Monday, December 21, 2015

Selebritas Menang Pilkada


Republika Selasa, 15 Desember 2015, 13:00 WIB

Sejumlah selebritas turut serta dalam pilkada tingkat kabupaten dan provinsi yang digelar serentak 9 Desember lalu. Berdasarkan hitung cepat sementara beberapa lembaga survei, ada yang berhasil menang, tapi tidak sedikit yang gagal.

Paduan antara popularitas, kriteria fisik, maskulinitas, dan karakter personal tampaknya turut menentukan keberhasilan selebritas tersebut dalam memenangkan pilkada. Popularitas tentu saja menjadi modal awal para selebritas bertarung dalam pilkada. Rupanya, popularitas saja tidak cukup dijadikan modal untuk memenangkan pilkada.

Selain popularitas, kriteria fisik, maskulinitas juga turut menentukan kemenangan selebritas dalam pilkada. Selebritas muda dengan wajah menawan tentu lebih menarik para ibu rumah tangga untuk dipilih. Sementara, soal karakter personal selebritas menjadi kata kunci lain kemenangan selebritas dalam pilkada. Selebritas yang populer, ganteng, maskulin, dan memiliki karakter personal ini tampaknya merupakan ramuan ampuh yang mampu meraup suara.

Selebritas merupakan individu yang identitasnya tercatat oleh media. Kendati berbeda dengan politisi, seorang politisi dapat masuk dalam kriteria selebritas karena identitas individunya sering muncul di media. Kategori selebritas hanya dapat muncul dalam masyarakat hiburan.

Dalam masyarakat hiburan yang penuh dengan kemasyhuran, selebritas lebih penting dari keputusan politik. Bahkan, seorang selebritas dapat menggantikan popularitas para pemimpin. Selebritas merupakan representasi ideal dari keunggulan budaya massa (Hartley, 2004).

Setiap kali panggung hiburan menjadi komoditas, selalu memunculkan kemasyhuran. Citra kemasyhuran tersebut demikian intensif diproduksi media hingga melahirkan selebritas. Panggung hiburan, selain menjadi perayaan massa, juga menjadi perayaan individual. Para selebritas yang masuk dalam panggung politik melalui pilkada sesungguhnya tengah menikmati suatu perayaan individual sebagai dampak kemasyhuran yang diraih sebelumnya melalui media.

Tak cukup popularitas
Setidaknya, ada enam selebritas yang ikut mengadu nasib dalam pilkada serentak lalu. Ada Zumi Zola yang dikenal luas sebagai pemain sinetron, sebelumnya menjabat sebagai Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi, menang dalam pilkada gubernur Provinsi Jambi. Sigit Purnomo Said yang lebih dipopuler disebut Pasha, vokalis band Ungu yang sempat diterpa kabar tak sedap karena berfoto mesra dengan Angel Karamoy, justru unggul dalam pilkada Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Adapun Emil Elestianto Dardak memang tidak secara langsung terjun dalam dunia selebritas. Namun, suami dari selebritas Arumi Bachsin ini tercatat dalam sebuah manajemen artis sukses dalam pilkada Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.

Sedangkan, Helmy Yahya yang dikenal sebagai presenter berbagai acara kuis televisi gagal bertarung dalam pilkada di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Komedian senior Tubagus Dedi Suwandi Gumelar alias Mi'ing juga gagal dalam Pilkada Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Demikian juga penyanyi lawas yang cukup senior, Maya Rumantir, gagal memenangkan pilkada gubernur Provinsi Sulawesi Utara.

Tidak mudah menganalisis faktor kemenangan atau kekalahan para selebritas tersebut dalam pilkada serentak lalu. Sebelumnya tercatat selebritas Dede Yusuf dan Rieke Dyah Pitaloka juga gagal dalam pilkada gubernur Provinsi Jawa Barat. Helmy Yahya dan Tubagus Dedi Suwandi Gumelar bahkan bukan kali pertama ini mengikuti pilkada, tapi tetap saja belum berhasil memenangkan pilkada. Kekalahan ini dapat dibaca sebagai tidak cukup modal selebritas dan populer untuk menang dalam pilkada.

Kriteria fisik seorang maskulin dan karakter personal dapat dinilai menjadi faktor penting penentu kemenangan selebritas dalam pilkada. Maskulinitas dapat merujuk pada imaji sifat kepriaan yang gagah, tangguh, mandiri, berani, serta penuh daya tarik dan pesona. Nilai tersebut jika dikonstruksi secara terus-menerus mampu menjadi magnet untuk meraup simpati. Oleh sebab itu, maskulinitas yang tumbuh dalam suatu budaya industri media memiliki kemampun mengontrol berbagai kekuatan sosial, bahkan kekuatan politik di lingkungannya.

Kecemasan politik secara sosial menjadi faktor lain menguatnya nilai maskulinitas dalam panggung pilkada. Dalam suatu kecemasan politik yang penuh ketidakpastian, maskulinitas selebritas dapat hadir memberikan rasa nyaman bagi pemilihnya. Maskulinitas dalam diri selebritas menjadi potensi politik tersembunyi untuk memenangkan pilkada. 

Sementara, karakter personal menjadi faktor penentu lain kemenangan selebritas dalam pilkada. Selebritas yang populer, ganteng secara fisik, dan terlihat maskulin tapi memiliki karakter yang tidak memancarkan kenyamanan, dapat saja tidak dipilih, terutama oleh pemilih perempuan sebagai pemilih mayoritas. Meledak-ledak dalam menyampaikan pendapat, emosional dalam menanggapi perbedaan, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau dominan dalam perdebatan merupakan contoh karakter yang kurang dapat menuai simpati pemilih. Bahkan, pilpres langsung yang telah mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo diyakini dapat unggul karena faktor karakter personal tersebut.

Selebritas yang maskulin dengan kriteria fisik menawan memiliki karakter santun dan tidak dominan dalam penguasaan opini menjadi hal yang sebaiknya dipertimbangkan oleh partai politik jika ingin mengusung seorang pesohor. Setidaknya, hal itulah yang terlihat ditampilkan oleh selebritas yang memenangkan pilkada serentak lalu.

Tidak menyerang lawan politik, menghindari perdebatan kalah-menang, dan sabar melayani awak media merupakan jurus politik yang sederhana untuk meraih simpati dan kemenangan. Bagaimanapun, lelaki maskulin dengan postur fisik yang menarik dan memiliki karakter santun dinilai lebih mampu menarik suara para ibu rumah tangga sebagai jumlah terbanyak pemilih potensial.


ISWANDI SYAHPUTRA 

Dosen Kajian Media Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 



No comments:

Post a Comment