Ada dua peristiwa politik nasional bulan
April dan Mei ini yang mendapat perhatian masyarakat, yaitu Kongres PDI
Perjuangan dan Kongres Partai Demokrat. Kedua partai politik ini akan
memilih pemimpin baru untuk lima tahun ke depan.
Tentu, bagi masyarakat yang mengamati sudah menduga tidak akan ada
kejutan terkait siapa yang memimpin kedua partai besar ini. Pasalnya,
suara kader kedua partai umumnya tetap menginginkan kepemimpinan tetap
diteruskan oleh ketua umum sekarang. Alasannya jelas, belum ada kader
yang dapat menandingi kebesaran nama Megawati Soekarnoputri dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Ditambah lagi, kedua partai dan yang lain akan menghadapi agenda
strategis yang sudah menanti, yaitu pemilu legislatif dan pemilu
presiden yang akan serentak dilaksanakan 2019. Dengan agenda strategis
ini, tentu dibutuhkan kepemimpinan partai yang kuat dan dapat menjaga
soliditas partai.
Selain itu, ada juga perubahan besar yang akan berlangsung dalam sistem
kepolitikan nasional menyangkut perubahan terhadap UU parpol, pemilu,
serta kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjelang pelaksanaan pemilu
serentak itu. Dalam hal ini parpol akan bersaing memasukkan
kepentingannya agar mereka dengan mudah dapat mengikuti Pemilu Presiden
2019.
Namun, suksesi kepemimpinan parpol di Indonesia ini ternyata menyisakan
persoalan kritis terkait dengan regenerasi kepemimpinan di tubuh partai
politik. Jarang sekali partai politik mau mengubah cara pandangnya
terkait dengan kepemimpinan ini, terutama menghadirkan pemimpin baru
yang sudah disiapkan sebelumnya. Ada semacam ketakutan dari sejumlah
elite partai terhadap rendahnya nilai jual pemimpin baru ini di tengah
masyarakat. Sulit dinafikan, partai politik di Indonesia masih
mengandalkan kekuatan figur ini untuk menaikkan keterpilihannya dalam
pemilu ketimbang sistem ideologi yang dibangun untuk masyarakat.
Lihat saja PDI Perjuangan yang masih mengandalkan Megawati sebagai
simbol utama untuk meningkat dukungan massa kepada partai ini. Begitu
juga dengan Partai Demokrat yang masih sulit melepaskan diri dari Susilo
Bambang Yudhoyono. Bahkan, partai-partai baru, seperti Hanura,
Gerindra, dan Nasdem, juga sangat bergantung pada figur-figur pendiri,
seperti Wiranto, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh.
Lemahkan kepemimpinan
Lemahnya kepemimpinan partai ini tidak hanya berdampak kepada partai
itu sendiri, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Jamak diketahui,
partai politik memiliki fungsi rekrutmen politik yang salah satu
muaranya adalah kepada lahirnya pemimpin-pemimpin yang unggul. Aspek ini
mesti menjadi perhatian partai politik sehingga dalam suksesi yang
mereka lakukan tidak hanya mengandalkan tokoh-tokoh lama sehingga
memperlambat proses regenerasi untuk kepemimpinan bangsa.
Dapat dilihat dari tiga pemilu terakhir, nyaris tidak ada wajah baru
kecuali Joko Widodo yang menang menjadi presiden.Itu pun karena
pertimbangan strategis PDI Perjuangan memberi ruang kepada Joko Widodo
untuk bisa meningkatkan suara PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif.
Hampir semua calon presiden kita diisi oleh tokoh lama yang menghambat
regenerasi kepemimpinan nasional. Gejala ini semakin membuktikan
macetnya regenerasi kepemimpinan di tubuh partai politik kita.
Mengapa partai politik sulit melahirkan pemimpin baru dari kalangan
mereka? Sulit dinafikan bahwa pertimbangan pragmatis justru menjadi
dominan dalam menentukan pemimpin di partai politik. Karena itu,
mendudukkan kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan yang
mudah. Bahkan, tidak jarang kelompok yang mendukung status quo di kepengurusan tetap ingin memperjuangkan ketua lama karena pertimbangan keuntungan yang mereka dapatkan.
Keadaan ini jelas mengancam masa depan partai politik, terutama dari
bangun sistem ideologi yang ditawarkan kepada pendukungnya. Barangkali,
bisa ditanyakan kepada kader partai politik di tingkat DPD atau DPW
apakah mereka paham dengan manifesto partai politik yang mereka ikuti.
Banyak kader yang akan tergagap menjawab soal ini. Fakta tersebut adalah
implikasi dari kuatnya loyalitas mereka kepada figur ketimbang
loyalitas kepada partai.
Semua ini berhulu dari sistem ideologi partai yang masih lemah sehingga
dukungan mereka kepada partai juga rendah. Buktinya, berapa banyak di
antara kader partai politik yang mudah sekali pindah partai dengan hanya
mempertimbangkan keuntungan pribadi. Bahkan, kader partai yang pindah
ini adalah pengurus inti yang semestinya kita pahami sebagai kelompok
yang sangat loyal dan memahami nilai perjuangan partai.
Berlarutnya masalah regenerasi kepemimpinan di tubuh partai ini juga
berdampak pada menguatnya hubungan klientelisme di dalam partai.
Klientelisme ini berdampak buruk pada kemajuan partai. Salah satu akibat
dari klientelisme ini adalahmenguatnya personalisasi partai yang
digunakan untuk kepentingan pribadi para pendiri partai.
Personalisasi yang berlangsung di tubuh partai ini justru berdampak
buruk pada pembuatan kebijakan di dalam partai yang cenderung bersifat
tertutup dan hegemoni. Ini kelemahan yang sangat nyata sekali dalam
sistem kepartaian kita. Ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi di
internal partai. Namun, yang penting diketahui, partai adalah aset
bangsa dalam menghasilkan kepemimpinan nasional yang kuat.Tidak heran,
akibat kuatnya klientelisme ini justru memunculkan faksi-faksi di tubuh
partai yang muaranya pada persaingan kelompok dan konflik internal. Apa
yang terjadi di tubuh Golkar dan PPP adalah bukti nyata bahwa
klientelisme ini menyebabkan konflik yang sulit dicarikan titik temunya.
Membangun partai politik modern yang sehat tentu perlu proses panjang.
Namun, bukan berarti terjadi dengan sendirinya.Perlu ada rencana yang
matang dan konsisten dari pemimpin partai untuk menciptakannya.Andai
saja setiap partai politik dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk
memimpin negara ini, tentu kita tidak akan kesulitan mencari calon
presiden yang berkualitas yang siap memajukan Indonesia ke depan.
Asrinaldi A, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, Padang
http://print.kompas.com/baca/2015/04/11/Regenerasi-Kepemimpinan-Partai-Politik
No comments:
Post a Comment