Republika Selasa, 15 Desember 2015, 13:00 WIB
Sejumlah selebritas turut serta dalam pilkada tingkat
kabupaten dan provinsi yang digelar serentak 9 Desember lalu. Berdasarkan
hitung cepat sementara beberapa lembaga survei, ada yang berhasil menang, tapi
tidak sedikit yang gagal.
Paduan antara popularitas, kriteria fisik, maskulinitas, dan karakter personal
tampaknya turut menentukan keberhasilan selebritas tersebut dalam memenangkan
pilkada. Popularitas tentu saja menjadi modal awal para selebritas bertarung
dalam pilkada. Rupanya, popularitas saja tidak cukup dijadikan modal untuk
memenangkan pilkada.
Selain popularitas, kriteria fisik, maskulinitas juga turut menentukan
kemenangan selebritas dalam pilkada. Selebritas muda dengan wajah menawan tentu
lebih menarik para ibu rumah tangga untuk dipilih. Sementara, soal karakter
personal selebritas menjadi kata kunci lain kemenangan selebritas dalam
pilkada. Selebritas yang populer, ganteng, maskulin, dan memiliki karakter
personal ini tampaknya merupakan ramuan ampuh yang mampu meraup suara.
Selebritas merupakan individu yang identitasnya tercatat oleh media. Kendati
berbeda dengan politisi, seorang politisi dapat masuk dalam kriteria selebritas
karena identitas individunya sering muncul di media. Kategori selebritas hanya
dapat muncul dalam masyarakat hiburan.
Dalam masyarakat hiburan yang penuh dengan kemasyhuran, selebritas lebih
penting dari keputusan politik. Bahkan, seorang selebritas dapat menggantikan
popularitas para pemimpin. Selebritas merupakan representasi ideal dari
keunggulan budaya massa (Hartley, 2004).
Setiap kali panggung hiburan menjadi komoditas, selalu memunculkan kemasyhuran.
Citra kemasyhuran tersebut demikian intensif diproduksi media hingga melahirkan
selebritas. Panggung hiburan, selain menjadi perayaan massa, juga menjadi
perayaan individual. Para selebritas yang masuk dalam panggung politik melalui
pilkada sesungguhnya tengah menikmati suatu perayaan individual sebagai dampak
kemasyhuran yang diraih sebelumnya melalui media.
Tak cukup popularitas
Setidaknya, ada enam selebritas yang ikut mengadu nasib dalam pilkada serentak
lalu. Ada Zumi Zola yang dikenal luas sebagai pemain sinetron, sebelumnya
menjabat sebagai Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi, menang dalam pilkada
gubernur Provinsi Jambi. Sigit Purnomo Said yang lebih dipopuler disebut Pasha,
vokalis band Ungu yang sempat diterpa kabar tak sedap karena berfoto mesra
dengan Angel Karamoy, justru unggul dalam pilkada Wali Kota Palu, Sulawesi
Tengah.
Adapun Emil Elestianto Dardak memang tidak secara langsung terjun dalam dunia
selebritas. Namun, suami dari selebritas Arumi Bachsin ini tercatat dalam
sebuah manajemen artis sukses dalam pilkada Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Sedangkan, Helmy Yahya yang dikenal sebagai presenter berbagai acara kuis
televisi gagal bertarung dalam pilkada di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan.
Komedian senior Tubagus Dedi Suwandi Gumelar alias Mi'ing juga gagal dalam
Pilkada Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Demikian juga penyanyi lawas yang cukup
senior, Maya Rumantir, gagal memenangkan pilkada gubernur Provinsi Sulawesi
Utara.
Tidak mudah menganalisis faktor kemenangan atau kekalahan para selebritas
tersebut dalam pilkada serentak lalu. Sebelumnya tercatat selebritas Dede Yusuf
dan Rieke Dyah Pitaloka juga gagal dalam pilkada gubernur Provinsi Jawa Barat.
Helmy Yahya dan Tubagus Dedi Suwandi Gumelar bahkan bukan kali pertama ini
mengikuti pilkada, tapi tetap saja belum berhasil memenangkan pilkada.
Kekalahan ini dapat dibaca sebagai tidak cukup modal selebritas dan populer
untuk menang dalam pilkada.
Kriteria fisik seorang maskulin dan karakter personal dapat dinilai menjadi
faktor penting penentu kemenangan selebritas dalam pilkada. Maskulinitas dapat
merujuk pada imaji sifat kepriaan yang gagah, tangguh, mandiri, berani, serta
penuh daya tarik dan pesona. Nilai tersebut jika dikonstruksi secara
terus-menerus mampu menjadi magnet untuk meraup simpati. Oleh sebab itu,
maskulinitas yang tumbuh dalam suatu budaya industri media memiliki kemampun
mengontrol berbagai kekuatan sosial, bahkan kekuatan politik di lingkungannya.
Kecemasan politik secara sosial menjadi faktor lain menguatnya nilai
maskulinitas dalam panggung pilkada. Dalam suatu kecemasan politik yang penuh
ketidakpastian, maskulinitas selebritas dapat hadir memberikan rasa nyaman bagi
pemilihnya. Maskulinitas dalam diri selebritas menjadi potensi politik
tersembunyi untuk memenangkan pilkada.
Sementara, karakter personal menjadi faktor penentu lain kemenangan selebritas
dalam pilkada. Selebritas yang populer, ganteng secara fisik, dan terlihat
maskulin tapi memiliki karakter yang tidak memancarkan kenyamanan, dapat saja
tidak dipilih, terutama oleh pemilih perempuan sebagai pemilih mayoritas.
Meledak-ledak dalam menyampaikan pendapat, emosional dalam menanggapi
perbedaan, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau dominan dalam perdebatan
merupakan contoh karakter yang kurang dapat menuai simpati pemilih. Bahkan,
pilpres langsung yang telah mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko
Widodo diyakini dapat unggul karena faktor karakter personal tersebut.
Selebritas yang maskulin dengan kriteria fisik menawan memiliki karakter santun
dan tidak dominan dalam penguasaan opini menjadi hal yang sebaiknya
dipertimbangkan oleh partai politik jika ingin mengusung seorang pesohor.
Setidaknya, hal itulah yang terlihat ditampilkan oleh selebritas yang
memenangkan pilkada serentak lalu.
Tidak menyerang lawan politik, menghindari perdebatan kalah-menang, dan sabar
melayani awak media merupakan jurus politik yang sederhana untuk meraih simpati
dan kemenangan. Bagaimanapun, lelaki maskulin dengan postur fisik yang menarik
dan memiliki karakter santun dinilai lebih mampu menarik suara para ibu rumah
tangga sebagai jumlah terbanyak pemilih potensial.
ISWANDI SYAHPUTRA
Dosen Kajian Media Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
No comments:
Post a Comment