Saturday, March 25, 2017

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari Tiongkok.
Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

KORAN TEMPO Selasa, 21 Maret 2017 | 01:18 WIB
Tobias Basuki
Peneliti Centre for Strategic and International Studies

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.

Bisa dikatakan hasil putaran pertama pilkada DKI ini adalah imbang untuk kedua kerangka teori pemilih rasional versus politik aliran. Hasil putaran pertama menempatkan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan 43 persen suara dan penantangnya, Anies Baswedan, 40 persen. Ini menunjukkan bahwa dua teori tersebut mempunyai kekuatan penjelas tapi terbatas.

Ketika elektabilitas Ahok menukik tajam sampai di titik 20 persen sekitar November, alasan utama yang digarisbawahi adalah kasus penistaan agama yang menjerat Ahok ke dalam kasus hukum. Menariknya, setelah kasus penistaan tersebut masuk ke pengadilan, justru elektabilitas Ahok menanjak ke angka 30-an persen.

Dari kasus ini bisa dikatakan kurang akurat jika menggambarkan 400 ribu umat muslim yang turun dalam aksi 411 dan 212 semata marah karena agamanya dinistakan. Sebab, jika kemarahan itu demikian besar, elektabilitas Ahok pasti tidak akan mencapai 43 persen pada putaran pertama lantaran  pemilih muslim di DKI Jakarta lebih dari 80 persen.

Friday, March 24, 2017

Negara Versus Freeport

Negara Versus Freeport

Setelah skandal "Papa Minta Saham", PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia kembali berbalas pantun. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini mengumumkan force majeur pada 17 Februari 2017 untuk menekan Indonesia agar terhindar dari kewajiban pengolahan dan pemurnian di smelter dalam negeri dan mengubah kontrak karya sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Padahal, telah berulang kali Pemerintah Indonesia mengubah peraturannya sendiri karena gagal memaksa PT Freeport Indonesia patuh. Freeport juga tak malu-malu menggunakan cara memperhadapkan buruh sebagai bidak menghadapi pemerintah lewat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Sudah waktunya taktik seperti itu diakhiri.
Kontrak karya Freeport sudah berumur setengah abad, ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 1967 sebelum UU Pertambangan Indonesia disahkan, bahkan sebelum penentuan pendapat rakyat Papua berlangsung. KK ini mewariskan luka mendalam bagi Indonesia dan rakyat Papua.
Model kontrak karya Freeport  yang diadopsi dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 tak hanya membuat Indonesia memberikan pelayanan luar biasa kepada investasi asing. Model kontrak itu juga mewariskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan di sekitar lokasi tambang, seperti di sekitar tambang  Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Inco/Vale di Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Halmahera.
Bagi rakyat Papua-pemilik sebenarnya cebakan emas terkaya di dunia itu-kehadiran PT Freeport Indonesia bagai pisau bedah yang memutus ikatan orang  Papua dengan alamnya dan pintu terjadinya pelanggaran HAM.  Pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan (Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) melaporkan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambang PT Freeport Indonesia sepanjang 1994-1995. Kucuran dana keamanan PT Freeport Indonesia untuk kepolisian  dan TNI-sekitar Rp 711 miliar sepanjang 2001-2010 (Indonesia Corruption Watch, 2011) membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan dan bisnis militer.

Pembubaran Partai

Pembubaran Partai

Proyek pengadaan dan penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan—yang dikenal dengan KTP elektronik (KTP-el)—menjadi bancakan. Surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut puluhan nama anggota DPR sebagai penikmat duit korupsi proyek.
TOTO S
Uang haram juga diduga mengalir ke partai. Misalnya, ada dana sekitar 5,5 juta dollar AS diserahkan kepada Anas Urbaningrum yang kemudian digunakan untuk membayar akomodasi Kongres Partai Demokrat di Bandung. Tampaknya tak hanya Partai Demokrat, partai lain pun menerima gelontoran anggaran pengerjaan KTP-el. Elite partai yang korupsi mengundang sejumlah reaksi. Banyak pendapat meminta supaya partai—tempat anggota atau petingginya terjerat korupsi—dibubarkan.

Dari Stabilitas Menuju Produktivitas

Dari Stabilitas Menuju Produktivitas

Ketidakpastian adalah hantu dalam perekonomian. Sering kali perilaku investor menjadi tak terkendali menghadapinya. Merespons kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed, menaikkan suku bunga referensi sebesar 0,25 persen menuju 0,75 hingga 1 persen, investor sama sekali tidak gugup. Seakan mereka menghadapi situasi biasa saja.
Ketidakpastian memang bersifat relatif. Hari-hari ini ketidakpastian bukanlah hantu yang menakutkan. Faktor utamanya, perekonomian AS terlihat mulai membaik. Bank Sentral AS memiliki dua mandat pokok, menjaga inflasi dan angka pengangguran. Inflasi Februari 2017 sebesar 2,7 persen, yang dibandingkan dengan tahun lalu sudah lebih tinggi daripada target The Fed sebesar 2 persen. Jika efek kenaikan harga makanan dan energi dikeluarkan, inflasi sebesar 2,2 persen. Hal itu menandakan perekonomian mulai menggeliat. Sementara, angka pengangguran sudah menuju titik ideal atau full employment. Sepanjang Februari 2017 telah terjadi penambahan lapangan kerja sekitar 235.000 sehingga angka pengangguran turun menjadi 4,7 persen. Akibatnya, tingkat upah naik sekitar 6 persen.
Oleh karena itu, kenaikan suku bunga adalah keniscayaan, suatu langkah menuju ”situasi normal” kembali. Ekspektasi investor terhadap kenaikan suku bunga melejit lebih dari 90 persen, persis sebelum kebijakan diambil. Sudah lebih dari tujuh tahun suku bunga mendekati nol persen dan inilah saatnya naik. Sebagai catatan, suku bunga tertinggi di AS dalam beberapa dekade terakhir terjadi pada bulan Juni 1981, sekitar 19 persen.
Faktor lain adalah perkembangan politik di Eropa. Partai anti-imigran kalah dalam pemilu di Belanda minggu lalu. Partai beraliran moderat (kanan tengah) pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte unggul dalam perhitungan exit polls. Situasi ini memberikan sedikit kelegaan. Publik berharap perkembangan politik di Belanda akan memengaruhi hasil pemilu di Perancis dan Jerman yang akan digelar tahun ini. Menguatnya gejala nasionalis yang anti-keterbukaan, seperti Brexit dan hasil pemilu AS, menorehkan trauma global.
Laporan tiga bulanan Dana Moneter Internasional, World Economic Outlook (edisi 1/2017) berjudul A Shifting Global Economic Lanscape. Muncul situasi ambigu, perekonomian global sebenarnya mulai membaik, tetapi situasi geopolitik justru semakin tak menentu.
Secara umum, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dua tantangan pokok, yakni risiko jangka pendek (cyclical) dan jangka panjang (struktural). Risiko pertama terkait dengan normalisasi kebijakan moneter di AS yang berpotensi menimbulkan kepanikan serta pembalikan modal, sedangkan risiko jangka panjang bersumber pada belum pulihnya ekspor serta investasi swasta.
Terkait kenaikan suku bunga The Fed minggu lalu, paling tidak risiko pertama tak terjadi. Justru sebaliknya, modal asing terus mengalir ke pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia justru mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, pada level 5.540, justru setelah kenaikan suku bunga The Fed. Selain faktor kepastian global yang mulai tercipta, ada faktor domestik yang mendorong, seperti potensi kenaikan peringkat investasi oleh Standard & Poor’s serta kinerja emiten yang bagus.
Indeks Pertambangan mencatat kenaikan paling tinggi di antara kelompok industri lainnya, yang ditopang kenaikan harga komoditas. Seiring masuknya modal asing, nilai tukar rupiah juga terjaga pada posisi Rp 13.300-an per dolar AS. Kekhawatiran penguatan indeks dollar AS dengan kenaikan suku bunga The Fed tak terjadi.
Meskipun situasi tampak terjaga, ketidakpastian belum hilang. Masih terlalu dini menganggap perekonomian global stabil. Berbagai kejutan masih mungkin terjadi sehingga gejolak masih akan datang lagi. Stabilitas adalah sesuatu yang kita butuhkan, tetapi sama sekali tak mencukupi. Perekonomian kita harus terus ekspansi sehingga fokus harus bergeser pada produktivitas.
Laporan triwulanan perekonomian Indonesia terbitan Bank Dunia (edisi 1/2017) mengambil judul Sustaining Reform Momentum. Menghadapi kehadiran kembali ketidakpastian politik global serta risiko guncangan keuangan, cara yang paling baik adalah melanjutkan reformasi perekonomian domestik. Pertama, melanjutkan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi meningkatkan daya saing dan produktivitas perekonomian domestik. Kedua, melanjutkan konsolidasi fiskal serta perbaikan pengeluaran publik, untuk menyokong reformasi struktural. Ketiga, secara khusus fokus pada kualitas pembelajaran di sektor pendidikan.
Satu aspek penting untuk mengatasi persoalan stabilitas sekaligus produktivitas dalam jangka panjang adalah pendalaman sektor keuangan. Ketergantungan pada modal asing, khususnya jangka pendek, merupakan salah satu masalah fundamental dan struktural yang kronis. Itulah mengapa kita cenderung menjadi korban dari gejolak sektor keuangan global. Pendalaman sektor keuangan dengan bantuan kemajuan teknologi digital bisa menjadi kunci asal dikelola dengan benar.
Arahnya bukan menambah atau mengganti akses keuangan bagi yang sudah memilikinya, melainkan menambah akses yang belum terlayani. Masalah inklusi keuangan menjadi isu sentral, apalagi di era teknologi finansial ini.
A PRASETYANTOKO, REKTOR UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 15 dengan judul "Dari Stabilitas Menuju Produktivitas".
  • 0
  • 0
  • 0

Ketimpangan Perekonomian

OPINI > ARTIKEL > KETIMPANGAN PEREKONOMIAN

Ketimpangan Perekonomian

Akhir-akhir ini, isu ketimpangan perekonomian nasional kembali menghangat. Ini sebenarnya lagu lama dengan topik yang timbul tenggelam.
Ketimpangan dan ketidakadilan adalah hal yang sangat serius, mengingat beragamnya etnis, agama, dan suku. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi semua pihak dan lapisan masyarakat.
Menurut Amy Chua dalam bukunya World on Fire, pasar bebas dalam demokrasi yang didominasi kelompok yang sedikit dapat berujung pada perpecahan. Oleh karena itu, masalah ketimpangan dalam perekonomian sangatlah krusial dan perlu ditangani segera oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan.
Terjadi di semua negara
Masalah ketimpangan ekonomi ini ternyata bukan hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga negara maju yang berkecukupan dan lebih manusiawi. Kita pikir, urusan perut hanyalah milik negara miskin ternyata dirasakan juga oleh rakyat negara maju, terutama dalam hal kesempatan kerja.
Tilik saja mengapa Presiden Donald J Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45. Tidak lain adalah karena masalah ketimpangan ekonomi yang berhasil dikemas dengan jitu dan "seksi" oleh Trump.
Slogan "Beli Produk Amerika (Buy American)" dan "Pekerjakan Orang Amerika (Hire American)" secara implisit menyatakan adanya ketimpangan perekonomian di Amerika Serikat. Si kaya semakin kaya, sementara penduduk miskin terperangkap dalam kemiskinan dan sulit bangkit karena energinya habis untuk meratapi kemiskinannya.
Menurut OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development), ketimpangan di Amerika Serikat meningkat, terutama setelah krisis ekonomi dan moneter global 2008. Ini sangat jelas ditunjukkan oleh angka koefisien gini yang meningkat dari 0,374 pada 2007 menjadi 0,394 pada 2014.
Dunia memang begitu ironis dan kontras. Ketika dunia lagi berbenah dan disibukkan oleh pemulihan perekonomian global yang terasa amat lambat, yang terjadi justru ketimpangan ekonomi yang makin melebar.
Mungkin saya agak naif, ketimpangan perekonomian yang meningkat di dunia ada kaitannya dengan kebijakan QE (quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif) oleh Amerika Serikat yang juga dilakukan Jepang dan Uni Eropa. Bisa jadi, dugaan ini masih sangat prematur dan harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih dalam dan komprehensif. Meski demikian, kita perlu mencermati secara hati-hati apa arti QE sesungguhnya?
QE adalah kebijakan moneter nonkonvensional, di mana bank sentral membeli aset keuangan dari bank komersial dan institusi swasta lainnya dengan harapan meningkatkan uang beredar di perekonomian. Sangat jelas di sini, suntikan dana yang dilakukan oleh bank sentral, tahap pertama melalui sektor finansial, baru kemudian berlanjut menjadi stimulus ke sektor riil.

NU dan Islam Nusantara

OPINI > ARTIKEL > NU DAN ISLAM NUSANTARA


Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus, membawa tema penting, yakni "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia".
Tema ini penting di tengah tercerabutnya identitas keislaman Indonesia yang menggiring sebagian Muslim menempuh lajur radikalisme.
Di kalangan nahdliyin, tema Islam Nusantara menandai perkembangan terkini dari pemikiran NU. Dulu pada zaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kita mengenal ide pribumisasi Islam. Intinya: Islam sebagai agama universal harus dibumikan ke dalam budaya lokal. Ini dilakukan agar Muslim Indonesia bisa beragama sesuai dengan budaya Indonesia.
"Kita ambil nilai Islam, kita saring budaya Arab-nya", demikian Gus Dur menandaskan.
Islam Indonesia
Dari sini lahirlah istilah Islam Indonesia. Maksudnya tentu saja jelas: Islam yang berbudaya Indonesia. Dalam praktik diskursifnya, Islam Indonesia ditempatkan dalam konteks keindonesiaan modern, yang bernegara-bangsa, berpancasila, dan demokratis. Ini digunakan oleh nahdliyin sebagai norma dasar yang memayungi geliat pemikiran dan gerakan sosialnya. Ketika terjadi "bom intelektual" NU pada akhir 1990-an, gagasan Islam Indonesia diradikalkan dalam rangka sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme.
Hal itu melahirkan reaksi berupa post-tradisionalisme Islam (postra). Gagasan ini sederhana, menandai perbedaan titik pijak antara Gus Dur dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Bagi postra, pijakan Gus Dur ialah tradisi. Sementara Cak Nur, modernitas Eropa. Maka, gerakan pemikiran NU mengalami arus balik, dari liberalisme menuju tradisi.

Titik Nol Islam Nusantara


Titik Nol Islam Nusantara

Tiba-tiba terdengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan meresmikan Tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Acara itu dirangkai dengan Silaturahim Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia, 24-25 Maret 2017, di Mandailing Natal. Kabar ini dipublikasi di situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (setkab.go.id).
Penentuan ini tentu tidak jatuh begitu saja. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kabarnya ikut mendukung program Barus sebagai pusat masuknya Islam pertama di Nusantara.
Rekonstruksi sejarah atau etnografis?
Tentu penetapan Barus sebagai titik awal Islam di Nusantara akan melahirkan perdebatan terkait basis ilmiahnya. Jika digunakan pendekatan sejarah, yaitu pengetahuan rekonstruksi masa lalu yang berpegang pada obyektivitas dan fakta ilmiah, ia terikat pada metodologi yang ketat menurut sejarawan. Tentu juga harus diingat nasihat sejarawan Inggris, RG Collingwood, fakta sejarah tidak pernah akan sampai kepada kita secara murni. Dia selalu memiliki bias di dalam pemikiran para perekamnya, termasuk upaya sejarawan menuliskannya.
Dari sisi rekonstruksi sejarah, arus utama tentang sejarah mula Islam Nusantara menyebutkan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama. Kerajaan ini merupakan gabungan dua kerajaan Hindu, yaitu Samudra dan Pasai, dengan Raja Meurah Silue yang kemudian bergelar Malik as-Salih (1267-1297) {Muhammad Said, 1981; Anthony Reid (ed), 1995; Robert Pringle, 2010}.
Pengukuhan Pasai sebagai peradaban Islam Melayu pertama di Nusantara juga terjadi dalam dua momentum seminar nasional, yaitu 17-20 Maret 1963 di Medan dan 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh. Bahkan, dalam seminar ditemukan juga dalil-dalil tentang jejak kekuasaan Pasai sejak abad ke-11.
Salah satu dokumen tertua tentang keberadaan Kerajaan Pasai ditulis oleh pelancong Venesia, Marco Polo, yang masih sempat bertemu dengan Sultan Malik as-Salih (1292). Kesaksian etnografis Marco Polo tentang Pasai dan tujuh ”kerajaan” lainnya di Sumatera (hanya enam yang sempat disinggahinya) memiliki kesan berbeda. Ia menyiratkan Pasai yang terbesar. Penyebutan Perlak adalah tempat pertama yang ia jelajahi. Selain Pasai dan Perlak yang Muslim, kerajaan lain dikatakan masih menganut agama pagan dan bertradisi kanibal (Reid, Sumatera Tempo Doeloe, 2010: 8-10).
Beberapa bukti arkeologis seperti ingin mencecar tentang kesahihan Pasai sebagai kerajaan tertua Islam Nusantara. Ada upaya untuk menjadikan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama dengan menggunakan pseudofakta, yaitu makam berpenanggalan 840 M. Demikian pula memajukan Barus sebagai kerajaan tertua Islam di Nusantara dengan dalil bahwa pedagang Muslim telah masuk di daerah ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M (625-642 M), tapi tidak memiliki bukti arus utama sejarah.
Tak kunjung berhasil
Saya pernah menjadi pembahas riset Kerajaan Perlak oleh sebuah tim perguruan tinggi di Langsa, beberapa tahun lalu. Hasil riset itu tak kunjung berhasil menunjukkan dokumen valid bahwa Perlak telah berdiri sebagai sebuah pemerintahan dibandingkan dengan sekadar komunitas etnis-agama. Hal ini tentu berbeda dengan Kerajaan Pasai yang telah dikenal memiliki pemerintahan yang relatif modern, penggunaan mata uang emas pertama di kerajaan Islam Asia Tenggara, kekuatan kemiliteran, juga hubungan perdagangan dan politik internasional (Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999: 3-4).
Selama ini, peneguhan orbit selain Pasai dilakukan tidak dengan pendekatan historis, tetapi etnografis, yaitu melalui sejarah tuturan. Masyarakat di sana (Perlak dan Barus) memercayai bahwa daerah merekalah yang menjadi titik awal Islam, bukan Pasai.
Sebenarnya penggunaan sejarah tuturan demi mengungkap kebenaran masa lalu sah ketika tidak ada upaya lain untuk membongkar bangunan borjuisme sejarah (Paul Thompson, Oral History : Voice of the Past, 2000: 28). Namun, penentuan sejarah Pasai tidak terjadi dalam ruang politik, tapi pembuktian saintifis. Antropolog pada era kolonial, seperti Snouck Hurgronje dan sejarawan Jean Pierre Mouquette, ikut menunjukkan bukti-bukti keberadaan Kerajaan Pasai sebelum ditaklukkan Kerajaan Aceh pada 1524.
Pasai layu, Barus mekar
Meski demikian, bukan berarti Barus tidak penting dalam sejarah Nusantara. Kota tua Barus telah dikenal di Timur Jauh, Eropa, dan Afrika Utara berabad- abad sebelum Masehi serta menjadi pelintasan penting perdagangan kamper, kemenyan, cendana, dan emas. Kota metropolis Sumatera itu mencapai puncaknya pada abad ke-10, kemudian terus menurun menjadi hanya kota kecamatan lusuh dan sepi (Kompas, 1 April 2005).
Namun, bukti-bukti arkeologis pertama Barus tidak merujuk pada khazanah Islam. Jauh sebelum Islam, Barus telah dikenal sebagai asal daerah Batak Toba. Pada abad ke-11, berdasarkan penelitian epigrafi dan arkeologi, terkuak fakta makam-makam Hindu berbahasa Tamil di daerah ini (Claude Guillot, 2002). Makam-makam ulama di Papan Tenggi yang berpenanggalan abad ke-13 terjadi pada fase lain, ketika Barus mulai sepi sebagai kota perdagangan dunia.
Sejak Kerajaan Pasai melemah dan redup pada akhir abad ke-15, poros peradaban dan sastra Melayu akhirnya pindah ke pantai barat-selatan, yaitu wilayah Barus dan Singkil. Di daerah inilah dua hal berkembang secara bersamaan, yaitu filsafat Islam wujudiyah dan kesusastraan Melayu.
Tokoh utama sejarah Melayu dari Barus adalah Hamzah al-Fansuri yang diperkirakan lahir 1570-an dan meninggal pada 1630-an. Fansur sendiri berarti ’kapur barus’. Dulunya daerah Barus masuk wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain yang lahir 120 kilometer dari Barus (Singkil) ialah Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615-1693).
Berbeda dengan pengembangan Islam di wilayah Pasai yang berporos pada fikih mazhab Syafi’iyah, Barus dan Singkil menjadi tempat bersemainya gagasan tasawuf, terutama tarekat sattariyah. Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi katalisator berkembangnya Islam toleran, inklusif, dan progresif. Berkembangnya tradisi zikir dan suluk di Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran sufisme dari Barus dan Singkil.
Meski demikian, ada hal yang masih menghubungkan antara Pasai dan Barus. Karya-karya tokoh tasawuf, seperti Syarab al-’Asyikin, Mir’atul Thulab, Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin Suluk Maslak al-Mufridin dituliskan dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab yang diserupakan dengan bahasa Pasai.
Gagasan pengembangan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kesusastraan Melayu Pasai pada abad ke-13 hingga ke-14. Ini merupakan pembabakan perkembangan sastra Melayu Islam pertama di dunia atau perkembangan kedua setelah sastra Melayu Buddha di Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-13 (Abdul Hadi WM dalam Sardono, 2005).
Akhirnya, secara genealogis, Islam Nusantara tidakBOLEH melupakan Pasai sebagai titik air pertama peradaban Islam-Melayu, bukan sekadar replikasi ”agama Mekkah” yang dibawa pedagang-pelawat India, Arab, dan China.
Akan tetapi, jika yang dimaksudkan di sini adalah Islam sufisme, tepatlah menyebut Barus tanpa mengecilkan Singkil.
TEUKU KEMAL FASYA, DEWAN PAKAR NAHDLATUL ULAMA ACEH; ANTROPOLOG ACEH
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Titik Nol Islam Nusantara".
  • 0
  • 0
  • 0