Thursday, December 24, 2015

Pertanian Masih Terpuruk

KOMPAS Cetak | 

Apa yang membedakan pembangunan pertanian, khususnya pangan, pada satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dengan era pemerintahan-pemerintahan sebelumnya?
Kalau melihat dari strategi pencapaiannya, tidak jauh berbeda. Pola lama masih terus digunakan. Pemerintah masih mengandalkan anggaran besar melalui berbagai program subsidi/bantuan sebanyak-banyaknya, memberi insentif harga dengan memaksa harga komoditas pertanian naik di tingkat petani dan pada saat yang sama memberatkan konsumen dan pelaku usaha lain, serta mengambil jalan pintas memangkas impor sekadar mengejar pencapaian swasembada semu.
Kalaupun ada pembeda lebih pada skala bantuannya. Bila era sebelumnya berbagai program bantuan dalam volume kecil, sekarang jauh lebih besar. Misalnya, bantuan alat dan mesin pertanian dari 4.000 unit naik menjadi 80.000 unit.
Pembeda lain yang menonjol dan berorientasi pembangunan pertanian dan pangan jangka panjang adalah perbaikan jaringan irigasi tersier dalam skala besar, serta rencana pembangunan waduk lengkap dengan jaringan irigasinya.

Belajar Menerima Perbedaan


Demokrasi membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Maka, orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing". (KH A Mustofa Bisri).
Pernyataan Gus Mus dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Mizan, 2015) itu memang niscaya. Itulah dasar dari semua kasus kekerasan berlatar belakang perbedaan agama. Orang sulit menerima perbedaan, merasa paling benar dalam beragama sehingga-sedihnya- menjadi intoleran dan menghalalkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Mayoritas merasa berhak mengatur minoritas. Makin parahlah keadaan karena hukum tidak bergigi.
Pada akhir tahun 2014 lalu, muncul harapan agar peristiwa-peristiwa intoleransi di Indonesia bisa berkurang pada 2015 ini. Ibarat mencari jejak di air, harapan itu tak terwujud. Kasus-kasus intoleransi, baik antaragama maupun antar "aliran" dalam satu agama, ternyata masih terus terjadi, bahkan mencuat dua kejadian besar, bentrok antarwarga di Aceh Singkil dan di Tolikara, Papua.

Resentralisasi untuk Kebaikan


Pada Februari 2015, mantan Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai mengadakan kunjungan ke Indonesia. Dalam soal otonomi dan desentralisasi, Thailand menilai Indonesia lebih maju. Chuan mengatakan, desentralisasi sangat penting diimplementasikan untuk mempersempit jurang kesenjangan antara kota dan desa, antara pusat dan daerah.
Agaknya penerapan model otonomi daerah sebagai bagian dari demokratisasi dimonitor banyak negara lain. Thailand merupakan salah satu negara yang mengakui kemajuan sistem otonomi daerah yang diterapkan sejak 15 tahun terakhir. Pasang-surut, tarik-ulur, coba dan salah (trial and error), otonomi daerah memang menarik. Sampai sekarang pun tidak setiap orang sependapat dengan perkembangan politik otonomi daerah.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pemutakhiran UU otonomi daerah era Reformasi (1999 dan 2004) tidak selalu dianggap sebagai langkah maju. Hal itu, paling tidak, tecermin dalam pengakuan mantan Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Isran Noor, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia ketika dia menyatakan mundur dari jabatannya.

Terobosan Ekonomi Kreatif


Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf pada 2016 nanti dituntut bekerja nyata. Waktu sepanjang 2015 ini hanya digunakan badan itu untuk mengurusi struktur kelembagaannya.
Bekraf ditetapkan pada 20 Januari 2015 melalui Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif. Namun, hingga kini, belum terlihat jelas, apa yang dikerjakan.
Ke arah mana badan itu sebenarnya hendak bergerak? Sekretaris Utama Bekraf Harry Waluyo mencuplik definisi ekonomi kreatif dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). UNCTAD adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan.
"Ekonomi kreatif adalah yang diasuh secara memadai, kreativitas yang bahan bakarnya budaya, yang menekankan pada pembangunan manusia, yang dapat menciptakan lapangan kerja, inovasi, dan perdagangan, serta berkontribusi terhadap inklusi sosial, menghargai keragaman budaya dan lingkungan yang berkelanjutan," kata Harry, dalam paparannya di Bali, 9 September 2015.

Menjadi Daerah Cerdas

Menjadi Daerah Cerdas

KOMPAS   



Harian Kompas bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dan Perusahaan Gas Negara pada Agustus lalu memberikan anugerah kepada Kota Surabaya sebagai kota dengan penilaian tertinggi dalam Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015. Ibu kota Provinsi Jawa Timur ini berada di urutan tertinggi dari 93 kota di Indonesia yang dinilai sudah menerapkan konsep kota cerdas dilihat dari aspek perekonomian, sosial, dan lingkungan.
Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini (2010-2015) memang maju pesat. Mantan Kepala Dinas Pertamanan Surabaya ini mulai membangun Surabaya dengan mewujudkan kota terpadat kedua di Indonesia itu menjadi kota yang nyaman bagi warganya. Ini dilakukan mulai dengan membangun taman-taman yang asri dan ruang terbuka hijau hingga mengajak warganya mengelola sampah dengan cerdas.
Dari pengelolaan sampah, pemberdayaan ekonomi masyarakat pun dimulai. Pengelolaan sampah tidak hanya membuat Surabaya yang semula kumuh dan banyak sampah berubah menjadi kota yang bersih dan nyaman ditinggali, tetapi juga menghasilkan kompos dan tenaga listrik. Warga Surabaya pun dididik untuk berdaya melalui sejumlah pelatihan keterampilan ataupun komputer yang diselenggarakan secara gratis. Pendidikan gratis di sekolah-sekolah pemerintah dari tingkat SD hingga SMA. Infrastruktur di daerah-daerah pinggiran pun dibenahi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi warga di pinggiran kota.

Catatan Sektor Kebijakan Publik 2015

Kamis 24 Dec 2015, 15:50 WIB
Catatan Agus Pambagio

Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Tahun 2015 akan segera berakhir dan kita akan menyambut tahun 2016 dengan harapan-harapan baru yang lebih positif dari tahun ini. Di tahun 2015 diwarnai dengan disharmoni antara legislatif dengan eksekutif yang cukup mengganggu ketenangan publik. Kondisi ini diperburuk dengan kurang baiknya pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Di usia satu (1) tahun Kabinet Kerja dibawah pimpinan Presiden Jokowi (JKW) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), sebenarnya sudah banyak mengeluarkan terobosan kebijakan yang selama ini mampet menjadi mulai terbuka. Namun masih banyak pula yang tetap mampet dan memerlukan percepatan. Perubahan kebijakan untuk percepatan wajib dilakukan, asalkan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang ada.

Perbaikan regulasi atau kebijakan seharusnya berimplikasi pada pengurangan ekonomi biaya tinggi yang selama ini dilestarikan oleh para pencari rente yang tidak saja berasal dari swasta tetapi juga titisan legislator dan regulator. Ulah mereka hanya menguntungkan kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Mereka makmur, namun ekonomi rakyat babak belur.

Menjaga Kesinambungan Diplomasi Demokrasi

Jumat 18 Dec 2015, 18:52 WIB
Kolom
Aris Heru Utomo - detikNews00
Jakarta - Sempat muncul selentingan bahwa pelaksanaan Bali Democracy Forum (BDF) akan ditinjau kelanjutannya. Akhirnya pada tanggal 10-11 Desember 2015, bertempat di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, BDF VIII kembali digelar. Kali ini mengusung tema Democracy and Effective Public Governance (Demokrasi dan Kepemerintahan Publik Yang efektif).

Forum dibuka resmi oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan dihadiri 19 menteri/wakil menteri dan perwakilan dari 89 negara peserta dan observer. Pertemuan dibagi dalam 4 sesi yaitu pembukaan, debat umum, diskusi panel I dan II, dengan masing-masing panel membahas sub-sub tema tersendiri. Pada akhir pertemuan dihasilkan Chair's Statement yang memuat hasil pertemuan dan kesepakatan yang dicapai oleh para peserta pertemuan.

Pada sesi pembukaan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menggarisbawahi dinamika demokrasi global sejak penyelenggaraan BDF VII tahun 2014 dan peran Bali Civil Society dan Media Forum dalam mengembangkan lingkungan yang lebih inklusif bagi hubungan antar pemerintah (G-to-G). Menlu juga menekankan kembali bahwa BDF di tahun-tahun mendatang akan tetap diselenggarakan dalam kerangka kerja sama , G-to-G pada tingkat menteri.
 

Ahok Pun 'Mencuri' Start

Republika Kamis, 24 Desember 2015, 15:07 WIB


Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika

Saat itu saya baru saja turun dari bus Transjakarta. Lalu saya berjalan kaki menuju kantor. Mendekati gerbang masuk kantor, saya dicegat beberapa perempuan muda cantik dan berpakaian rapi. Mereka berseragam tetapi saya tak memperhatikan logo atau lambang di bajunya.
Satu di antara mereka menyodorkan koran. Saya segera memberi isyarat penolakan karena memang tak berminat membeli koran itu. Seketika perempuan muda itu menyahut,”Ini tidak dijual kok Pak. Ini gratis”. Saya lalu menerima satu lembar koran tersebut, seraya mengucapkan terima kasih.
Saya tak segera tertarik membaca koran tipis itu. Koran saya gulung dan saya pun meneruskan langkah untuk masuk ruang kerja di kantor.
Iseng-iseng, ketika duduk di ruang kerja, saya buka koran tersebut. Judulnya: Jakarta Kini. Ada judul lain dengan ukuran huruf lebih kecil yang berada di antara kata ‘Jakarta’ dan ‘Kini’, yakni Teman Ahok, disertai gambar animasi dua orang yang berdiri dengan satu tangan diangkat.
Koran 12 halaman itu seluruhnya berwarna. Isinya berupa puja-puji terhadap kinerja Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau lebih dikenal dengan panggilan Ahok.