Kompas Cetak |
512 dibaca
0 komentar
Dalam penyusunan RAPBN 2016 ada perubahan
mendasar terhadap strategi kebijakan fiskal dan politik anggaran. Salah
satunya yang cukup revolusioner adalah reformulasi kebijakan
penganggaran transfer ke daerah dan dana desa.
Perubahan kebijakan penganggaran transfer ke daerah dan dana desa
(TKDD) pada RAPBN 2016 tersebut tidak hanya bersifat transformasional,
melainkan juga sangat radikal dan fundamental. Selain merupakan
instrumen kebijakan yang tepat dalam mewujudkan misi ”membangun
Indonesia dari pinggiran”, sekaligus lebih memperkuat jati diri
Indonesia sebagai negara yang konsisten melaksanakan asas otonomi daerah
dan desentralisasi dalam wadah NKRI.
Sebagaimana disampaikan Presiden dalam pidato pengantar penyampaian
RAPBN 2016 dan Nota Keuangan 14/8/2015, ada empat langkah perubahan
fundamental dalam kebijakan TKDD mulai 2016. Pertama, meningkatkan
alokasi anggaran TKDD sehingga lebih besar dari anggaran belanja
kementerian dan lembaga (K/L), agar lebih mencerminkan ciri Indonesia
sebagai negara yang menjalankan desentralisasi fiskal penuh.
Kedua, memperluas cakupan dan struktur anggaran TKDD agar lebih sesuai
dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Ketiga, mereformulasi dan penguatan kebijakan dana alokasi khusus (DAK)
dan dana insentif daerah (DID). Keempat, meningkatkan alokasi dana desa
sekurang-kurangnya 6 persen dari dan di luar transfer ke daerah guna
memenuhi secara bertahap amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pertama terjadi
Langkah menaikkan alokasi anggaran TKDD sehingga jumlahnya lebih besar
dari alokasi belanja K/L merupakan kali pertama dalam sejarah
perencanaan anggaran dan penyusunan APBN. Selama ini anggaran TKDD hanya
naik rata-rata 14,1 persen dalam lima tahun terakhir. Pada RAPBN 2016
anggaran TKDD mencapai Rp 782,2 triliun, naik Rp 117,6 triliun (17,8
persen) dari pagu anggaran TKDD dalam APBN-P 2015.
Sebaliknya, anggaran belanja K/L yang dalam lima tahun terakhir tumbuh
rata-rata 19,7 persen per tahun, dalam RAPBN 2016 justru turun Rp 15,1
triliun (1,9 persen), dari Rp 795,5 triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp
780,4 triliun. Perubahan orientasi ini juga diikuti dengan kebijakan
realokasi belanja K/L, khususnya dana-dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan (dana dekon dan tugas pembantuan/TP), terutama bagi K/L yang
fungsi, urusan, dan kewenangannya sudah diserahkan ke daerah.
Setidaknya ada tiga makna penting dari perubahan ini. Pertama, lebih
besarnya anggaran TKDD dibandingkan anggaran belanja K/L membuktikan
kuatnya komitmen pemerintah untuk memperkuat desentralisasi fiskal
dengan mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip money follows function,
sekaligus solusi mengatasi keterbatasan ruang fiskal RAPBN 2016 dalam
memenuhi kewajiban penyediaan anggaran ataupun menstimulasi perekonomian
masyarakat terutama di daerah.
Kedua, perubahan orientasi kebijakan diyakini lebih memperkuat peran
daerah dalam penyediaan dan pemberian pelayanan publik sesuai standar
pelayanan nasional dan sekaligus mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Ketiga, kebijakan anggaran yang berpihak ke daerah dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan anggaran, terutama karena menghindari tumpang
tindih dan atau duplikasi pendanaan kegiatan antara pemerintah pusat dan
daerah.
Perubahan mendasar lain dari penganggaran TKDD dalam RAPBN 2016
terletak pada penyempurnaan struktur, penyederhanaan klasifikasi, dan
perluasan cakupan TKDD untuk lebih meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara.
Anggaran TKDD yang selama ini meliputi empat unsur utama, yaitu (i)
dana perimbangan, (ii) dana otonomi khusus, (iii) dana keistimewaan
Yogyakarta, dan (iv) dana transfer lainnya, disederhanakan menjadi tiga
komponen utama, yaitu (i) dana perimbangan, (ii) dana insentif daerah,
serta (iii) dana otonomi khusus dan keistimewaan Yogyakarta.
Pada komponen dana perimbangan, yang semula mencakup dana bagi hasil
(DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), diubah
menjadi (i) dana transfer umum dan (ii) dana transfer khusus.
Restrukturisasi fundamental terjadi pada nomenklatur baru dana transfer
khusus, yang mengelompokkan DAK tidak hanya mencakup DAK fisik, tetapi
juga meliputi DAK nonfisik. Komponen DAK fisik ini terdiri dari DAK
reguler, DAK infrastruktur publik daerah, dan DAK afirmasi untuk daerah
tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
DAK reguler difokuskan untuk mendanai 10 bidang dan DAK infrastruktur
publik daerah diarahkan untuk mendanai penyediaan infrastruktur di
daerah. Keduanya bisa menjadi strategi tepat untuk memperluas akses dan
mempercepat peningkatan kualitas layanan publik sesuai target SPM. DAK
nonfisik merupakan jenis dana transfer yang diperuntukkan, terutama guna
mendanai kegiatan nonfisik tertentu yang menjadi prioritas nasional dan
atau diamanatkan oleh perundang-undangan.
Penganggaran dari bawah
Untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kualitas belanja pemerintah, reformulasi DAK bisa menjadi salah satu
instrumen kebijakan yang dapat memengaruhi daerah dalam mempercepat
penyediaan infrastruktur serta sarana dan prasarana publik di daerah.
Semua reformulasi ini dapat menjadi instrumen efektif untuk mengatasi
keterbatasan dan ketimpangan infrastruktur publik di daerah. Selama ini,
besaran pagu DAK hanya naik secara incremental, jauh di bawah kebutuhan daerah dalam penyediaan infrastruktur publik. Mekanisme pengalokasian DAK yang lebih bersifat top-down
belum bisa menjawab apa yang menjadi kebutuhan daerah. Sebagai
konsekuensinya, alokasi DAK bisa menjadi salah sasaran akibat
terbatasnya informasi pemerintah pusat.
Ada beberapa daerah yang relatif kurang membutuhkan justru mendapatkan
alokasi DAK bidang tertentu dan sebaliknya. Selain itu, menu kegiatan
yang ditentukan ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga
justru menimbulkan inefisiensi anggaran.
Untuk itu, pemerintah tidak hanya menaikkan pagu DAK secara sangat
signifikan, tetapi juga mengubah formulasi dan mekanisme pengalokasian
DAK. Dalam RAPBN 2016, pagu anggaran DAK ditingkatkan dari Rp 58,8
triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp 215,2 triliun dalam RAPBN 2016 atau
naik Rp 156,4 triliun (266 persen).
Lompatan kenaikan pagu DAK juga diikuti dengan perubahan mekanisme pengalokasian DAK, dari sistem top-down ke sistem bottom-up,
dengan memperhatikan prioritas nasional jangka pendek ataupun menengah.
Pengalokasian DAK tidak lagi sepenuhnya mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah (kriteria umum) dan karakteristik kewilayahan (kriteria
khusus), tetapi juga lebih memperhitungkan prioritas dan kebutuhan
daerah.
Implementasi pendekatan bottom-up diwujudkan melalui mekanisme penyampaian usulan dari daerah ke pemerintah pusat (proposal based).
Dengan pendekatan ini, diharapkan alokasi DAK lebih tepat sasaran
karena lebih bisa mencerminkan kebutuhan dan prioritas daerah.
Keberagaman tema pembangunan di setiap daerah sesuai dengan kekhasan,
potensi, dan kebutuhan masing-masing akan dapat terfasilitasi jika
alokasi DAK berbasis usulan daerah. Sekaligus juga meningkatkan
optimalisasi penggunaan DAK.
Perubahan signifikan lain pada kebijakan TKDD dalam RAPBN 2016 adalah
dinaikkannya anggaran dana desa sebesar Rp 26,3 triliun (126 persen)
menjadi Rp 46,9 triliun dari Rp 20,7 triliun pada APBN-P 2015. Jumlah
dana desa ini setara dengan 6 persen dari anggaran TKDD, dalam rangka
memenuhi secara bertahap kewajiban penyediaan anggaran dana desa 10
persen.
Setiap desa juga masih akan mendapatkan alokasi dana dari APBD berupa
alokasi dana desa (ADD) yang besarnya 10 persen dari bagian dana
perimbangan setiap kabupaten/kota di luar DAK, dan dana bagi hasil pajak
daerah dan retribusi daerah (PDRD) kabupaten/kota.
Revolusi kebijakan anggaran TKDD hanya akan berhasil dengan baik jika didukung sistem reward and punishment.
Sebaliknya, dalam rangka menghindari dana TKDD tidak digunakan secara
maksimal dan cenderung disimpan di bank, juga akan dilakukan sistem
pengendalian secara ketat. Daerah-daerah yang memiliki dana idle tinggi akan mendapat punishment berupa tidak disalurkannya DAU dan/atau DBH dalam bentuk kas dan diganti dalam bentuk surat berharga negara (SBN).
Sanksi juga akan diterapkan bagi daerah yang tidak mampu menyerap DAK
berupa hukuman ganda, yaitu selain penggantian penyaluran DBH dan DAU
tahun berjalan dengan SBN, juga akan dikurangi alokasi DAK pada tahun
berikutnya.
Masalah krusial yang perlu diwaspadai berkenaan dengan semakin besarnya
alokasi TKDD tersebut adalah ”persiapan pelaksanaan”, terutama
berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2015,
yang perlu diantisipasi dampaknya pada penyerapan anggaran belanja dalam
APBD 2016.
Agenda politik pilkada serentak itu diperkirakan akan memengaruhi
penganggaran dan penetapan APBD 2016 sehingga pada akhirnya bisa
memengaruhi pula tingkat penyerapan APBD dan pelaksanaan dana TKDD.
Untuk itu, diperlukan kebijakan khusus untuk mengantisipasi dan
mengatasi kendala tersebut.
Kita tentu berharap, kiranya pilkada serentak dapat berjalan lancar dan
menghasilkan kepala daerah yang bisa memperbaiki kinerja pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Boediarso Teguh Widodo, Direktur Jenderal, Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2015, di
halaman 7 dengan judul "Revolusi Kebijakan Penganggaran".
No comments:
Post a Comment