REZA SYAWAWI
Kompas Cetak |
Dalam sistem presidensial, lembaga kepresidenan seharusnya jadi bagian yang utuh dalam pengambilan kebijakan/keputusan.
Sengkarut
informasi yang beredar di publik terkait kebijakan strategis adalah
satu bentuk dari sekian banyak keteledoran Presiden dalam mengelola
lembaga kepresidenan. Bagi penyelenggaraan pemerintahan, ini ancaman
serius terhadap implementasi program-program strategis, termasuk
kebijakan anti korupsi yang digadang-gadangkan oleh Presiden. Ancaman
ini bukan tak mungkin akan jadi faktor pemicu gejolak politik yang
lebih luas, baik di parlemen maupun di kalangan masyarakat umum.
Jika
ditelisik ke belakang, setidaknya ada beberapa catatan buruk Presiden
dalam mengelola lembaga kepresidenan. Pertama, perintah untuk
menghentikan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan
para pegiat anti korupsi. Dalam praktiknya, instruksi ini di internal
pemerintah diterjemahkan secara beragam. Bahkan, dalam takaran tertentu
bisa dianggap telah terjadi pembangkangan terhadap instruksi tersebut.
Kedua,
kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Di rezim sebelumnya, kebijakan ini
ditopang peraturan pemerintah yang ditujukan terhadap kejahatan-
kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius atau lazim disebut
juga sebagai kejahatan luar biasa, yaitu korupsi, terorisme, dan
narkotika.
Dalam perkembangannya, kebijakan pengetatan ini justru
dilihat sebagai bentuk diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana,
bergulirlah usulan agar kebijakan ini dibatalkan. Menteri Hukum dan HAM,
dalam berbagai pernyataan di media, secara tidak langsung menjadi
pendukung utama atas inisiatif ini.
Dalam konteks kebijakan
pemberantasan korupsi, usulan ini sangat berlawanan dengan inisiatif
rezim pemerintahan Jokowi yang telah disepakati dalam dokumen
perencanaan pembangunan (RPJMN). Salah satu strategi dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi melalui harmonisasi terhadap kebijakan anti
korupsi dengan Konvensi Anti Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi
oleh Indonesia.
Kebijakan pengetatan ini adalah salah satu bentuk treatment
terhadap pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa. Menghilangkan kebijakan ini sama dengan menyamakan derajat
tindak pidana korupsi dengan tindak pidana umum lainnya.
Ketiga,
kebijakan penambahan fasilitas uang muka kendaraan dinas bagi para
pejabat negara (Perpres 39/2015). Belakangan diketahui bahwa kebijakan
itu muncul tanpa melalui proses pengawasan yang memadai dari Presiden.
Bagi
publik, penambahan fasilitas ini sangat jelas jadi bagian dari bentuk
legalisasi pemborosan keuangan negara. Pada sisi yang lain, lahirnya
kebijakan ini harus dilihat sebagai bentuk keteledoran lembaga
kepresidenan secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan
Realitas
di atas hanya sebagian dari sekian banyak bentuk "disharmoni" di dalam
lembaga eksekutif atau lembaga kepresidenan. Presiden sebagai pimpinan
dari lembaga kepresidenan seharusnya memegang kendali atas setiap
keputusan atau kebijakan strategis yang akan dilahirkan.
Presiden
harus mengendalikan wakil presiden, menteri- menteri, kepala lembaga,
dan seterusnya. Menurut konstitusi mereka adalah para pembantu
presiden. Dan, bagi para pembantu presiden, berlakulah sesuai mandatnya
dalam kapasitas sebagai pembantu presiden.
Pernyataan-pernyataan
yang dilontarkan kepada publik oleh para pembantu presiden seharusnya
tidak berlawananan dengan apa yang diucapkan Presiden atau bahkan
dengan kebijakan yang telah disepakati sebelumnya. Jika tidak, akan
sulit dibantah bahwa telah terjadi insubordinasi di dalam lembaga
kepresidenan.
Pada titik yang paling kritis, ketidakmampuan
Presiden dalam mengelola lembaga kepresidenan akan dimanfaatkan oleh
pihak-pihak di lingkaran kekuasaan Presiden untuk mengambil manfaat atas
kekisruhan yang terjadi. Bukan tidak mungkin insubordinasi ini akan
berkembang sebagai bagian dari upaya sistematis untuk mengambil alih
kekuasaan. Semoga saja tidak!
REZA SYAWAWI
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
No comments:
Post a Comment