Tuesday, August 4, 2015

Dari Makassar Kembali ke Makassar

Muktamar Muhammadiyah

Dari Makassar Kembali ke Makassar

Para anggota persyarikatan Muhammadiyah berkumpul di Ujung Pandang (kini Makassar), Sulawesi Selatan, pada 21-26 September 1971. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru Tanah Air untuk mengikuti Muktamar Ke-38 Muhammadiyah.

Forum musyawarah tertinggi di Persyarikatan Muhammadiyah itu berlangsung di tengah-tengah keprihatinan pasca Pemilihan Umum 1971. Maklum saja, perolehan suara partai-partai politik Islam pada pemilu pertama masa Orde Baru itu tak seperti yang diharapkan.
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang baru pertama kali mengikuti pemilu hanya memperoleh 24 kursi parlemen. Partai politik (parpol) yang didirikan oleh sejumlah elite Muhammadiyah itu hanya dapat mendulang 6 persen suara sah dalam Pemilu 1971.
Padahal, Parmusi memperoleh dukungan penuh dari Muhammadiyah. Bahkan, muktamar ke-37 di Yogyakarta sampai mengamanatkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah agar membina anggota yang aktif di Parmusi. Tujuannya, agar anggota dapat menyalurkan aspirasi politik Muhammadiyah melalui Parmusi.
Pengalaman itu rupanya dijadikan pelajaran bagi para elite dan Persyarikatan Muhammadiyah. Muktamar ke-38 di Ujung Pandang pun dijadikan ajang untuk mengevaluasi posisi Muhammadiyah terhadap parpol.
Dalam buku 1 Abad Muhammadiyah yang disusun tim PP Muhammadiyah tahun 2010 disebutkan, muktamar ke-38 mengeluarkan empat keputusan yang lebih dikenal dengan sebutan Khittah Ujung Pandang. Salah satu butir keputusan menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang tidak memiliki hubungan organisatoris dengan parpol dan tidak merupakan afiliasi dari parpol ataupun organisasi mana pun.
Kini, setelah 44 tahun berlalu, Muhammadiyah kembali menggelar muktamar di Makassar. Sejak beberapa hari sebelum muktamar, spanduk, banner, dan baliho bergambar wajah para elite parpol sudah bertebaran di sejumlah jalan protokol Kota Makassar.
Elite parpol yang gambar wajahnya kini bertebaran di jalan protokol itu antara lain Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Surabaya M Romahurmuziy. Semua spanduk, baliho, dan banner bergambar wajah elite parpol itu berisi ucapan selamat kepada Muhammadiyah yang menggelar muktamar.
Kembali ke "khittah"
Sebagai organisasi kemasyarakatan dengan jumlah kader yang banyak, Muhammadiyah memang kerap menjadi rebutan kekuatan politik. Apalagi, tidak sedikit kader Muhammadiyah yang aktif di sejumlah parpol.
Banyaknya kader yang terjun di politik praktis secara tidak langsung membawa dampak bagi persyarikatan. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Banten Hasan Alaydrus mengungkapkan, sering ada kesulitan untuk menyatukan kader yang berbeda pilihan politik.
Melihat hal ini, kini tidak sedikit kader yang menginginkan Muhammadiyah kembali fokus mengembangkan amal usaha yang merupakan roh perjuangan persyarikatan. Jika ada peran politik yang diambil, menurut mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya Zainudin Maliki, hal itu adalah politik kebangsaan, seperti yang dilakukan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, pada masa penjajahan, yakni menggugah kesadaran kelas melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan lainnya.
Untuk itulah, Muhammadiyah memilih Makassar sebagai tempat bermuktamar. Muhammadiyah merasa perlu mengukuhkan kembali semangat dalam Khittah Ujung Pandang, membangun batas yang tegas antara persyarikatan dan politik praktis.
Untuk mengingatkan pentingnya Khittah Ujung Pandang, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menuliskannya dalam syair lagu "Indonesia Berkemajuan" yang menjadi Lagu Mars Muktamar ke-47. Begini bunyinya, "Dari Makassar ke Makassar, khittah jadi pegangan dasar. Dakwah pencerahan kian besar, Indonesia maju di jalan benar".

No comments:

Post a Comment