Masalah Kepemimpinan Parpol
M Alfan Alfian
KOMPAS Cetak |
250 dibaca
1 komentar
Beberapa bulan lalu Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai berkuasa telah
menggelar kongres yang mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri
sebagai ketua umumnya.
Demikian pula dengan Partai Amanat
Nasional (PAN), di mana Zulkifli Hasan sebagai kandidat penantang
mengalahkan petahana Hatta Rajasa. Partai Bulan Bintang (PBB) juga telah
selesai menggelar muktamar dengan ketua umum terpilih Yusril Ihza
Mahendra.Sementara dua partai politik, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), terbelah dalam dualisme kepengurusan dalam versi kongres yang berbeda-beda. Bulan ini, Partai Demokrat menggelar kongres, di mana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi ketua umum. Apa yang bisa digarisbawahi dari fenomena kongres-kongres parpol?
Krisis demokrasi internal
Yang
cukup mencolok justru problem kepemimpinan. Gelaran akbar parpol-parpol
dan sesudahnya seolah sekadar menggarisbawahi saja fenomena
personalisasi kelembagaan.Dalam batas tertentu, hal demikian mengonfirmasi lemahnya kelembagaan parpol dan menguatnya ketergantungan pada sosok sentral. Selanjutnya, parpol pun membentuk wajahnya yang tidak lagi sekadar oligarkis, tetapi personal terpusat pada sosok elite puncaknya. Fenomena ini diperkuat dengan pola hubungan neo- patrimonialistik, kalau bukan feodalistik dalam bentuk lain. Sindiran ekstremnya, parpol- parpol bak kerajaan-kerajaan feodal masa lalu dalam modifikasinya di masa kini.
Demokrasi memang masih diberi tempat di parpol-parpol, tetapi kerap sempit dan marjinal belaka. Yang lazim dalam proses politik internal parpol ialah pola mobilisasi, bukan membiarkan partisipasi berkembang secara demokratis. Para kader non-elite sebagai kelompok yang bukan puncak penentu keputusan, sekadar dimobilisasi oleh elite-elite penentu, bukan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan secara otonom. Demokrasi terbatas, itulah yang dominan menyembul dalam tubuh parpol-parpol.
Hazan dan Rahat dalam Democracy within Parties (2010) mencatat bahwa demokrasi internal sesungguhnya merupakan isu yang lazim saja, menyertai pergulatan internal parpol. Pergulatan itu bagian dari dinamika dalam tata aturan yang demokratis. Elite-elite parpol yang bergulat itu pada akhirnya akan ada pemenang yang lantas memiliki legitimasi dalam penentuan seleksi kandidat di segala pemilu. Memang, demokrasi internal parpol berbeda konteksnya dengan demokrasi antarpartai. Namun, terdapat tuntutan partisipasi inklusif dalam parpol.
Partisipasi inklusif dalam pengambilan keputusan itu mencerminkan kemandirian parpol dalam proses pengambilan keputusan (decisional autonomy). Menurut Randall dan Svasand (2002), hal itu merupakan salah satu dimensi penting dalam pelembagaan parpol, selain penanaman nilai-nilai (value infusions), kesisteman (systemness), dan otentisitas citra parpol (reification). Di atas itu semua, faktor kepemimpinan sangat menentukan, ke mana parpol hendak dibangun, ke arah kelembagaan yang, meminjam tesis Acemoglu dan Robinson (2012), inklusif ataukah ekstraktif.
Yang inklusif ialah yang demokratis, tidak membatasi partisipasi, memberi kesempatan yang sama bagi setiap kader parpol untuk meraih karier organisasi. Yang ekstraktif, semua sumber daya diarahkan untuk menopang sosok sentral elite berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam lingkungan kelembagaan parpol yang ekstraktif, secara jangka pendek eksistensi parpol mungkin masih bisa terjaga, tetapi sangat berisiko jangka panjangnya. Parpol yang terlalu bergantung sekadar pada sosok, bukan sistem, rawan perpecahan di kemudian hari.
Depersonalisasi dan regenerasi
Belajar
dari berbagai peristiwa internal parpol dewasa ini, perlu
direkomendasikan dua hal. Pertama, parpol-parpol seyogianya membuat
tradisi politik demokratis. Ini artinya aturan main tidak boleh
dilabrak. Institusionalisasi politiklah anjuran idealnya. Logikanya,
organisasi apa pun, apalagi parpol, kalau tak terkelola baik dan
terlembaga, cepat atau lambat akan lemah dan membusuk.Kedua, kearifan demokratik para elite parpol. Mereka tidak saja dituntut sadar dalam ikhtiar membangun institusi parpol, tetapi juga dalam regenerasi. Merujuk Blondel dan Thiebault dalam The Personalisation of Leadership (2010), depersonalisasi parpol sangat relevan. Depersonalisasi meletakkan konteks kepemimpinan ke ranah kelembagaan. Pemimpin ialah bagian integral lembaga, dan bukan lembaga itu sendiri. Ia terikat aturan main dan etika organisasi. Sosok sentral tidak boleh kemaruk kekuasaan.
Setiap parpol di Indonesia memang punya karakter masing- masing, di mana hal itu dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dan tradisi kelembagaan mereka. Munculnya sosok-sosok sentral yang berpengaruh pun hadir dari perspektif yang berbeda-beda. Megawati di PDI-P, misalnya, merupakan sosok historis yang hadir sejak awal pendirian partainya. Karisma historisnya itu memperoleh sokongan signifikan di ranah pendukung tradisionalnya. Terpilih kembali Megawati tak lepas dari keberadaan PDI-P sebagai partai berkuasa. Kendati demikian, PDI-P di bawah Megawati tetap terus memperoleh sorotan dari sisi regenerasi, yang dalam batas-batas tertentu tengah berlangsung.
Berbeda dengan Megawati, kemunculan SBY di Partai Demokrat tidak demikian. SBY tidak tampil sebagai pendiri partainya sejak awal. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi SBY yang bukan aktivis parpol sebagaimana Megawati ketika mendirikan PDI-P. SBY muncul belakangan ketika segala sesuatunya dipandang memungkinkan. Ia kemudian menjadi ikon Partai Demokrat sedemikian rupa sehingga partainya terpola secara klub penggemar (fans club) SBY.
Dalam konteks ini, SBY adalah politisi yang andal. Ia mampu mengapitalisasi partainya sedemikian rupa sehingga ia mampu bertahan sebagai presiden dua periode.
Tidak seperti PDI-P, Partai Demokrat anjlok drastis prestasi elektoralnya pada Pemilu 2014. Dalam konteks inilah, dapat dipahami manakala kepemimpinan SBY dipertanyakan. Kritik terhadap majunya kembali SBY sebagai kandidat ketua umum pun segara dapat dipahami. Selain terkait konteks regenerasi, masa depan partai semestinya menjadi pertimbangan. Daya pikat politik SBY masa kini telah berbeda dengan situasi pada 2004 atau 2009. Belum tentu pasca-2019 Partai Demokrat lebih baik prestasi elektoralnya.
Lagi pula, ikon SBY sebagai "sang demokrat" bisa semakin kontradiktif apabila mobilisasi dukungan kepada dirinya dilakukan dengan cara-cara yang cenderung mengekang kebebasan dan otonomi pengambilan keputusan penentu suara. Partai Demokrat hendaknya tidak pula terjebak pada karakter kepolitikan dinastik sebab bisa kontraproduktif.
Tidak hanya dalam kasus PDI-P dan Partai Demokrat, terhadap yang lain-lain pun kita perlu contoh pemimpin politik yang mampu menggerakkan tradisi ke arah penguatan kelembagaan partai dan demokrasi internal yang baik. Ini penting mengingat politik parpol adalah miniatur politik bangsa.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional,
No comments:
Post a Comment