Djayadi Hanan
Kompas Cetak |
Selain reformasi birokrasi,
reformasi partai politik adalah agenda reformasi yang masih tertinggal
jauh. Karena posisinya yang sentral dalam sistem politik, kelambanan
dan ketertinggalan reformasi partai politik menimbulkan banyak persoalan
dalam subsistem politik yang lain.
Persoalan dalam kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi, misalnya, banyak terkait dengan
reformasi sistem kepartaian. Desentralisasi menghendaki pemberdayaan dan
inisiatif dari daerah, tetapi berbenturan dengan kenyataan bahwa
partai politik masih sangat sentralistis, dikuasai hanya sekelompok
elite di Jakarta saja. Munculnya pemimpin daerah, yang nominasinya harus
berasal dari partai politik, hanya dimungkinkan jika dia mendapat
"restu" dari pusat. Dalam pemilu legislatif, hal yang sama terjadi.
Hanya orang yang memiliki kedekatan dengan elite pemimpin partai di
pusat yang mendapat kesempatan dicalonkan partai.
Salah satu
sumber masalah dalam partai politik adalah ketergantungan partai yang
sangat tinggi kepada figur tertentu atau sekelompok kecil orang partai
di pusat. Partai bekerja seperti sebuah sistem oligarki, yang tentu saja
bertentangan dengan prinsip dasar sistem demokrasi. Penyebab sebuah
partai dikuasai figur atau kelompok tertentu adalah pembiayaan partai
biasanya ditanggung figur atau kelompok tersebut. Bukan hanya tampuk
kepemimpinan partai yang dikuasai, juga hampir semua proses politik,
termasuk rekrutmen politik yang menjadi salah tugas partai politik.
Karena
sumber keuangan partai berasal dari figur atau elite saja, dampak lain
adalah dijadikannya partai sebagai instrumen untuk mengakses sumber daya
negara secara ilegal. Kader-kader partai yang sedang memegang tampuk
kekuasaan di pusat dan daerah sering kali mendapat "tugas" mengisi
pundi-pundi keuangan partai. Jika mereka tak bersedia melakukannya,
hukuman dari penguasa partai sudah menunggu.
Reformasi partai lewat publik
Akibat
lebih jauh dari keadaan partai seperti ini adalah partai menjadi tidak
peduli terhadap publik. Logika atau motif dalam langkah-langkah politik
partai mengutamakan kepentingan penguasa dan elite partai.
Konsekuensinya, reformasi partai, yang jadi kebutuhan publik, juga sulit
terlaksana karena publik tidak punya instrumen penekan agar elite
partai menjalankan tekanan-tekanan publik.
Reformasi partai
menjadi bergantung pada niat baik dan kemauan elite partai saja. Dengan
demikian, sulit berharap adanya reformasi partai dengan cara seperti
ini. Jalan tercepat tinggal melalui cara melibatkan publik. Untuk itu,
partai harus dijadikan milik publik agar publik berkekuatan atau berdaya
tekan sehingga partai memiliki insentif melaksanakan reformasi partai.
Secara
teoretis, asal muasal partai adalah milik publik. Ini logis mengingat
keberadaan partai pada dasarnya karena ada kebutuhan mewadahi aspirasi
kelompok dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain karena ideologi,
orientasi kebijakan, demografi, atau alasan lain. Kelompok masyarakat
inilah yang menjadi penyokong dan anggota partai. Kelompok masyarakatlah
yang kemudian membiayai berbagai kegiatan partai. Para pengurus dan
pemimpin partai adalah wakil atau agen dari anggota dalam mengusahakan
agar kebijakan negara sesuai dengan ideologi dan atau orientasi
kebijakan partai. Dengan mekanisme begitu, partai akan bekerja atas
dasar kepentingan anggota dan publik yang diwakilinya.
Partai
yang secara tradisional milik publik ini dapat dikatakan sudah hampir
punah. Alasannya minimal dua. Pertama, jumlah anggota masyarakat yang
mau menjadi anggota tetap partai politik makin merosot. Fenomena ini
bersifat umum, bukan hanya di Indonesia. Sebagai contoh, di Inggris,
jumlah anggota partai politik pada 1980 adalah 1,7 juta orang, sedangkan
pada 2008 turun drastis menjadi 530.000 orang saja. Jumlah orang yang
merasa memiliki kedekatan dan cenderung memilih partai tertentu juga
sedikit dan mereka pun belum tentu mau jadi anggota partai. Di
Indonesia, tingkat hal itu hanya di kisaran 15-20 persen. Ini berarti
partai tak dapat mengandalkan anggota untuk sumber keuangannya. Maka,
partai makin berorientasi elite dan lebih fokus pada proses pemilihan
umum.
Kedua, perkembangan pola kampanye modern sudah bergeser dari
semata-mata mengandalkan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput ke
kampanye berbasis media. Kampanye model ini sangat mahal, apalagi media
yang lebih banyak jadi sumber informasi masyarakat adalah televisi yang
berbiaya operasional amat tinggi. Kampanye modern juga memerlukan para
konsultan profesional berbagai sektor, seperti politik, psikologi, dan
komunikasi. Ini mengakibatkan kebutuhan pendanaan yang sangat besar bagi
partai politik. Kebutuhan ini tak dapat disandarkan pada pembiayaan
dari anggota saja.
Dengan demikian, kita tak dapat lagi
mengandalkan sumbangan anggota sebagai sumber utama keuangan partai.
Maka, harus dipakai cara kedua menjadikan partai milik publik. Cara
kedua itu adalah menjadikan subsidi negara sebagai salah satu sumber
utama keuangan partai. Sebetulnya sudah ada subsidi negara kepada partai
saat ini, tetapi jumlahnya sangat minim sehingga tak dapat digunakan
publik sebagai alat menekan partai melakukan reformasi. Menurut
sejumlah perhitungan, subsidi negara hanya mampu membiayai kurang dari 1
persen pengeluaran partai di Indonesia.
Karena negara yang
memberikan subsidi, berarti partai menggunakan dana publik. Partai harus
mempertanggungjawabkan kepada publik bagaimana dana itu digunakan.
Inilah jalan "memaksa" partai politik transparan atas aktivitas
kepartaian secara berkala. Itu juga jalan agar partai tak dikuasai satu
atau sekelompok kecil orang berduit.
Demokrasi internal
Partai
yang melakukan transparansi secara alamiah juga akan melakukan
demokratisasi internal. Spirit transparansi adalah demokrasi karena ia
bermakna pengguna dana publik tunduk kepada kepentingan publik.
Demokrasi internal partai akan menciptakan sirkulasi kepemimpinan partai
secara sehat. Sirkulasi kepemimpinan partai mensyaratkan tersedianya
kader terus-menerus. Konsekuensinya, partai harus terus-menerus
memperluas jaringan pendukungnya agar orang-orang yang berbakat jadi
pemimpin dapat terjaring. Partai perlahan-lahan akan melakukan praktik
terbaik pengelolaan partai: demokrasi internal, transparansi, dan
berorientasi konstituen.
Negara membiayai partai bukanlah fenomena
unik. Hampir semua negara demokrasi saat ini melakukannya, dengan
besaran berbeda-beda. Saat ini sekitar 75 persen negara demokrasi
memberi subsidi berkala kepada partai politik. Biasanya 25-30 persen
dari pengeluaran partai politik. Besaran yang diterima setiap partai
biasanya didasarkan pada seberapa banyak suara yang diperoleh partai
dalam pemilu.
Akan tetapi, sebelum subsidi negara diberikan kepada
partai politik, diperlukan sejumlah langkah dan kebijakan untuk
memastikan tujuan kebijakan ini tercapai. Sistem pengelolaan dan
pemeriksaan keuangan harus benar-benar terjamin mutunya. Yang sangat
krusial adalah pertanggungjawaban dan sanksi atas berbagai pelanggaran
yang mungkin terjadi harus disiapkan terlebih dulu. Juga harus dipas-
tikan agar kebijakan seperti ini benar-benar akan menghapus praktik
ilegal pembiayaan partai. Orang-orang berduit atau para oligarch
harus dipastikan tak lagi dapat menguasai partai. Jika demikian,
kebijakan menjadikan partai milik publik ini akan dapat mencapai
tujuannya.
DJAYADI HANAN
Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
No comments:
Post a Comment