Jebakan Dana Aspirasi
Yuna Farhan
KOMPAS Cetak | 16 Juni 2015
Upaya DPR mengusulkan program
pembangunan daerah pemilihan senilai Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota
menuai reaksi keras banyak kalangan.
Beberapa anggota DPR bahkan turut mengkritik
usulan dana aspirasi yang diperkirakan akan menghabiskan Rp 11,2 triliun per
tahun ini.
Perlu dicatat, dana ini pernah diusulkan tahun
2010 untuk diajukan pada APBN 2011, dengan besaran yang tidak jauh berbeda, Rp
15 miliar per anggota. Meskipun usulan ini kandas setelah publik bereaksi
keras, diam-diam praktik ini terus berlangsung. Kasus suap Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID) yang menimpa anggota Badan Anggaran mengonfirmasi
adanya praktik ini.
Praktik ini juga lazim berlangsung di banyak
daerah. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD berkaitan dengan ”dana
siluman” pada pembahasan RAPBD DKI Jakarta 2015 merupakan salah satu bentuk
”dana aspirasi”. Di banyak daerah, umumnya dana ini berbentuk bantuan sosial
ataupun program pembangunan yang bisa dialokasikan DPRD untuk konstituen di daerah
pemilihannya.
Di beberapa negara berkembang praktik ini umumnya
dikenal dengan nama Constituency Development Fund (CDF). Tercatat, pada 2010
sekurangnya terdapat 23 negara berkembang di Asia dan Afrika yang
mengimplementasikan CDF (International Budget Partnership, 2010).
Kebanyakan negara yang menerapkan praktik ini
adalah negara dengan sistem parlementer, yang diduga terkait dengan lemahnya
peran parlemen pada sistem ini dalam mengubah anggaran. Tentunya ini tidak
berlaku di Indonesia, di mana DPR dijamin undang-undang untuk mengubah proposal
anggaran pemerintah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak
melebih defisit 3 persen.
Alasan yang mengemuka perlunya dana aspirasi juga
hampir sama. Dengan dana aspirasi, legislator dapat merespons cepat kebutuhan
konkret konstituen pada daerah pemilihannya. DPR juga beralasan, adanya dana
ini dapat memangkas rantai birokrasi perencanaan penganggaran yang dianggap
kerap mengabaikan kebutuhan masyarakat dan mengakselerasi pembangunan serta ketimpangan
daerah.
Jebakan
Jika ini yang dijadikan alasan, seharusnya bukan
dana aspirasi yang menjadi proposal kebijakan DPR. Perbaikan sistem perencanaan
penganggaran yang menjawab kebutuhan masyarakat dan sistem dana perimbangan
yang seharusnya menjadi agenda utama perbaikan. Alih-alih mengatasi persoalan
disparitas antardaerah, dana aspirasi dengan model pukul rata setiap daerah
pemilihan dengan keputusan pengalokasian di tangan anggota DPR justru akan
merusak sistem dana perimbangan.
Publik juga akan menilai, kelahiran dana aspirasi
adalah penanda dari kegagalan DPR dan partai politik dalam melakukan peran
sebagai saluran agregasi dan artikulasi aspirasi. Sejatinya, jika peran ini
berjalan, masih terdapat anggaran yang hampir mencapai Rp 2.000 triliun pada
APBN yang harus dikritisi DPR sebagai manifestasi fungsi anggarannya.
Ekses negatif yang mungkin timbul, DPR sama saja
bunuh diri karena kehilangan daya kritisnya terhadap proposal anggaran yang
diajukan pemerintah. DPR disibukkan mengurus dana aspirasi untuk daerah
pemilihan masing-masing.
Dana aspirasi juga berdampak pada terjadinya
perubahan pola relasi DPR dengan konstituennya. Dari pola relasi yang bersifat
demokratis, di mana DPR seharusnya merepresentasikan kepentingan konstituen
pada ranah kebijakan nasional, ke arah relasi clientelistic, di mana
DPR dinilai dari seberapa banyak program pembangunan di daerah pemilihannya.
Bukan tidak mungkin, masyarakat akan beralih
menuntut DPR untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerahnya ketimbang kepada
pemerintah. Tidak mengherankan jika pemerintah dapat saja mengalihkan tanggung
jawab tuntutan pembangunan kepada DPR.
Legalisasi dana
aspirasi
Pengakuan beberapa anggota, lahirnya Pasal 80
Huruf j UU No 17 Tahun 2014, untuk mengurangi kecemburuan dana aspirasi yang
selama ini tidak dinikmati secara adil terhadap semua anggota. Hanya anggota
yang berada di alat kelengkapan strategis, seperti badan anggaran dan komisi
yang bersentuhan dengan pelayanan publik langsung, yang dapat menikmati dana
aspirasi.
Publik mungkin saja tak akan resisten jika
diskursus program pembangunan daerah pemilihan tidak melulu soal berapa dana
yang dianggarkan dan pukul rata setiap anggota. Legalisasi hak anggota DPR
untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihannya perlu dimaknai
sebagai cara untuk mengatasi praktik perburuan rente dan meningkatkan fungsi
anggaran DPR dengan fungsi representasi yang melekat di dalamnya.
Untuk menghindari jebakan dana aspirasi, tim yang
dibentuk Badan Legislasi untuk merumuskan mekanisme hak DPR dalam mengusulkan
program pembangunan daerahnya tidak berkutat soal alokasi yang dikhususkan
untuk ini.
Hak mengusulkan program pembangunan daerah
pemilihan harus diletakkan dalam konteks fungsi anggaran yang lebih luas pada
keseluruhan APBN agar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
diwakilinya. Agar konstituen dapat menilai sejauh mana anggota DPR daerah
pemilihannya telah memperjuangkan aspirasinya, tim yang dibentuk Badan
Legislasi ini perlu merumuskan mekanisme transparansi dan akuntabilitas.
Misalnya, setiap usulan oleh DPR yang berakibat
pada perubahan usulan anggaran yang diajukan pemerintah perlu disampaikan
kepada publik. Dengan demikian, sistem ini memungkinkan bagi publik untuk
menilai apakah usulan itu sejalan dengan aspirasi konstituen atau tidak.
Pengalaman negara-negara yang menerapkan CDF atau
dana aspirasi menunjukkan sulitnya gurita persoalan dana ini dihilangkan. Hasil
penelusuran IBP (2010), misalnya, mengungkapkan berbagai laporan mengenai
praktik korupsi dan manipulasi politik terkait dengan penerapan CDF. Oleh
karena itu, penerjemahan sempit hak mengusulkan program pembangunan daerah
pemilihan sebagai dana aspirasi tak ayal bisa menjerumuskan DPR dalam
cengkeraman praktik koruptif tersebut.
Yuna Farhan Mahasiswa PhD, Departemen
Kajian Indonesia University of Sydney; Sedang menulis tesis tentang politik
pembuatan anggaran di Indonesia http://print.kompas.com/baca/2015/06/16/Jebakan-Dana-Aspirasi
No comments:
Post a Comment