Perbaikan Kebijakan BBM
Pri Agung Rakhmanto
Kompas Cetak |
Hingga akhir Juli 2015,
Pertamina dikatakan mengalami kerugian hingga Rp 12 triliun dalam
penjualan BBM, khususnya premium dan solar.
Kerugian disebabkan Pertamina harus menalangi selisih harga keekonomian
bahan bakar minyak dan harga jual BBM yang ditetapkan dan diberlakukan
pemerintah. Ini yang menyebabkan harga BBM saat ini tak akan
diturunkan—bahkan mungkin dinaikkan—meski harga minyak dunia saat ini
turun menyentuh 47 dollar AS per barrel, yang merupakan level terendah
dalam enam bulan terakhir.
Dalam masalah ini, Pertamina jadi ”korban”, publik jadi bingung karena
logika sederhana kemudian menjadi tampak rumit. Lalu muncul istilah
baru, oil fund, dari pemerintah, semacam dana untuk stabilitas
BBM, yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya.
Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?
Menurut saya karena dua hal. Pertama, kebijakan BBM yang parsial.
Kedua, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang parsial itu.
Disebut parsial karena saat pemerintahmenurunkan harga BBM pada
November 2014, diikuti penurunan pada bulan selanjutnya, dan tak lagi
menyubsidi premium dan menerapkan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk
solar, pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan menyiapkan
bantalan fiskalnya di APBN. Inkonsisten karena penyesuaian naik-turun
harga BBM yang semula dilakukan dalam dua minggu hingga satu bulan
mengikuti pergerakan faktor utama yang memengaruhinya (harga minyak
dunia dan kurs rupiah) tidak lagi dilakukan dengan pola yang sama,
dengan alasan masyarakat belum siap dengan kebijakan itu.
Pada titik itu sebenarnya terlihat bahwa yang lebih tidak siap adalah
pemerintah sendiri, bukan masyarakat. Pemerintah tak siap dengan
bantalan fiskal BBM di APBN sehingga kemudian Pertamina yang harus
menjadi ”bantalan” dan baru belakangan memunculkan istilah yang tampak
baru, oil fund,yang secara esensi tidak lain adalah bantalan
fiskal BBM itu sendiri. Juga tidak siap dalam menakar kondisi
sosial-ekonomi-politik masyarakat dengan baik sehingga dalam menetapkan
periode evaluasi dan penyesuaian harga tidak memiliki pola yang jelas.
Maka, pemerintah yang perlu lebih jelas dan tegas dalam hal kebijakan
BBM. Apakah sebenarnya premium memang bebas subsidi dan solar disubsidi
tetap, ataukah sebenarnya keduanya masih disubsidi APBN dengan pola
yang sama seperti pemerintahan sebelumnya? Jika yang dipilih adalah
terobosan kebijakan seperti yang pertama, setidaknya dua hal perlu
segera diperbaiki.
Pertama, bantalan fiskal BBM sejumlah tertentu perlu dianggarkan secara
jelas di APBN. Ini untuk mengantisipasi ketika penyesuaian harga karena
sesuatu dan lain hal tidak dapat dilakukan. Akuntabilitas dan
pertanggungjawaban bantalan fiskal di APBN jelas lebih baik dan memiliki
landasan payung hukum yang lebih jelas dibandingkan menggunakan
Pertamina sebagai bantalan atau oil fund yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya.
Kedua, konsistenlah dalam menerapkan periode evaluasi dan penyesuaian
harga BBM sehingga dapat memberikan pola yang lebih mudah diterima dan
ditangkap oleh masyarakat ataupun perekonomian secara keseluruhan. Tiga
atau enam bulan, seperti yang belakangan pemerintah wacanakan, kiranya
jauh lebih bijak daripada periode dua minggu hingga satu bulan yang
sebelumnya diterapkan.
Pri Agung Rakhmanto, Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kom
No comments:
Post a Comment