Monday, December 21, 2015

Kebangkitan Desa, Kebangkitan Indonesia

KORAN REPUBLIKA 
Senin, 21 Desember 2015, 14:00 WIB

Negara telah lama bekerja keras membangun desa. Sejak dekade 1970-an dengan pendekatan pembangunan perdesaan terpadu, berbagai program pembangunan telah masuk ke ranah desa.

Pembangunan desa disusun paralel, seragam, dan hierarkis dengan pemerintahan desa, yang disertai pendekatan birokratisasi, pembinaan dan kontrol secara ketat terhadap desa. Pendekatan ini bukanlah melindungi dan memperkuat desa, melainkan mengabaikan kekuatan lokal desa dan bahkan melemahkan desa.

Pendekatan itu kemudian bergeser seiring tuntutan reformasi soal kewenangan bagi desa, hak, dan kewajiban. Aspirasi itu dituangkan dalam UU No 6/2014 tentang Desa. Inilah sejarah awal pengakuan negara terhadap desa diakomodasi secara utuh dalam regulasi.

Pelaksanaan UU Desa dijabarkan oleh pemerintah Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014-2019 dengan kebijakan yang nyata. Maka dikeluarkanlah Perpres No 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Secara nyata, kementerian inilah yang bertugas mengawal implementasi UU Desa.

Pembentukan Kementerian Desa merupakah sejarah awal bagi desa memiliki wadah kementerian yang menangani urusan desa. Selama ini, pembangunan desa memang membawa kemajuan fisik desa dan mobilisasi sosial orang desa. Namun, ada sejumlah masalah serius.

Pertama, ketimpangan pembangunan desa. Masih banyak desa yang tidak memperoleh sentuhan negara dan pembangunan. Masih banyak desa yang tidak mampu mengakses dan menikmati pembangunan. Sampai hari ini, berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), yang dipublikasikan Kemendesa PDTT (2015) masih ada 13.453 (18,25 persen) desa sangat tertinggal dan 33.592 (45,57 persen) desa tertinggal.

Kedua, pembangunan desa telah mengalami involusi serius sehingga desa tidak mampu menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat. Arus urbanisasi maupun arus migrasi TKI ke negara lain terus mengalir. Krisis pangan, air, energi, dan bahkan krisis sosial selalu menggejala di ribuan desa.

Ketiga, desa justru menjadi lemah, menjadi beban negara, tidak bermanfaat secara signifikan untuk masyarakat, dan tidak berkontribusi untuk republik. Keempat, para pemangku desa tidak hadir sebagai pemimpin rakyat, tapi tumbuh menjadi penguasa lokal yang berorientasi kekuasaan, kekayaan, dan kepanjangan tangan supradesa.

Berbagai masalah desa inilah yang akan diselesaikan dengan berbagai kebijakan seperti memasang puzzle. Menteri Desa dan PDTT Marwan Jafar mulai menyusun aneka program yang tujuan akhirnya menjadikan desa di Indonesia mandiri, berdikari, dan sejahtera.

UU Desa memberikan semangat dan arah kebijakan untuk perubahan desa menuju desa yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis. Misi besar ini tidak akan dicapai kalau negara terus mengutamakan pendekatan kontrol dan birokratisasi. Mengacu pada UU Desa, setidaknya ada enam pendekatan baru yang mulai ditempuh oleh Kemendesa PDTT.

Pertama, rekognisi—sebagai antitesis atas birokratisasi—yang bermakna menghormati, mengakui, mempercayai, dan memberdayakan desa. Kedua, subsidiaritas yang bermakna negara memberikan mandat kewenangan dan pembangunan kepada desa agar prakarsa dan keputusan lokal menjadi lebih kuat serta dekat masyarakat setempat. Ketiga, redistribusi, yakni negara membagi sumber daya dalam bentuk dana desa maupun tanah untuk mencapai keadilan ekonomi.

Keempat, demokratisasi, yakni memperkuat akuntabilitas-responsivitas pemimpin desa dan representasi rakyat. Kelima, konsolidasi—sebagai antitesis atas pendekatan mutialisi—pembangunan dan sumber daya agar desa menjadi entitas dan kekuatan utuh. Keenam, pemberdayaan yang hadir melalui proses edukasi, katalisasi, dan fasilitasi berbagai aktor desa sehingga mereka punya kekuatan dan kekusaan yang lebih kokoh.

Pola pendekatan yang secara kontinu disertai inisiasi gerakan mandiri akan menghadirkan desa sebagai entitas lokal yang kompleks dan berdikari. Desa sebagai subjek yang bisa mengatur perekonomiannya sendiri, mengatur pemerintahannya sendiri, dan mengkreasikan pola pengembangan pembangunan tanpa meninggalkan kearifan lokalnya.

Bahwa, baik UU maupun kebijakan Menteri Desa PDTT sangat aktif mendukung desa. Desa, dalam gagasan maupun praktiknya, mampu menunjukkan kelenturan menghadapi dan membuat perubahan.

Pendekatan baru dijalankan oleh Kemendesa niscaya akan mendongkrak kebangkitan desa pada empat ranah. Pertama, kebangkitan sosial. Prinsip kebersamaan dan gotong-royong secara kolektif antara pemimpin desa dan masyarakat pasti akan memupuk modal sosial (kerja sama, solidaritas, dan kepercayaan). Desa bisa tumbuh menjadi benteng kohesi dan ketahanan sosial atas kebinekaan, juga benteng dari radikalisme dan terorisme.

Kedua, kebangkitan ekonomi. Pendekatan "desa membangun" dan "membangun desa" mempunyai orientasi pada kebangkitan ekonomi berbasis desa. Dana desa maupun alokasi dana desa tentu bukanlah anggaran untuk belanja semata, tetapi menjadi aset untuk investasi dan konsolidasi kekuatan ekonomi desa.

Ketiga, kebangkitan budaya. UU Desa mempunyai semangat memupuk tradisi berdesa, yang antara lain memperkuat kearifan lokal, ketaatan pada hukum, memupuk spirit republik, serta mendidik penghormatan terhadap terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan. Kearifan lokal merupakan roh dan tradisi desa yang akan menjadi benteng kuat ketika menghadapi gempuran globalisasi.

Sementara spirit republik, hukum dan nilai kemanusiaan akan mendorong kemajuan budaya desa. Orang desa tidak akan terkurung dan terjebak pada ikatan parokhial yang sempit, tetapi juga berproses memahami, membicarakan dan menanamkan isu-isu publik (pendidikan, kesehatan, lingkungan), hukum, dan kemanusiaan ke kehidupan mereka. Kebangkitan budaya pada dua sisi ini akan memberikan sumbangan besar terhadap kebangkitan Indonesia, yakni kita akan menjadi maju tanpa meninggalkan tradisi lokal, dan merawat tradisi tanpa ketinggalan zaman.

Keempat, kebangkitan politik. Desa bukan hanya arena sosial tetapi juga menjadi arena politik pemerintahan yang sangat dekat dengan rakyat desa. Musyawarah desa, perencanaan desa, hingga pemilihan kepala desa merupakan arena politik desa. Perubahan kepemimpinan dan representasi rakyat merupakan dua sisi mata uang dalam kebangkitan politik.

Secara politik, Kemendesa PDTT telah mengukuhkan peran kearifan desa dan desa adat dalam Permendesa No 1/2015 tentang kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan berskala lokal desa. Gerakan desa membangun Indonesia itu menjadi basis awal kemandirian desa. Pendekatan membangun desa (pembangunan kawasan perdesaan) dibutuhkan untuk melakukan akselerasi kemajuan desa. Negara harus hadir dan aktif membangun desa untuk membuka akses desa, lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, pendekatan ini tidak boleh meminggirkan dan merusak desa. Selain pola dari atas itu, gerakan desa membangun juga memberi ruang bagi kolaborasi antardesa (misalnya Badan Usaha Milik Antardesa) untuk konsolidasi aktor, aset, dan akses desa agar desa menjadi lebih besar dan kuat.

Investasi skala kawasan perdesaan sebaiknya mengubah pola stakeholding menjadi shareholding, yakni desa dan orang desa tidak cukup ditempatkan secara residual sebagai pemangku kepentingan, tetapi mereka menjadi pemegang saham dan penerima bagi hasil atas bisnis ekonomi. Pendekatan ini akan membuat desa bangkit menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Kebangkitan desa akan menjadi basis yang kokoh bagi kebangkitan Indonesia. 

Nyarwi Ahmad
Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada

No comments:

Post a Comment