Saturday, July 15, 2017

Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme, dan Gaya Hidup

Sosiologi Ekonomi, Kapitalisme, dan Gaya Hidup

Oleh: Bagong Suyanto*
koran jawa pos, JUMAT, 07 JUL 2017 17:15 | EDITOR : MIFTAKHUL F.S
GLOBALISASI dan perkembangan perekonomian dunia telah menciptakan iklim persaingan yang makin ketat. Pelaku ekonomi yang tidak siap menghadapi globalisasi bukan tidak mungkin akan terancam gulung tikar karena tidak mampu menghasilkan komoditas yang diinginkan di mata konsumen.
Apa yang harus dilakukan para pelaku ekonomi di tanah air agar tidak tergerus iklim persaingan yang kompetitif dan saling mematikan? Pertanyaan penting itulah yang melatarbelakangi kenapa kemudian muncul disiplin sosiologi ekonomi yang memfokuskan diri untuk mengkaji gaya hidup dan perilaku konsumsi masyarakat di era post-modern.
Pergeseran
Berbeda dengan ilmu ekonomi yang fokus mengkaji aktivitas produksi dan pemasaran serta memahami perilaku konsumsi sebagai perilaku yang rasional kalkulatif, sosiologi ekonomi adalah cabang ilmu sosial yang mengkaji perilaku konsumsi yang dikaitkan dengan perkembangan gaya hidup dan mekanisme yang dikembangkan kapitalisme untuk mengembangkan ceruk-ceruk pasar baru bagi komoditas yang mereka hasilkan.
Sosiologi ekonomi adalah sebuah disiplin yang berkembang karena melihat adanya dua pergeseran menonjol di era masyarakat post-modern. Pertama, terjadinya pergeseran dari persoalan produksi ke konsumsi. Kedua, terjadinya pergeseran fokus kapitalisme dari pengeksploitasian pekerja ke pengeksploitasian konsumen (Ritzer, 2010: 372–375). Sosiologi ekonomi menyadari bahwa masalah sosial yang muncul di era kapitalisme lanjut bukan lagi soal eksploitasi dan alienasi buruh, melainkan bagaimana kekuatan kapitalis atau kekuatan industri budaya memainkan dominasi melalui penjajahan kultural, menghegemoni, dan bagaimana caranya memanipulasi hasrat konsumen.
Berbagai kajian telah membuktikan bahwa realitas sosial-ekonomi di era masyarakat post-modern makin berkembang, proses komodifikasi makin luas, serta perilaku konsumsi masyarakat juga telah mencapai tingkat akselerasi perkembangan yang tidak lagi bisa dikendalikan karena dukungan dan pertumbuhan teknologi informasi yang luar biasa (Campbell, 1987). Di era masyarakat kontemporer, masyarakat bukan hanya makin familier dengan gadget, tetapi juga dengan kehidupan dan interaksi sosial di dunia maya (cyberspace) –sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari jaringan data-data komputer– yang digunakan sebagai saluran komunikasi antarmanusia dalam skala global (Piliang, 2009: 366). Di era post-modern, masyarakat tidak hanya bisa mengonsumsi produk industri budaya melalui pemesanan via internet, tetapi produk budaya macam apa yang dibeli dan dikonsumsi seringkali juga diilhami dari apa yang mereka akses di internet dan tawaran iklan yang menggoda.
Sebagai sebuah bidang kajian, sosiologi ekonomi di era post-modern telah menemukan ladang persemaian tema yang seolah tak terbatas.Dan era ini tidaklah keliru jika dikatakan sebagai era kebangkitan sosiologi ekonomi kontemporer. Dikatakan kontemporer karena realitas sosial-ekonomi yang menjadi fokus kajian tidak lagi berkaitan dengan kehidupan masyarakat modern, tetapi telah merambah kehidupan masyarakat post-modern, di mana yang namanya kenyataan dan halusinasi sudah tidak lagi dapat dibedakan. Era post-industrial, post-modern, atau era kapitalisme lanjut adalah era yang melahirkan berbagai persoalan baru yang berkaitan dengan konsumsi dan gaya hidup.

Lingkaran Setan APBN

KORAN TEMPO

RABU, 12 JULI 2017 | 00:59 WIB
Haryo Kuncoro
Dosen Keuangan Negara FE Universitas Negeri Jakarta

Pemerintah baru saja merampungkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Kecuali produksi minyak dan gas, asumsi makro ekonomi lainnya mengalami perubahan yang substansial.

Di satu sisi, pemerintah realistis menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi. Asumsi kurs, misalnya, yang semula Rp 13.300 per dolar AS diubah menjadi Rp 13.400 per dolar AS. Hal yang sama terjadi pada inflasi yang dilonggarkan dari 4 persen menjadi 4,3 persen.

Asumsi harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional dipatok US$ 50 per barel, dari sebelumnya US$ 45. Dampak langsungnya adalah kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas yang diperkirakan mencapai Rp 15 triliun.

Kenaikan penerimaan PNBP, sayangnya, belum mampu menutupi selisih realisasi dan target (shortfall) perpajakan. Penerimaan perpajakan diprediksi hanya tumbuh 13 persen sepanjang 2017, dengan selisih minus Rp 50 triliun dari target awal Rp 1.499 triliun.

Di sisi lain, sinyal optimisme dipancarkan pemerintah melalui RAPBN-P 2017. Di tengah menyusutnya penerimaan negara, pagu belanja dipatok naik menjadi Rp 2.111 triliun, dari pagu mula-mula Rp 2.080 triliun.

Dua Wajah Islam Moderat

KORAN TEMPO

JUM'AT, 30 JUNI 2017 | 00:32 WIB
Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Wajah Islam Indonesia yang moderat tercoreng oleh sebagian kelompok Islam radikal. Jika hal ini dibiarkan, kelompok radikal tersebut makin menggerogoti dari dalam. Bagaimana caranya agar sikap moderat Islam ini tetap terjaga?

Serangan teroris teranyar terjadi di Kampung Melayu dengan cara bom bunuh diri, akhir Mei lalu. Jaringan ini diduga merupakan kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD), yang terbiasa melakukan tindakan teror serta berkeyakinan bahwa dunia ini diisi oleh orang-orang kafir dan thogut. 

Potret tersebut bisa memunculkan gambaran Islam yang fanatik dan merupakan ancaman nyata bagi umat dan keutuhan sebuah bangsa. Sebab, mereka menstigma orang lain sebagai kafir, sesat, dan imajinasi yang menyeramkan. 

Paham-paham radikal tersebut bisa masuk melalui institusi pendidikan, mimbar-mimbar masjid dengan menyebarkan ujaran kebencian, dan lini masa media sosial. Ruang-ruang tersebut menjadi arena paling ampuh untuk menyebarkan virus radikalisme. 

Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, pada 2016, merekam tiga temuan penting. Pertama, buku teks pendidikan agama Islam mengabaikan pembentukan nilai-nilai kebangsaan. Kedua, guru agama berorientasi Islamis, mendukung tindak kekerasan dalam menyikapi perbedaan. Ketiga, guru agama Islam tidak memiliki kapasitas dalam melawan paham eksklusif dan radikal.

Polemik Pemindahan Ibu Kota

KORAN TEMPO

SENIN, 10 JULI 2017 | 00:24 WIB
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance

Wacana pemindahan ibu kota mirip kaset yang selalu diputar berulang-ulang. Lagu yang diputar tetap sama. Sejak era Presiden Sukarno sampai zaman Susilo Bambang Yudhoyono, niat memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke daerah selalu kandas. Seberapa mendesak pemindahan ibu kota? Kalau alasannya hanya faktor kemacetan dan kepadatan penduduk, tentu kurang pas. Kemacetan ada karena transportasi publik yang nyaman dan aman terlambat disediakan pemerintah. Soal kepadatan penduduk juga karena pemerintah tidak mampu menangkal arus urbanisasi dengan menyediakan lapangan kerja di daerah.

Jakarta memang termasuk kota nomor 6 paling padat di dunia versi majalah Time. Soal kemacetan, Kota Jakarta berada di urutan ke-3 setelah Bangkok dan Meksiko. Tapi penyelesaian masalah dengan memindahkan ibu kota juga terkesan parsial. Anggap saja Jakarta menjadi kota bisnis serta pusat keuangan, dan Palangkaraya menjadi ibu kota pemerintahan. Masalah kemacetan di Jakarta tentu tidak akan berkurang signifikan kalau jumlah kendaraan bermotor tidak dibatasi. Investor dan pebisnis juga tidak nyaman tinggal di Jakarta. Bisa disimpulkan bahwa pemindahan ibu kota untuk mengatasi masalah sifatnya lebih ke placebo atau obat yang isinya kosong.

Perdebatan berikutnya adalah kesiapan anggaran pemerintah. Berdasarkan perbandingan negara tetangga yang ibu kotanya hijrah, seperti Malaysia pada 1990-an, ongkos pindah sangatlah mahal. Dengan 300-an pegawai negeri sipil yang pindah dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada 1995, biaya pembangunannya mencapai US$ 8,1 miliar atau setara dengan Rp 107 triliun.

Calon Presiden Pemilu 2019

KORAN TEMPO

SELASA, 11 JULI 2017 | 01:07 WIB
Arya Budi
Peneliti Research Center for Politics and Government UGM

Sampai saat ini, ada beberapa isu krusial di DPR yang bisa jadi akan menentukan hidup-matinya partai, panas-dinginnya kontestasi, dan efektif-tidaknya pemerintahan yang dihasilkan. Tapi debat perihal ambang batas pencalonan presiden adalah faktor yang paling berpengaruh, baik pada konstelasi politik Pemilu 2019 maupun pemerintahan yang dihasilkannya.

Pertama, pencalonan presiden berimplikasi pada bagaimana koalisi partai terbentuk. Kedua, paralelisme platform calon presiden dan partai pendukungnya akan menentukan bagaimana pemilih menggunakan suaranya, seperti coattail effect, yaitu preferensi yang sama antara pilihan calon presiden dan partai pengusungnya karena kecenderungan psikologis pemilih pada calon presiden.

Tapi tingkat perbedaan pilihan atas calon presiden dan partai pengusungnya bisa saja tinggi karena pencalonan presiden yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Hal tersebut bisa menciptakan presiden minoritas, sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif karena presiden tidak didukung partai-partai non-pemerintah di parlemen.

Hingga kini, praktis hanya PDIP, Golkar, dan NasDem (42 persen kursi) yang secara jelas mendukung ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Tujuh partai lainnya (58 persen kursi) cenderung untuk menghapus ambang batas itu. Apalagi, atas basis keserentakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, Mahkamah Konstitusi bisa saja mengabulkan uji materi jika ambang batas pencalonan akhirnya tetap diberlakukan. Artinya, jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, setiap partai yang mengikuti Pemilu 2019 mempunyai kesempatan mencalonkan presiden. Lanskap kontestasi Pemilu 2019 akan berubah sama sekali dibanding empat pemilu sebelumnya.