Monday, December 21, 2015

Menyoal Partisipasi Pemilih Pilkada


Republika Rabu, 16 Desember 2015, 14:00 WIB
Keberhasilan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak pada Rabu 9 Desember 2015 di 264 daerah yang berlangsung relatif demokratis, aman, dan damai menuai apresiasi positif sejumlah kalangan pengamat asing. Mereka menilai penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia sebagai eksperimen demokrasi yang demikian mengagumkan dan patut ditiru.

Namun, di balik itu tebersit hal yang mengganggu dan merisaukan, yakni rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Sabtu (12/12), tingkat partisipasi pemilih secara umum hanya sekitar 64,23 persen. Atau lebih rendah daripada target yang dipatok KPU sekitar 75,5 persen.

Sejumlah kabupaten/kota yang tingkat partisipasinya rendah, di antaranya Kota Medan, Sumatra Utara (26,88 persen); Kabupaten Serang (50,84 persen); Kota Surabaya (52,18 persen); Kabupaten Jember (52,19 persen); dan Kabupaten Tuban (52,25 persen). Sejumlah daerah yang cukup tinggi partisipasi pemilihnya, di antaranya, Kabupaten Mamuju Tengah (92,17 persen); Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat (89,92 persen); Bolaang Mangondow Timur (88,83 persen); Kota Tomohon, Sulawesi Utara (88,47 persen); dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (88,24 persen).

Regulasi hingga MKD
Rendahnya partisipasi pemilih kali ini tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan ada banyak faktor. Di antaranya, pertama, faktor regulasi (UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada maupun PKPU No 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota) yang membatasi ruang gerak calon untuk melakukan sosialisasi hanya oleh KPU kota/kabupaten/provinsi, khususnya terkait pemasangan alat peraga kampanye di ruang terbuka.

Regulasi semacam ini bukan hanya dianggap menguntungkan pejawat (incumbent) karena tanpa sosialisasi yang maksimal pun dengan kedudukannya sebagai pejawat pasti akan lebih dikenal masyarakatnya. Hal ini juga berakibat kampanye pilkada menjadi kurang meriah dan akhirnya tidak menarik minat masyarakat.

Kedua, sejumlah partai politik yang berhak mengusung calon atau kandidat dalam pilkada sedang mengalami konflik internal dan belum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), seperti yang dialami oleh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Konflik internal dalam tubuh kedua partai tersebut bukan saja menyulitkan keduanya dalam memproses dan mengajukan kandidat yang benar-benar memiliki tingkat elektabilitas dan popularitas tinggi, juga mengakibatkan pemilih, khususnya konstituennya menjadi tidak terlalu bergairah mendukung sepenuh hati.

Ketiga, calon atau kandidat yang diusung oleh partai politik maupun yang berasal dari calon independen dianggap kurang memiliki nilai jual tinggi (marketable), gereget, dan mendorong sentimen positif masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Keempat, terjadinya tren penurunan tingkat kepercayaan masyarakat atau pemilih (public trust) terhadap pilkada, institusi politik maupun kandidatnya sebagai instrumen perubahan dan perbaikan masyarakat. Kelima, adanya lima daerah yang ditunda pelaksanaan pilkada karena keputusan sengketa dari pengadilan yang terlambat dan dua daerah (Kabupaten Tasikmalaya dan Kafamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT) dengan calon tunggal. Hal ini sedikit banyak membuat animo masyarakat ke TPS berkurang.

Keenam, menurunnya partisipasi pemilih bisa jadi bukan karena masyarakat tidak datang ke TPS, melainkan karena faktor yang sifatnya teknis, baik disengaja maupun tidak. Misalnya, ada keluarga dari pemilih meninggal, ketiduran, atau secara teknis keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.

Ketujuh, masyarakat tidak datang ke TPS akibat kelalaian dan kekeliruan aparat KPU di tingkat bawah, seperti masyarakat yang mempunyai hak pilih tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT) atau tidak mendapat surat undangan untuk memilih (C6). Dalam regulasinya, sepanjang pemilih terdaftar dalam DPT tanpa C6, tetap dapat memilih. Namun, sebagian pemilih cenderung enggan ke TPS tanpa mendapat C6.

Kedelapan, terdapatnya data ganda dalam DPT sehingga ketika DPT direkapitulasi secara total menambah jumlah pemilih yang tidak menyalurkan hak pilihnya. Kesembilan, faktor eksternal berupa milio politik nasional di mana menjelang hari pencoblosan langit-politik justru diwarnai kegaduhan politik, khususnya terkait kasus perekaman pembicaraan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dengan Komisaris Freeport Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid yang mencatut sejumlah pembesar negeri ini.

Tayangan live sejumlah televisi swasta saat sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan berbagai bumbu konflik, intrik, tendensi, dan kepentingannya menyedot perhatian masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi muak dan alergi dengan perilaku politisi, termasuk politisi yang berkompetisi dalam pilkada serentak.

Legitimasi dan kinerja
Partisipasi memang sangat penting dalam pemilu. Demikian urgen dan signifikannya, teoritisi ilmu politik seperti Herbert McClosky, Norman H Nie, Sidney Verba, Samuel Huntington, Joan M Nelson, Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti, untuk menyebut beberapa nama menjelaskan makna penting partisipasi politik bagi individu, kelompok, masyarakat, maupun negara.

Substansinya, keterlibatan di bidang politik dipandang positif untuk masyarakat karena membuat demokrasi lebih berarti dan mengakibatkan pemerintahan lebih tanggap—dan positif bagi perorangan karena mengembangkan kepribadian menjadi manusia susila dan warga negara bertanggung jawab. Bahkan, pakar politik itu sepakat dengan konstatasi, keberhasilan pemilu dipengaruhi tinggi-rendahnya tingkat partisipasi warganya (voter turn out).

Dalam konteks global, hak pilih diakui secara universal merupakan salah satu HAM yang harus dilindungi. Pasal 21 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan, (a) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; dan (3) kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Makin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam suatu pemilu akan berdampak positif terhadap legitimasi kandidat atau calon terpilih. Tingkat partisipasi dan legitimasi yang tinggi akan menjadi amunisi atau modal yang amat bermanfaat bagi kandidat terpilih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala daerah.

Sebaliknya, manakala tingkat partisipasi pemilihnya rendah dan apalagi suara calon terpilih kalah dibandingkan yang tidak menyalurkan hak pilihnya (golput), maka legitimasi calon terpilih menjadi rendah dan patut dipersoalkan. Partisipasi dan legitimasi politik yang rendah tentu akan menyulitkan kepala daerah menjalankan fungsi dan perannya.

Sesungguhnya, tingkat partisipasi pemilih tidak selalu identik atau berkorelasi positif dengan kinerja kandidat kepala daerah. Sebab, bisa saja meski suatu kandidat dipilih dengan partisipasi signifikan (kisaran 70-90 persen), kinerjanya buruk. Sebaliknya, meskipun tingkat partisipasi pemilihnya hanya menembus 60 persen, kinerja bisa saja kinerjanya memuaskan masyarakat.

Jika terakhir yang direngkuh, dipastikan persepsi publik akan positif. Manakala mencalonkan diri menjadi kepala daerah, besar kemungkinan terpilih kembali.

Kalaupun dalam realitas politik terdapat kepala daerah dan wakilnya yang berkinerja buruk dan berperilaku koruptif dan maju kembali dalam pilkada, lalu terpilih (kembali) menjadi kepala daerah untuk kedua kalinya, kemungkinan diperoleh melalui pilkada yang tidak jurdil dan luber serta sarat politik uang.

Jika ini menjadi realitas politik, pastilah hanya terjadi dalam masyarakat yang secara psiko-politik sedang sakit atau negara/daerah yang secara politik penuh anomali. Bagaimana tidak dikatakan sakit atau anomali, kandidat yang terbukti rekam jejaknya buruk, justru terpilih menjadi kepala daerah atau wakil. 

Achmad Fachrudin
Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta



No comments:

Post a Comment