Setelah Prahara Mei 1998
Juwono Sudarsono
Kompas Cetak |
255 dibaca
1 komentar
Menjelang akhir 1997,
krisis keuangan hampir serempak melanda Thailand, Indonesia, dan Korea
Selatan. Nilai rupiah terjun bebas 15 persen hanya dalam kurun waktu
lima bulan.
Pada awal Januari 1998, Presiden Soeharto
menandatangani kesepakatan dengan Michel Camdessus dari Dana Moneter
Internasional (IMF) dan menyetujui dana talangan 40 miliar dollar AS
guna menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Keabsahan Presiden
Soeharto-yang berkuasa sejak 1968- mulai dipertanyakan. Situasi
perekonomian memburuk. Beberapa menteri dalam Kabinet Pembangunan VII
mulai berbisik, mempertanyakan perlunya Presiden mempertimbangkan untuk
mundur.
Tonggak penting
Situasi mulai memanas di beberapa kota di Pulau Jawa sehingga Panglima
ABRI (Angkatan Bersenjata RI yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut,
Udara, Kepolisian) pada 14 April 1998 mengirim telegram radio kepada
semua panglima daerah militer di Indonesia untuk "mengambil alih komando
dan kendali" apabila huru-hara tidak bisa diatasi oleh polisi. Telegram
radio yang bernomor buku TR14/TANAS/ IV PANG ABRI itu menjadi tonggak
penting bagi perkembangan politik dan keamanan Indonesia hingga sekarang
ini: 2015. Sebab, prahara Mei 1998 terkait erat dengan reformasi
politik, rekonstruksi ekonomi, dan rekonsiliasi sosial budaya yang masih
sama- sama kita perjuangkan, termasuk pembenahan Polri melalui
Kompolnas.
Salah satu pemicu penting terjadinya "Prahara Mei 1998"
adalah peristiwa di dekat kampus Universitas Trisakti di Jakarta Barat.
Setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti di halaman depan kampus
oleh anggota Brimob/Polri dari jalan layang yang melintas di seberang
kampus, amarah mahasiswa Trisakti Jakarta meluas ke penjuru kota,
menyusul gelombang keresahan dan kemarahan kaum miskin kota akibat
menurunnya ekonomi dan harapan hidup. Tindakan aparat kepolisian semakin
memicu amarah dengan ditutupnya kedai dan bengkel sepeda motor.
Berikutnya,
perkelahian antarwarga miskin semakin meruncing. Penjarahan,
pembakaran, dan pembegalan yang semula hanya terjadi di sekitar Jakarta
Barat mulai merambah ke Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta
Timur. Di sekitar Kompleks Perumahan Dosen UI di Ciputat terjadi
penjarahan dan pembakaran, di sepanjang Jalan Ciputat Raya menuju IAIN
(sekarang Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah.
Situasi
yang merebak dengan cepat ke hampir seluruh penjuru Jakarta itulah yang
mengubah keadaan menjadi "situasi di mana Panglima Komando Daerah
Militer dapat mengambil alih tanggung jawab keamanan dan ketertiban dari
pihak kepolisian yang tidak sanggup menguasai keadaan". Kepala Polri
Jenderal (Pol) Dibyo Widodo akhirnya memutuskan untuk menyerahkan
kewenangan dan tanggung jawab keamanan dan ketertiban dari seluruh
jajaran Polda Metro Jaya kepada Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin selaku
Panglima Komando Pelaksana Operasi Jakarta merangkap Pangdam Jaya,
sesuai TR14/TANAS/IV PANG ABRI.
Situasi "lempar handuk" ini, 14
tahun kemudian, diakui Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, yang
pada saat itu menjadi Kepala Polres Jakarta Barat berpangkat ajun
komisaris besar. Kepada saya pada Desember 2012, di Istana Negara,
Jakarta, Jenderal Timur Pradopo menjelaskan, situasi tak terkendali itu
di luar kemampuan Polri untuk mengatasinya. Ia yakin akan kemampuan
Mayjen Sjafrie untuk mengendalikannya.
Dengan tenang dan sigap,
Sjafrie menugaskan anak buahnya di Kodam Jaya untuk segera mengamankan
semua obyek dan sarana publik, seperti listrik, perusahaan air minum,
transportasi umum (bus kota dan kereta api/rel listrik), karena ini
menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang terpenting adalah hak asasi
manusia (HAM) untuk hidup damai secara lahiriah dan batiniah, bukan
sekadar kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berserikat yang
lazim ada di dalam buku-buku akademis.
Dari sisi kemanusiaan,
Sjafrie juga menunjukkan keberanian dengan memerintahkan anak buahnya
untuk mengantar empat jenazah mahasiswa Universitas Trisakti-yang
menjadi korban kerusuhan 12-14 Mei 1998-ke rumah orangtua dan sanak
saudara mereka. Jenazah kemudian dimakamkan secara khusyuk dan
terhormat.
Saya teringat pernyataan ahli hukum tata negara,
(almarhum) Profesor Djokosoetono, saat perkuliahan mengenai Niccolo
Machiavelli yang saya ikuti ketika menjadi mahasiswa Universitas
Indonesia di kampus Jalan Salemba 4, Jakarta. Il Principe harus memadukan keberanian dengan kebajikan. Virtu bukanlah keberanian, bukan sekadar jagoan perang, atau berani mati. Virtu adalah juga keberanian untuk kalau perlu mengorbankan satu atau dua orang demi keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.
Sjafrie
menanggung risiko itu dengan lapang dada, termasuk stigma bahwa ia
adalah penculik mahasiswa dan melakukan pelanggaran HAM berat. Komnas
HAM pada November 1998 mengukuhkan temuan berdasar laporan Tim Gabungan
Pencari Fakta bahwa Sjafrie tidak terbukti secara jelas dan nyata
melaksanakan penculikan, apalagi melakukan pembunuhan dalam kerusuhan
Mei 1998.
Korban iri hati
Ia
adalah korban iri hati sejumlah kalangan militer dan sipil karena ia
adalah anak emas Soeharto. Selama beberapa tahun Sjafrie pernah menjadi
pengawal pribadi Presiden Soeharto, termasuk saat kunjungan Soeharto ke
Sarajevo, Bosnia, pada Juli 1995, ketika Utusan Khusus PBB untuk Bosnia
Yashui Akashi menerima kunjungan Presiden. Jenderal Wiranto sebagai
Panglima ABRI pada awal Juli 1998 kemudian menggantikan Sjafrie dengan
Mayjen Djaja Suparman.
Pada tahun 2012, di kediaman Duta Besar
Amerika Serikat di kawasan Taman Suropati, Jakarta, saya berjumpa
Samantha Power, anggota Dewan Keamanan Nasional AS yang sekarang menjadi
Duta Besar AS di PBB, New York. Saya jelaskan kisah Sjafrie di Jakarta
pada Mei 1998 dan fitnah yang dilekatkan kepadanya. Samantha hanya
menjawab, Sjafrie Sjamsoeddin tidak bisa dipisahkan dari persepsi umum
di Kementerian Luar Negeri AS bahwa Kopassus sebagai kesatuan adalah
lambang pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, hanya Kementerian Luar
Negeri AS, bukan Kementerian Pertahanan AS, yang menetapkan boleh
tidaknya prajurit TNI Angkatan Darat mendapat visa masuk ke AS.
Pada
akhir April 2015, dalam upacara HUT Kopassus di Cijantung, Jakarta
Timur, Danjen Kopassus Mayjen Doni Monardo mencanangkan Kopassus yang
lebih humanis dan mengajak hadirin untuk mendoakan TNI AD agar menjadi
"tentara rakyat, tentara kejuangan, dan tentara nasional". Sjafrie
adalah contoh dari perwira tinggi yang tidak sekadar duduk manis,
apalagi maju-mundur melihat situasi.
Semoga doa ini diamini oleh
semua pihak, termasuk semua perwira menengah dan perwira tinggi Polri
yang nyawa dan kariernya diselamatkan oleh tindakan berani Sjafrie
Sjamsoeddin di Jakarta pada Mei 1998.
Juwono Sudarsono
Guru Besar (Emeritus) Universitas Indonesia; Mendikbud Mei 1998-Oktober 1999
http://print.kompas.com/baca/2015/05/15/Setelah-Prahara-Mei-1998
No comments:
Post a Comment