Ridho Imawan Hanafi
Kompas Cetak | 14 Agustus 2015
Proses
pendaftaran calon kepala daerah dalam pilkada serentak yang digelar pada
Desember 2015 diwarnai dengan koalisi cair antarparpol pengusung di daerah.
Parpol
berkoalisi secara acak tanpa harus tersekat pemetaan antara parpol yang
tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Acaknya koalisi memperlihatkan pengusungan calon kepala daerah tidak
mempersoalkan visi, platform, ideologi parpol, atau kandidat. Akan tetapi lebih
bertemu pada sudut kepentingan jangka pendek, yaitu memenangkan kandidat
tertentu dan memperoleh kekuasaan.
Koalisi yang
amat cair seperti direkam Kompas (29/7) terjadi di sejumlah daerah yang
akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Di antaranya terlihat di Kota
Magelang, Jateng, di mana di daerah ini PDI-P dan Partai Gerindra berkoalisi
mengusung Sigit Widyonindito-Windarti Agustina. Di Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalbar, PDI-P berkoalisi dengan Partai Demokrat mengusung pasangan Fransiskus
Diaan-Andi Aswad. Sementara di Kabupaten Pemalang, Jateng, Partai Kebangkitan
Bangsa dan Partai Gerindra berkoalisi dengan mengusung pasangan Muhammad
Arifin-Romi Indiarto.
Peta koalisi
tak seragam
Cairnya
koalisi tersebut bisa disebabkan, antara lain, dalam UU No 8/2015 dinyatakan
bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD
atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan.
Sebagian
parpol memang bisa memenuhi syarat untuk mengusung sendiri calonnya tanpa
menjalin koalisi. Namun, bagi parpol yang tidak cukup per syaratan, koalisi
adalah pilihan yang tidak bisa dihindari.
Pilihan
koalisi tersebut membuat parpol bersikap leluasa membuka diri agar bisa
mengikuti persaingan. Ketersekatan ideologi atau visi besar parpol tidak
membatasi mereka berkoalisi. Koalisi bisa terjadi di antara lintas parpol
nasionalis dan berbasis agama atau sesamanya. Bahkan parpol-parpol yang selama
ini dinilai memiliki "perseteruan" politik karena belum harmonisnya
hubungan antarpemimpinnya juga bisa bergandengan di medan pilkada. Untuk itu,
bisa dikatakan, di arena pilkada serentak ini tidak ada gambaran peta koalisi
yang seragam.
Selain itu,
koalisi cair juga bisa didorong oleh ketidakcukupan stok kader untuk diusung
sebagai calon kepala daerah. Dorongan ini membuat parpol lebih melirik calon
yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi, meskipun calon tersebut
kader parpol lain. Akibatnya, parpol bahkan dengan berkoalisi pun tampaknya
enggan untuk memeras keringat dengan mengusung calon yang potensinya ditaksir
sudah kalah sebelum bertanding. Realitas seperti itu yang membuat beberapa
daerah harus menghadapi kenyataan hanya memiliki calon pasangan tunggal.
Sebab lain,
mencairnya koalisi sehingga parpol tidak harus terbelah dalam KIH dan KMP
seperti di Pilpres 2014 juga dimungkinkan karena persaingan peta politik
nasional tidak serta-merta mudah direplikasikan ke dalam peta persaingan lokal.
Peta persaingan pilkada banyak ditentukan oleh kebutuhan atas siapa yang layak
memimpin di daerahnya. Tidak hanya itu, sejauh ini blok koalisi di pilpres
tersebut belum terlihat memiliki pakta kesepakatan politik yang mengikat antar-anggotanya
untuk diterapkan di pilkada. Alhasil, jejak koalisi persaingan di pilpres masih
tampak terbatas dalam menyikapi isu-isu politik di tingkat pusat.
Memicu
kekhawatiran
Sebagai
demokrasi formal di tingkat lokal yang dimaksudkan mewujudkan nilai-nilai
demokrasi di daerah, pilkada juga bisa dibaca sebagai arena persaingan
memperebutkan kekuasaan di daerah. Siapa yang dapat memenangi pilkada besar
kemungkinan akan memperoleh kekuasaan eksekutif di daerah.
Oleh karena
itu, berkoalisi selain merupakan salah satu pilihan politik juga bisa
dimaksudkan sebagai siasat. Berkoalisi dan memiliki modal politik yang besar
bisa jadi dirasa akan lebih ringan dibandingkan jika harus bertanding
sendirian. Namun, koalisi parpol di pilkada ini juga bisa memunculkan sejumlah
kekhawatiran.
Pertama,
koalisi dibangun tidak berdasarkan panduan yang jelas. Ideologi, visi, platform
di dalam pengusungan kandidat tak menonjol dibandingkan dengan sekadar
mengusung calon yang elektabilitasnya tinggi. Karena koalisi tidak memiliki ikatan
jelas dan kuat melainkan pragmatis, maka koalisi seperti ini kemungkinan tidak
akan memiliki jangka umur yang panjang. Para anggota parpol yang berkoalisi
bisa bergerak leluasa, apakah dalam perjalanannya nanti bisa tetap setia atau
keluar dari barisan karena mekanisme pengikat sementara baru terbatas pada
kepentingan politik temporal.
Kedua,
orientasi parpol cenderung mengejar kekuasaan dan berwajah sebagai the
office-seeking party, di mana orientasi yang disasar hanya perolehan
jabatan-jabatan publik. Hal itu mereka tempuh, salah satunya, dengan cara
berkoalisi atau dengan strategi lain daripada the vote- seeking party
atau the policy-seeking party. Pada dua jenis partai yang terakhir,
orientasi yang ditonjolkan adalah merebut suara pemilih dengan penyesuaian isu
maupun kebijakannya agar dapat mewujudkan tujuannya, serta jenis partai yang
berkomitmen lebih pada isu dan kebijakan (Wolinetz, 2002; Strom, 1990).
Ketiga,
dengan berorientasi mengejar kekuasaan, parpol kerap tidak memedulikan suara
atau kritik publik. Kenyataan bahwa terdapat koalisi parpol yang mengusung
sejumlah terpidana perkara korupsi untuk mengikuti pilkada serentak
memperlihatkan betapa parpol sulit untuk bisa mendengar aspirasi di luar
dirinya. Penentuan kandidat hanya terletak di segelintir elite parpol.
Dengan
demikian, aspirasi masyarakat menjadi absen dalam proses pencalonan. Alhasil,
bagi parpol, meskipun calon berstatus narapidana, selama sesuai dengan prosedur
formal dan berpeluang menang tampaknya tidak menjadi persoalan.
Mengingat
pilkada merupakan ujian bagi proses demokrasi, khususnya di tingkat lokal untuk
menuju pada kematangannya, apa yang dilakukan parpol atas proses pencalonan
kepala daerah di pilkada serentak menjadi tantangan bagi masyarakat untuk
menjadi aktor yang ikut berpartisipasi aktif. Salah satunya dengan mengawasi
jalannya kompetisi ini.
Dengan
demikian, nantinya pilkada diharapkan tidak hanya jadi sebatas ajang
pertarungan elite politik, baik nasional maupun lokal dan kelindannya dengan
kepentingan politik lain, lebih jauh pilkada merupakan upaya mewujudkan
pemerintahan daerah yang berintegritas, efektif, dan menyejahterakan.
Ridho Imawan
Hanafi Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
No comments:
Post a Comment