Kerisauan Ekonomi Melambat
Rusnadi Padjung
KOMPAS Cetak |
Perlambatan ekonomi yang
diindikasikan oleh pertumbuhan hanya 4,7 persen pada kuartal pertama
2015 memunculkan berbagai komentar miring.
Pemerintah,
terutama tim ekonomi kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla, dianggap gagal.
Dengan sigap sejumlah politisi, kalangan DPR, dan bahkan beberapa
pengamat memanfaatkan kejadian ini untuk mengembuskan isu bahkan
mendesak dilakukan perombakan kabinet, terutama kabinet kelompok
ekonomi.
Sayang, beberapa kalangan yang mewakili pemerintah dalam
menanggapi kejadian ini memberikan alasan konvensional, bukan penjelasan
yang bersifat lebih hakiki tentang arah pembangunan kabinet kerja.
Misalnya bahwa ini adalah akibat dari fenomena ekonomi global sehingga
negara-negara lain pun melambat ekonominya, termasuk sejumlah negara
maju.
Disebutkan juga bahwa kuartal pertama ini masih dalam
periode transisi, restrukturisasi sejumlah kementerian, dan serapan
APBN-P masih rendah, sebagai faktor yang memengaruhi perlambatan ekonomi
tersebut.
Faktor tersebut memang bisa saja menjadi penyebab
perlambatan ekonomi meskipun tidak ada data yang tersedia seberapa besar
kontribusinya, tetapi ada penjelasan yang lebih hakiki yang seyogianya
juga dikemukakan, yaitu memang itulah pilihan arah pembangunan ekonomi
pemerintahan baru saat ini. Memilih pertumbuhan yang berkualitas.
Pertumbuhan berkualitas
Selama
ini pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai Indonesia dikritisi karena
dinilai tidak berkualitas; disparitas semakin tinggi, baik secara
spasial antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat. Di balik prestasi
pertumbuhan ekonomi tinggi selama ini, rasio indeks gini di Indonesia
juga meningkat secara konsisten dalam 10 tahun terakhir, dari 0,33
menjadi 0,41.
Di awal pemerintahan baru, jumlah daerah
tertinggal di Indonesia masih 122 kabupaten yang terkonsentrasi di
Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di kabupaten tertinggal tersebut,
rata-rata Indeks Pembangunan Manusia hanya 66,01, jauh di bawah
rata-rata nasional yang telah mencapai 73,81. Tingkat kemiskinan di
daerah tertinggal masih 18,36 persen ketika rata-rata nasional telah
dapat ditekan hingga 10,96 persen.
Sekitar setengah pembentukan
produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama ini dikontribusi oleh
konsumsi rumah tangga. Padahal, konsumsi rumah tangga disumbang lebih
banyak oleh orang kaya atau kelas ekonomi menengah ke atas. Sejalan
dengan itu, setengah dari penduduk, yaitu mereka yang bermukim di kota
(53 persen), menyumbang tiga perempat (74 persen) PDB.
Angka-angka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati orang kaya. Secara lebih spesifik, sekitar 20
persen masyarakat berpenghasilan tinggi menerima 8 persen dari manfaat
pembangunan, sedangkan 40 persen masyarakat dengan penghasilan rendah
hanya menerima 2 persen dari manfaat pembangunan.
Masalah
pertumbuhan ekonomi yang tidak merata itulah yang ingin diselesaikan
pemerintahan baru. Harga yang harus dibayar untuk pemerataan dan
keadilan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Sembilan
agenda prioritas (nawacita) yang telah diterjemahkan dalam RPJMN
2015-2019 menunjukkan haluan pembangunan pemerintah baru yang
berorientasi pada pertumbuhan yang berkualitas. Tiga di antaranya
adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing
di pasar internasional, dan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Implementasi nawacita
Rencana
implementasi nawacita itu mewujud nyata dalam RAPBN 2015. Subsidi BBM
ditiadakan dan dialihkan ke program yang mendukung langsung aktivitas
ekonomi rakyat. Misalnya, anggaran Kementerian Pertanian meningkat dua
kali lipat dari Rp 15,8 triliun menjadi Rp 32,7 triliun, selain yang
dititip di sejumlah kementerian Rp 20 triliun untuk mendukung
ketahanan pangan, dan yang di Kementerian Kelautan dan Perikanan
meningkat dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp 10,5 triliun.
Dalam
rangka menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi, pemerintah akan
memberikan penyertaan modal negara (PMN) di BUMN Rp 74 triliun. Selain
itu, anggaran infrastruktur menjadi Rp 280 triliun yang sebagian besar
dialokasikan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, dan Kementerian
Perindustrian.
Wujud keberpihakan pada pembangunan dari pinggiran
adalah alokasi dana desa Rp 20 triliun. Selain itu, rencana pengembangan
26 kawasan strategis nasional (KSN) perbatasan, 7 kawasan ekonomi
khusus (KEK) baru luar Jawa, serta 14 kawasan industri baru segera
dimulai tahun ini.
Terlepas dari pertumbuhan ekonomi kuartal I
yang hanya 4,71 persen-lebih rendah dari periode yang sama tahun 2014
sebesar 5,14 persen-angka itu sesungguhnya merupakan buah dari arah
pembangunan ekonomi yang telah dipilih. Meski pertumbuhan ekonomi
sedikit di bawah target 5 persen, perlambatan itu merupakan
konsekuensi dari pilihan pembangunan yang tidak semata-mata berorientasi
pada pertumbuhan, tetapi juga mengedepankan pemerataan.
Jika
diteliti lebih jauh, perubahan komponen pembentuk PDB dan pertumbuhan
pada kuartal pertama 2015 sesungguhnya telah merefleksikan haluan
ekonomi yang telah dipilih.
Menurut rilis Badan Pusat Statistik
(BPS), salah satu faktor yang menyebabkan perlambatan tersebut dari sisi
produksi adalah menurunnya pasokan barang impor, baik untuk barang
modal, bahan baku/penolong, maupun barang konsumsi. BPS mencatat impor
pada kuartal I-2015 turun 2,2 persen (YoY), dan turun 9,98 persen (QtQ).
Industri kita selama ini memang didominasi oleh industri yang
bergantung pada bahan baku dan terutama bahan penolong dari luar.
Pertumbuhan yang diperoleh dari industri seperti ini jelas merupakan
pertumbuhan yang tidak berkualitas. Kita juga tidak mau pertumbuhan yang
didorong oleh konsumsi barang dan jasa impor.
Penyebab perlambatan
Dua
penyebab lain perlambatan ekonomi dari sisi produksi adalah (i)
produksi pangan menurun akibat mundurnya periode tanam, dan (ii) kinerja
konstruksi terkait dengan terlambatnya realisasi belanja infrastruktur.
Yang pertama terkait musim, dan yang kedua terkait dengan
restrukturisasi kementerian.
Dari sisi pengeluaran, salah satu
penyebabnya adalah karena semua komponen pengeluaran konsumsi rumah
tangga melambat. Seperti disebutkan sebelumnya, pertumbuhan tinggi
selama ini didorong oleh konsumsi rumah tangga yang didominasi golongan
menengah ke atas.
Dengan demikian, perlambatan itu sangat mungkin
disebabkan oleh konsumsi golongan menengah ke atas yang menurun. Dengan
penggelontoran dana melalui sejumlah program, dilakukan Kementerian
Pertanian, misalnya, sangat tidak mungkin penurunan konsumsi terjadi
pada golongan masyarakat bawah dan di desa.
Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan dengan adanya perlambatan ekonomi. Pembangunan telah berjalan on the track, sesuai dengan haluan yang telah dipilih.
Rusnadi Padjung
Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi KPDT
http://print.kompas.com/baca/2015/05/15/Kerisauan-Ekonomi-Melambat
No comments:
Post a Comment