Kompas cetak, Selasa, 4 Agustus 2015 | 15:03 WIB
Oleh: Yudi Latif
JAKARTA, KOMPAS - Muktamar
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berlangsung di tengah kemarau etika-spiritual
yang melanda kehidupan bernegara. Kebebasan demokratis selama 15 tahun terakhir
mempercanggih politik sebagai teknik, tetapi memundurkan politik sebagai etik.
Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya,
kebajikan dasar kehidupan bangsa, seperti keadaban, responsibilitas, keadilan,
dan integritas, runtuh.
Semua mata menunggu dengan harap-harap cemas
bagaimana muktamar kedua ormas keagamaan terbesar itu berjalan. Masih adakah
sumur keteladanan yang tersisa di tengah dahaga jutaan rakyat yang menanti
tetes-tetes air harapan?
Tidak berlebihan jika kita berharap banyak dari
NU-Muhammadiyah. Keduanya dapat dikatakan sebagai reservoir etika republik.
Keduanya berinvestasi banyak dalam menyemai benih kehidupan etis sebelum
republik berdiri. Keduanya juga menempatkan wakilnya dalam perumusan dasar
negara dan konstitusi negara pertama.
Wakil dari kedua ormas dalam Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dengan gigih memperjuangkan prinsip ketuhanan sebagai salah satu sila
yang harus diutamakan dalam dasar negara. Tentu jadi pertanyaan, mengapa untuk
urusan negara modern, prinsip ketuhanan yang bersifat meta-rasional perlu
dilibatkan dalam urusan publik yang semestinya bersifat rasional?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa
menoleh ke buku A Study of History karya sejarawan Inggris, Arnold
Toynbee. Lewat buku ini, ia melacak faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20
peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan
proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan
negara (dan peradaban) tanpa landasan etika-spiritual ibarat bangunan istana
pasir.
Studi Toynbee itu mengisyaratkan ada hubungan
erat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban.
Samuel Huntington dalam Who Are We? menunjukkan hal menarik mengenai
keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan Uni
Soviet. Di AS, urainya, "Agama telah dan masih menjadi sesuatu yang
sentral dan barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika"
(Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006), geografi peradaban
yang mampu bertahan adalah yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan
antara corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan
Robert Putnam (2006) mewakili ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan
dalam memengaruhi demokrasi.
Ada faktor budaya yang dipengaruhi agama yang
jadi rintangan bagi kemajuan. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan,
faktor keyakinan memberi kontribusi penting dalam proses demokrasi. Banyak
faktor yang ikut memengaruhi sehingga dalam konteks mana agama menjadi
rintangan dan dalam konteks mana menjadi pendorong kemajuan jadi hal yang harus
dipertimbangkan.
Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa agama
sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari
awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan dan menghancurkan.
Kata sacred (Latin, sacer) itu bisa berarti karunia atau kutukan,
suci atau cercaan.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan
eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas
nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang
bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual dan moralitas,
keberagamaan jadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki
sensitivitas-kontemplatif. Tanpa penghayatan etika-spiritual yang dalam, orang
akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative
capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian,
misteri, dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia
memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan
dunia yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar.
Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaan saat
agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian,
keluhuran budi pekerti, kasih sayang, dan perawatan justru sering kali
memantulkan rasa keputusasaan, keserakahan, dan kekerasan zaman dalam bentuk
terorisme, pragmatisme, permusuhan, dan intoleransi.
Pada titik ini, Muktamar NU-Muhammadiyah merupakan
pertaruhan besar tentang jangkar kehidupan etis di negara ini. Kebanggaan
tentang wajah Islam Nusantara yang ramah, etis, dan estetis harus dibuktikan
agar tidak berhenti sebagai pepesan kosong dan agar bangsa ini masih bisa
menanti datangnya hujan di tengah krisis kemarau etika yang berkepanjangan.
Untuk keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya
memerlukan transformasi institusional, tetapi juga transformasi
etika-spiritual. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan Karen
Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak
berhenti pada apa yang kita percaya, tetapi pada apa yang kita perbuat. Untuk
itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu
lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas dan
spiritualitas dalam kehidupan agama dan publik.
Yudi Latif
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi
No comments:
Post a Comment