Sabtu, 19 Desember 2015, 13:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
KISNU HARYO KARTIKO
Tenaga Ahli Pengajar Bidang Politik Lemhannas RI
Sungguh memprihatinkan perilaku para pemimpin dan tokoh nasional akhir-akhir ini. Ada pempim pin lembaga negara yang men jadi makelar kepentingan asing dan diri sendiri. Ada menteri yang dianggap tidak mempunyai kinerja baik demi kepentingan negara dan bangsa.
Tenaga Ahli Pengajar Bidang Politik Lemhannas RI
Sungguh memprihatinkan perilaku para pemimpin dan tokoh nasional akhir-akhir ini. Ada pempim pin lembaga negara yang men jadi makelar kepentingan asing dan diri sendiri. Ada menteri yang dianggap tidak mempunyai kinerja baik demi kepentingan negara dan bangsa.
Ada tokoh politik, pejabat pemerintah, lawyer, pengusaha, anggota legislatif yang terlibat korupsi berjamaah. Ada anggota legislatif yang ditangkap karena menerima suap.
Ada pimpinan negara dan daerah yang me langgar konstitusi dalam membentuk kabinet dan pembantunya. Ini sebagian kecil da ri potret wajah suram bangsa ini yang sedang tren di media massa dan dunia maya.
Mari kita mereka-reka memba yang kan \"andai saja\" penyelenggaraan pemerin tah an ada di tanganpejabat negara yang ko rup, yang tidak punya moral dan etika --pas ti negara ini akan dijual, digadaikan, dan di kelola untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rak yat banyak.
Pasti, sistem pengelolaan negara dan bang sa meliputi sistem politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam akan disesuaikan untuk menampung kepentingan asing maupun pemilik modal. Keadilan hukum tidak akan ter - wujud karena hukum hanya tajam ke bawah (untuk rakyat) dan akan tumpul ke atas (penguasa dan pemilik kekuasaan serta pemilik modal/orang kaya).
Sistem pengangkatan pejabat publik dan birokrasi diorientasikan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tanpa memperhatikan pro sedur dan aturan sebenarnya (bahkan me - langgar konstitusi dan aturan hukum ad mi - nis trasi). Penegakan hukum terhadap pejabat negara yang melanggar hukum serta etika dan moral sulit dilaksanakan dengan baik dan tegas karena terjadi \"saling menyandera\"
antarpejabat negara.
Perbuatan pejabat menjadi makelar, korupsi, pelanggaran moral, pelanggaran hu - kum administrasi saat menyusun perangkat pemerintahan, pasti dianggap hal biasa dan bukan tercela. Andai rekaan ini terjadi, negara ini akan terjadi berbagai anomali dan anarki.
Dari potret ini, timbul pertanyaan, apakah sudah sedemikian mental dan karakter bangsa Indonesia saat ini? Jawaban pertama, bisa ya dan yang kedua bisa tidak. Jika seba - gian besar bangsa kita menjawab \"ya\", maka sungguh memprihatinkan. Diperlukan langkah besar yang mampu menjungkir balikkan keadaan dari karakter negatif menjadi positif.
Langkah itu bukan tambal-sulam, melainkan harus melalui langkah berani dan mendas - ar secara cepat (indepthdan revousioner) dan harus di la kukan seluruh organ penyelenggara peme rin tahan negara (langkah eksternal) mau - pun oleh diri manusia Indonesia (internal).
Langkah eksternal harus dilakukan oleh organ penyelenggara pemerintahan negara yang meliputi baik suprastruktur politik terdiri dari lembaga eksekutif (pemerintah pusat dan daerah), legislatif (DPD dan DPR/DPRD), yudikatif (lembaga peradilan ditingkat pusat dan daerah), dan auditif (seluruh jajaran BPK); maupun mencakup infrastruktur politik.
Adapun langkah konkret yang dapat merevolusi mental penyelenggara pemerintahan, antara lain, pertama, pentingnya pene gak an hukum dan sanksi berat kepada peja bat dan pelaku tindak pidana korupsi dengan hu kuman mati tanpa ampun. Hal ini memer lukan penguatan implementasi criminal justice system di bidang hukum tindak pidana korupsi. Penguatan ini meliputi struktur hukumnya, aparatur hukumnya, dan budaya hukumnya.
Kedua, terhadap pelanggaran kode etik dan moralitas oleh pejabat negara perlu adanya penguatan terhadap sanksi berupa peme - catan dan penguatan atas kelembagaan Majelis Kode Etik. Saat ini lembaga Majelis Kode Etik lebih banyak dianggap menjadi pembela pe langgar etika dan moralitas.
Hal ini dikarenakan Majelis Kode Etik yang dibuat beranggotakan unsur internal or ga nisasi/lembaga negara. Untuk menjadi - kan lembaga yang berwibawa, sudah saatnya bila Majelis Kode Etik yang dibentuk berang - gotakan tenaga ahli profesional dan independen dari luar organi sasi/ lembaga negara, yang bebas in tervensi kepentingan.
Ketiga, perlu penguatan sistem peradilan tata-usaha negara, baik struktur hukum maupun budaya hukumnya, yaitu melalui perluasan ruang lingkup materi yang boleh dituntut, termasuk pelanggaran merit sistem yang dituangkan dalam keputusan tertulis maupun tak tertulis (lisan).
Juga perlu adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum administrasi negara dan kepegawaian. Hal ini penting karena banyak keputusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah inkrachtseringkali diabaikan oleh pejabat publik dan birokrasi.
Keempat, dalam rangka membangun lem baga negara yang bersih, berwibawa, dan akuntabel, perlu penguatan unit kerja pengawasan dan institusi pengawasan di lembaga pe nyelenggara pemerintahan negara dari pu - sat sampai daerah. Fungsi dan peran unit peng awasan saat ini belum mampu mendorong lembaga penyelenggara pemerintahan melaksanakan tertib administrasi, tertib anggaran, tertib laporan, sehingga berbagai pelanggaran administrasi, penyimpangan penggunaan anggaran serta ketidaklengkapan dan keterlambatan laporan sering terjadi.
Kelima, sudah saatnya dalam setiap proses rekrutmen untuk memilih calon pejabat publik maupun calon pimpinan organisasi politik dan kemasyarakatan wajib dilakukan screeningriwayat hidupnya termasuk per - syaratan moralitas. Tidak seperti saat ini pejabat publik berasal dari calon berlatar bela - kang \"preman dan mantan narapidana\".
Untuk melakukan langkah revolusi mental yang bersifat individual diperlukan sanksi sosial yang akan mendorong invidu dalam masyarakat untuk berbuat dan bertindak berdasarkan etika, moralitas, dan taat hukum.
Sanksi sosial saat ini mulai mengendur akibat masyarakat kita semakin individualistis dan renggangnya hubungan sosial.
Berkembangnya sikap materialistis, di mana masyarakat semakin berorientasi kepada kehidupan yang diukur dengan materi tanpa menjunjung etika dan moralitas. Orang yang berlimpah materi dan senang berbagi dianggap terpandang, berkedudukan sosial tinggi, dan orang yang baik, tanpa mau tahu dengan cara dan bagaimana memperolehnya.
Sudah saatnya kita merenungkan berikut.
Negara dengan hukum yang buruk di tangan penguasa yang baik (bermoral dan beretika)
akan lebih baik daripada negara dengan hukum yang baik ditangan penguasa yang buruk (tidak bermoral dan beretika). Bila menginginkan negara berjalan baik dan berorientasi demi kepentingan rakyat dan nega - ra, serahkan kekuasaan itu kepada negara - wan dibandingkan kepada politikus.
No comments:
Post a Comment