Moh Mahfud MD
KompasCetak |
Banyak yang kaget ketika diberitakan pemerintah
memasukkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden
di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru.
Berita itu muncul setelah pada 6 Juli 2015 Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Yasonna Laoly menyampaikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) baru, yang di dalamnya memuat dua pasal tentang ancaman pidana
serius bagi setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil Presiden.
MK membatalkan
Berita itu mengagetkan karena pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden
atau Wakil Presiden telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi yang saat
itu dipimpin Jimly Asshiddiqie menyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat tiga pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137
KUHP.
Pasal 134 berisi ancaman pidana paling lama enam tahun penjara atau denda
paling tinggi Rp 4.500 bagi mereka yang dengan sengaja menghina Presiden atau
Wakil Presiden. Pasal 136 bis berisi cara menyatakan penghinaan terkait dengan
pihak-pihak yang hadir dalam melakukan penghinaan tersebut.
Pasal 137 berisi cara menyiarkan tulisan atau gambar penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden agar diketahui atau lebih diketahui oleh umum
dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda
maksimal Rp 4.500. Mahkamah Konstitusi membatalkan ketiga pasal tersebut dengan
alasan ketiganya tidak memberi kepastian hukum sebagaimana diharuskan oleh
Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal tersebut bisa menjerat orang yang
mungkin tidak bermaksud menghina Presiden, tetapi hanya menggunakan hak
konstitusional biasa, seperti melakukan protes, membuat pernyataan,
mengemukakan pemikiran, atau menyampaikan kritik. Pasal-pasal tersebut
berpotensi dipergunakan seenaknya oleh penguasa untuk membungkam suara rakyat
dalam menggunakan hak konstitusionalnya.
Mahkamah Konstitusi juga menganggap ketiga pasal tersebut bertentangan
dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI 1945. Bahkan,
menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga "pasal karet" itu tidak sinkron
dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Seperti diketahui, menurut Pasal 7A UUD,
Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan melalui pernyataan pendapat oleh
DPR jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan
terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan tercela.
Dengan berlakunya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden, bisa saja orang yang mengungkap indikasi, mengemukakan kesaksian,
atau menyatakan pendapat dalam hal-hal yang diatur di dalam Pasal 7A tersebut
diajukan ke pengadilan pidana dengan dakwaan menghina Presiden atau Wakil
Presiden.
Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan pencabutan atas pasal-pasal tersebut,
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden bisa menggunakan KUHP Pasal
310 (pencemaran terhadap orang biasa) dan Pasal 207 (pencemaran terhadap penguasa
pada umumnya) yang hukumannya relatif ringan.
RUU menghidupkan
Menjadi wajar kalau banyak yang kaget ketika pemerintah memasukkan kembali
di dalam RUU KUHP pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
tersebut. Pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di dalam
RUU KUHP yang baru itu, seperti bisa dibaca dari Pasal 263 dan Pasal 264, tidak
hanya memuat substansi yang sama dengan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi, tetapi, lebih dari itu, memuat cakupan cara penghinaan yang lebih
luas.
Kalau pada KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
menyiarkan penghinaan hanya mencakup mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau gambar, di dalam RUU KUHP yang baru ini dimasukkan juga kegiatan
"memperdengarkan rekaman". Tak terbantahkan, dalam pengertian yang
demikian bisa termasuk penyiaran sebagai berita oleh media elektronik tentang
terjadinya penghinaan kepada Presiden. Itulah sebabnya, banyak yang menilai
upaya menghidupkan kembali pasal-pasal karet tersebut menjadi ancaman terhadap
pembangunan demokrasi di Indonesia.
Sebenarnya penuangan kembali pasal-pasal itu semula bukan diajukan oleh
pemerintahan Joko Widodo, melainkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) pada Maret 2013. Namun, karena RUU tersebut tak bisa dibahas pada era
Presiden SBY, maka sesuai dengan mekanisme pembentukan UU, jika sebuah RUU tak
bisa diselesaikan pada satu periode yang sama dengan pengajuannya, RUU tersebut
harus diproses atau diajukan kembali oleh pemerintah yang baru. RUU era SBY
itulah yang diajukan kembali oleh pemerintah sekarang ini.
Problem konstitusional
Problem konstitusional serius yang kemudian muncul dalam kaitan ini adalah
adanya ketentuan menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final, harus dilaksanakan tanpa bisa dilawan dengan upaya
hukum. Bisakah UU menghidupkan lagi ketentuan yang sudah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi? Bagaimana kalau, setelah ditetapkan, kelak dibatalkan lagi
oleh Mahkamah Konstitusi? Apa tidak sebaiknya pembentuk UU mengeluarkan
pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP baru?
Akan tetapi, pada sisi lain, kita juga tidak ingin ada orang yang seenaknya
melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden atas nama demokrasi
dan hak konstitusional. Kita geram saat melihat penghinaan terhadap Presiden
atau Wakil Presiden secara sarkastis dan kotor.
Dilema antara putusan Mahkamah Konstitusi dan kebrutalan politik inilah yang
harus kita diskusikan secara mendalam untuk menemukan jalan keluar.
Moh Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
No comments:
Post a Comment