan merek dagang "konservatisme". Mereka menjual romantisisme tentang tradisi, keluarga, dan agama. Saat kelompok liberal mempropagandakan kebebasan, konservatif menekankan kekerabatan. Kekerabatan yang, sayangnya, sering kali ditafsirkan secara ketat dan sektarian. Ujung-ujungnya adalah supremasi ras dan bahkan agama.

Teknologi Finansial dan Masa Depan Perbankan

Teknologi Finansial dan Masa Depan Perbankan

Teknologi telah mengubah kehidupan kita dan mendisrupsi kemapanan berbagai sektor industri.
Munculnya media daring, buku digital, hingga musik dan film yang bisa diunduh langsung dari internet telah mengguncang industri penerbitan dan musik. Beberapa media cetak dan perusahaan penerbitan yang tak mampu bersaing akhirnya menutup usaha.
Kita juga melihat satu per satu toko kaset, cakram musik (compact disc), dan video (DVD) mulai menghilang dari pertokoan karena sepi peminat. Inilah yang dinamakan disrupsi teknologi.
Di dunia keuangan disrupsi ini juga tak terhindarkan. Gelombang munculnya para pelaku usaha rintisan (start up) di bidang layanan keuangan digital atau yang umum disebut dengan istilah financial technology (fintech) telah menimbulkan waswas dari industri petahana, dalam hal ini perbankan.
Pelaku usaha rintisan di bidang teknologi finansial (tekfin) atau fintech telah mengubah cara masyarakat dalam membayar, mengirim uang, memperoleh pinjaman, hingga berinvestasi.

Buzzer

Buzzer

KORAN TEMPO SABTU, 18 FEBRUARI 2017 | 01:15 WIB
Bisakah kita kembali bertegur sapa seperti yang kita lakukan sebelum pilkada?"
Kalimat itu saya baca di grup WhatsApp (WA) yang sudah lama tak saya buka. Posting-an itu dibuat setelah pencoblosan berakhir. Tentu saya kenal penulis kalimat itu, sahabat saya yang menjadi buzzer calon Gubernur DKI Jakarta. Kesehariannya tak banyak omong, bahkan cende-
rung berkata-kata seperlunya saja. Entah kenapa di grup WA, ia menulis kata-kata kasar untuk orang yang merendahkan calonnya. Kasar pula kalimatnya untuk memojokkan calon lawan. Ia juga mengaku punya akun Twitter dengan nama palsu dan setiap saat mem-posting pujian untuk calon dukungannya. 
"Hahaha... sekarang ente menyerah. Bagi dong bayarannya sebelum kita damai."
Kalimat ini adalah jawabannya. Juga dari teman yang saya kenal, seorang buzzer pula, tentu dari calon yang lain. Dia seorang doktor lulusan luar ne-
geri. Hidupnya pun sudah mapan. Sering saya terhe-
ran-heran kenapa di grup WA dia menulis sedemikian kasar jika ada komentar yang menjelekkan calon dukungannya. Sebagaimana para buzzer yang kehilangan kontrol dalam pilkada DKI Jakarta ini, dia pun setiap menit memuji calon yang didukungnya. Bahkan rela tidak tidur semalaman. Apakah dia mendapat bayaran dan seberapa besar? Kalau membaca komentarnya, yakni "bagi dong bayarannya", saya kira dia dibayar, juga "musuhnya" itu.

Rasionalitas Pemilih Jakarta

OPINI > ARTIKEL > RASIONALITAS PEMILIH JAKARTA

Rasionalitas Pemilih Jakarta

Tak lama setelah lembaga-lembaga hitung cepat menahbiskan kemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat pada 15 Februari lalu, banyak analis yang mengklaim bahwa warga Jakarta sangat rasional. Meski Ahok dihantam isu-isu primordial, warga Jakarta tetap memilihnya karena menilai kinerja calon petahana ini di atas rata-rata.
Ibarat gelas setengah penuh atau setengah kosong, kemenangan Ahok-Djarot dalam putaran pertama ini bisa dibaca dalam dua perspektif yang berbeda. Di tengah tekanan kuat pasca kontroversi Al Maidah dan status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama, perolehan suara pada kisaran 43 persen dan tampil sebagai pemenang di putaran pertama tentu tidak buruk. Artinya, klaim bahwa warga Jakarta rasional menemukan justifikasi empirisnya.
Namun, kemenangan tipis tersebut bisa juga dibaca sebaliknya. Menurut data longitudinal Indikator Politik Indonesia, rata-rata kepuasan publik terhadap Ahok mencapai 73,4 persen. Masih banyak proporsi pemilih yang puas atas kinerja Ahok, tetapi tidak sudi memilihnya. Jika benar warga Jakarta rasional, seharusnya Ahok minimal mengantongi suara 70 persen sesuai dengan proporsi warga yang puas terhadap kinerjanya. Dengan kata lain, perolehan suara ketiga pasangan calon di Jakarta tidak bisa dijelaskan semata-mata oleh faktor rasionalitas.

Konstitusionalisme DPR

KORAN SINDO Edisi 21-02-2017
Konstitusionalisme DPR

Menjadikan hukum sebagai panduan, tuntunan, danarah- supremasi hukum–dalam kehidupan berkebangsaan dan bernegara, menurut sejarahnya, merupakan sebuah temuan mengagumkan. 

Orang agung, karena akal budinyalah, yang melahirkan ihwal agung dan memiliki keagungan. Bukan bandit, melainkan orang agung, mereka yang matabatinnya hidup, danlembut selembutsaljulahyangmenemukan dan menggelorakannya. Orang agung tak mampu menyediakan sedikit pun relung mata batinnya diterpa keangkuhan nafsu mengangkangi hukum, politik, dan ekonomi. 

Bukan tidak mengetahui tiga hal tersebut sebagai permata dunia materiil, tetapi keindahan dan kemuliaan akal budinya dalam samudra mata batinnya mengokohkan dan menggelorakan mereka dalam rindu ini. Terus terang, rindu ini berkelas. 

Hakikatnya 

Orang agung akan membaca Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang telah diubah sebanyak empat kali oleh MPR 1999-2001, dengan bacaan mata batin, filosofis. Bacaan jenis ini mengantarkannya ke dalam dimensi-dimensi otentik kehendak memuliakan manusia dalam teks itu. Di dasar teks itulah letak pengagungan atas kemanusiaan otentik. Keagungan dan kemuliaan manusia, makhluk penerima amanat, yang tak mampu diterima oleh gunung dan lainnya, inti otentik gagasan negara hukum. 

Nilai-nilai itulah yang disebut nilai intrinsik hukum oleh almarhum Pak Tandyo Wignjosoebroto, guru besar yang cemerlang pemikiran sosiologi hukum dari Universitas Airlangga Surabaya ini, senafas dengan konsep metavalue P.S Atyah, ahli hukum Inggris abad ke-20 ini. Terdemonstrasinya nilai-nilai itu, dalam sejarahnya yang universal di Barat juga timur dahulu kala, merupakan reaksi atas tindak-tanduk tak terdidik, angkuh, serakah, kejam, semaumaunya, dan lain yang sebangsanya oleh penguasa. 

Menakar Putaran Kedua

OPINI > ARTIKEL > MENAKAR PUTARAN KEDUA
Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan hasil real count yang ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu penghitungan dan pengumuman resmi saja.
Tidak ada satu pasangan calon pun yang berhasil memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi ketiga. Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Perhatian kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran kedua. Pertanyaan utamanya ada dua: ke manakah partai-partai pendukung Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya dan ke manakah pemilih pasangan calon ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini disebut utama dengan asumsi pemilih pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan tetap solid mendukung mereka di putaran kedua.
Jika melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung pasangan calon nomor urut satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya peluang lebih besar untuk memperoleh limpahan suara karena karakteristik pemilihnya mirip. Namun, putaran kedua baru akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak hal bisa terjadi selama dua bulan tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.
Maka, untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua akan berlangsung sangat ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa membuat pertarungan pasangan calon nomor urut dua melawan pasangan calon nomor urut tiga berimbang, seperti pada putaran pertama.

Tekanan Freeport di Balik Mundurnya Chappy

KORAN SINDO, Edisi 21-02-2017
Mundurnya Chappy Hakim sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI), anak perusahaan McMoran yang berbasis di Amerika Serikat, sangat mengentak dan mengejutkan bagi khalayak. 

Pasalnya, Chappy menjabat Presiden Direktur PT FI belum genap empat bulan, sejak dilantik secara resmi pada November 2016. Wajar kalau kemudian menimbulkan berbagai spekulasi di balik mundurnya Chappy. Terlebih lagi, Chappy dan PT FI tidak menjelaskan alasan pengunduran diri tersebut. Berbeda dengan Maroef Sjamsudin, Presiden Direktur PT FI sebelumnya, Chappy Hakim tidak secara eksplisit mengungkapkan alasan mendasar pengunduran dirinya. Chappy hanya mengemukakan alasan pengunduran diri secara normatif. 

Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pengunduran diri Chappy Hakim? Minggu lalu memang sempat terjadi ”insiden main tunjuk” yang dilakukan oleh Chappy Hakim terhadap anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo. Namun, Chappy sudah menyadari kekeliruannya, lalu minta maaf kepada Mukhtar Tompo atas insiden itu. Mukhtar Tompo pun telah memaafkannya dan tidak diperpanjang lagi. Beberapa pihak mengaitkan insiden tersebut sebagai alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri. 

Kalau benar insiden main tunjuk menjadi alas an bagi Chappy untuk mengundurkan diri, barangkali alasan itu tidak terlalu signifikan. Tentunya ada alasan lain yang lebih mendasar di balik pengunduran diri tersebut. Salah satunya kemungkinan terusiknya rasa kebangsaanChappy atas aksi main tekan dan adu domba. Tidak hanya main tekan terhadap pemerintah Indonesia, juga tindakan Freeport sudah mengarah pada aksi ”adu domba” antara karyawan Freeport dan pemerintah Indonesia. 

Kalau tetap menjadi Chief Executive Officer PT FI, Chappy bisa dituduh terlibat dalam aksi tekan dan adu domba. Pengunduran Chappy barangkali sebagai exit strategy untuk menghindari tuduhan keterlibatannya dalam aksi main tekan dan adu domba. Chappy memang kembali sebagai penasihat, tetapi peran Chappy sebatas memberikan nasihat saja. 

Thursday, February 9, 2017

Politik Kemungkinan

Politik Kemungkinan

Seperti digambarkanJohn D Caputo, manusia adalah open-endedness, selalu berada dalam banyak kemungkinan. Bergerak dari satu kemungkinan menuju kemungkinan lain, bahkan tidak menutup kemungkinan yang dianggap mustahil pun bisa menjadi kenyataan.
Sering kali apa yang kita cari tidak ditemukan dan yang tidak dicari malah menghampiri di luar prediksi. Yang diburu habis-habisan kian menjauhi, dan tatkala diam sediam-diamnya, apa yang kita kejar dengan sendirinya datang tak terduga.
Manusia tidak sepenuhnya baik, juga tidak selamanya menggambarkan konsep diri yang jahat. Pada praktiknya bandul kebaikan, sebagaimana keburukan, saling menggeser bahkan sering kali bertukar tempat tanpa terlebih dahulu permisi atau dipersilakan. Ada banyak pengalaman konkret yang menggambarkan orang yang semula baik-baik, tetapi ketika menjadi pejabat berubah wujud menjadi korup sekorup-korupnya, atau sebaliknya setelah turun dari kursi beralih peran menjadi resi.
Manusia berdiri dalam kutub tarik-menarik antara menjadi malaikat dan godaan jatuh menjadi setan.Antara langit agung kudus ketuhanan dan terperosok dalam limbo negatif kebinatangan. Yang ilahi dan yang hewani menjadi bagian yang melekat dalam tubuh sekaligus jiwa manusia. Epos penyaliban Nabi Isaatau hikayat miraj Nabi Muhammad adalah sebagian dari penggalan riwayat kenabian yang berupaya memberikan ruang bagi hadirnya ”jiwa” spiritual dan lepasnya ”tubuh” kedagingan.
Saya kira karya sastra bikinan Attar, penyair abad ke-12, Musyawarah Burung, masih relevan direnungkan dan berhasil membuat sebuah alegori tentang pertempuran tak kenal henti antara tarik-menarik ini. Kemungkinan mencapai gunung Qaf, tempat di mana Raja Burung yang bernama Simugh bersinggasana dan tak sedikit juga satwayang terjerembap di jalan menyimpang karena tak mampu mengendalikan nafsunya, terperangkap dalam gelap, terperosok pesona kekuasaan dan godaan kebendaan, dan tak paham arah jalan keluar.
Maka, pada titik ini kehadiran agama dan etika menjadi dipandang penting, minimal keduanya hadir sebagai interupsi moral ketika seseorang terpelanting dalam kekhilafan.Kelahiran agama selalu dimulai dari kondisi kebatinan manusia yang ambigu, moralitas banal, dan situasi politik yang penuh kepura-puraan.
Pertobatan dan permaafan menjadi pintu agar manusia kembali menemukan optimisme dan kediriannya yang telah tercemar. Istigasah dan upacara ritus lainnya yang boleh dihadiri siapa pun juga—tanpa melihat iman, apalagi asal-usul ormasnya—adalah ekspresi kedaifan manusia dan harapan datangnya kebaikan dari Tuhan.