Republika Rabu, 16 Desember 2015, 14:00 WIB
Keberhasilan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah (pilkada) serentak pada Rabu 9 Desember 2015 di 264 daerah yang
berlangsung relatif demokratis, aman, dan damai menuai apresiasi positif
sejumlah kalangan pengamat asing. Mereka menilai penyelenggaraan pilkada
serentak di Indonesia sebagai eksperimen demokrasi yang demikian mengagumkan
dan patut ditiru.
Namun, di balik itu tebersit hal yang mengganggu dan merisaukan, yakni rendahnya
partisipasi pemilih. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Sabtu
(12/12), tingkat partisipasi pemilih secara umum hanya sekitar 64,23 persen.
Atau lebih rendah daripada target yang dipatok KPU sekitar 75,5 persen.
Sejumlah kabupaten/kota yang tingkat partisipasinya rendah, di antaranya Kota
Medan, Sumatra Utara (26,88 persen); Kabupaten Serang (50,84 persen); Kota
Surabaya (52,18 persen); Kabupaten Jember (52,19 persen); dan Kabupaten Tuban
(52,25 persen). Sejumlah daerah yang cukup tinggi partisipasi pemilihnya, di
antaranya, Kabupaten Mamuju Tengah (92,17 persen); Kabupaten Sorong Selatan,
Papua Barat (89,92 persen); Bolaang Mangondow Timur (88,83 persen); Kota
Tomohon, Sulawesi Utara (88,47 persen); dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara
(88,24 persen).
Regulasi hingga MKD
Rendahnya partisipasi pemilih kali ini tentu saja tidak berdiri sendiri,
melainkan ada banyak faktor. Di antaranya, pertama, faktor regulasi (UU No 8
Tahun 2015 tentang Pilkada maupun PKPU No 7 Tahun 2015 tentang Kampanye
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota
dan Wakil Wali Kota) yang membatasi ruang gerak calon untuk melakukan
sosialisasi hanya oleh KPU kota/kabupaten/provinsi, khususnya terkait
pemasangan alat peraga kampanye di ruang terbuka.
Regulasi semacam ini bukan hanya dianggap menguntungkan pejawat (incumbent)
karena tanpa sosialisasi yang maksimal pun dengan kedudukannya sebagai pejawat
pasti akan lebih dikenal masyarakatnya. Hal ini juga berakibat kampanye pilkada
menjadi kurang meriah dan akhirnya tidak menarik minat masyarakat.
Kedua, sejumlah partai politik yang berhak mengusung calon atau kandidat dalam
pilkada sedang mengalami konflik internal dan belum ada putusan berkekuatan
hukum tetap (inkracht), seperti yang dialami oleh Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan. Konflik internal dalam tubuh kedua partai tersebut bukan
saja menyulitkan keduanya dalam memproses dan mengajukan kandidat yang
benar-benar memiliki tingkat elektabilitas dan popularitas tinggi, juga
mengakibatkan pemilih, khususnya konstituennya menjadi tidak terlalu bergairah
mendukung sepenuh hati.
Ketiga, calon atau kandidat yang diusung oleh partai politik maupun yang
berasal dari calon independen dianggap kurang memiliki nilai jual tinggi
(marketable), gereget, dan mendorong sentimen positif masyarakat untuk datang
ke tempat pemungutan suara (TPS).
Keempat, terjadinya tren penurunan tingkat kepercayaan masyarakat atau pemilih
(public trust) terhadap pilkada, institusi politik maupun kandidatnya sebagai
instrumen perubahan dan perbaikan masyarakat. Kelima, adanya lima daerah yang
ditunda pelaksanaan pilkada karena keputusan sengketa dari pengadilan yang
terlambat dan dua daerah (Kabupaten Tasikmalaya dan Kafamenanu, Kabupaten Timor
Tengah Utara, NTT) dengan calon tunggal. Hal ini sedikit banyak membuat animo
masyarakat ke TPS berkurang.
Keenam, menurunnya partisipasi pemilih bisa jadi bukan karena masyarakat tidak
datang ke TPS, melainkan karena faktor yang sifatnya teknis, baik disengaja maupun
tidak. Misalnya, ada keluarga dari pemilih meninggal, ketiduran, atau secara
teknis keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
Ketujuh, masyarakat tidak datang ke TPS akibat kelalaian dan kekeliruan aparat
KPU di tingkat bawah, seperti masyarakat yang mempunyai hak pilih tidak masuk
daftar pemilih tetap (DPT) atau tidak mendapat surat undangan untuk memilih
(C6). Dalam regulasinya, sepanjang pemilih terdaftar dalam DPT tanpa C6, tetap
dapat memilih. Namun, sebagian pemilih cenderung enggan ke TPS tanpa mendapat
C6.
Kedelapan, terdapatnya data ganda dalam DPT sehingga ketika DPT direkapitulasi
secara total menambah jumlah pemilih yang tidak menyalurkan hak pilihnya.
Kesembilan, faktor eksternal berupa milio politik nasional di mana menjelang
hari pencoblosan langit-politik justru diwarnai kegaduhan politik, khususnya
terkait kasus perekaman pembicaraan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto
dengan Komisaris Freeport Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid yang
mencatut sejumlah pembesar negeri ini.
Tayangan live sejumlah televisi swasta saat sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) dengan berbagai bumbu konflik, intrik, tendensi, dan kepentingannya
menyedot perhatian masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi muak
dan alergi dengan perilaku politisi, termasuk politisi yang berkompetisi dalam
pilkada serentak.
Legitimasi dan kinerja
Partisipasi memang sangat penting dalam pemilu. Demikian urgen dan
signifikannya, teoritisi ilmu politik seperti Herbert McClosky, Norman H Nie,
Sidney Verba, Samuel Huntington, Joan M Nelson, Miriam Budiardjo, Ramlan
Surbakti, untuk menyebut beberapa nama menjelaskan makna penting partisipasi
politik bagi individu, kelompok, masyarakat, maupun negara.
Substansinya, keterlibatan di bidang politik dipandang positif untuk masyarakat
karena membuat demokrasi lebih berarti dan mengakibatkan pemerintahan lebih
tanggap—dan positif bagi perorangan karena mengembangkan kepribadian menjadi
manusia susila dan warga negara bertanggung jawab. Bahkan, pakar politik itu
sepakat dengan konstatasi, keberhasilan pemilu dipengaruhi tinggi-rendahnya
tingkat partisipasi warganya (voter turn out).
Dalam konteks global, hak pilih diakui secara universal merupakan salah satu
HAM yang harus dilindungi. Pasal 21 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) menyatakan, (a) Setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan
wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatan
yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; dan (3) kemauan
rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan
dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang
bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia
ataupun menurut cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Makin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam suatu pemilu akan berdampak
positif terhadap legitimasi kandidat atau calon terpilih. Tingkat partisipasi
dan legitimasi yang tinggi akan menjadi amunisi atau modal yang amat bermanfaat
bagi kandidat terpilih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala
daerah.
Sebaliknya, manakala tingkat partisipasi pemilihnya rendah dan apalagi suara
calon terpilih kalah dibandingkan yang tidak menyalurkan hak pilihnya (golput),
maka legitimasi calon terpilih menjadi rendah dan patut dipersoalkan.
Partisipasi dan legitimasi politik yang rendah tentu akan menyulitkan kepala
daerah menjalankan fungsi dan perannya.
Sesungguhnya, tingkat partisipasi pemilih tidak selalu identik atau berkorelasi
positif dengan kinerja kandidat kepala daerah. Sebab, bisa saja meski suatu
kandidat dipilih dengan partisipasi signifikan (kisaran 70-90 persen), kinerjanya
buruk. Sebaliknya, meskipun tingkat partisipasi pemilihnya hanya menembus 60
persen, kinerja bisa saja kinerjanya memuaskan masyarakat.
Jika terakhir yang direngkuh, dipastikan persepsi publik akan positif. Manakala
mencalonkan diri menjadi kepala daerah, besar kemungkinan terpilih kembali.
Kalaupun dalam realitas politik terdapat kepala daerah dan wakilnya yang
berkinerja buruk dan berperilaku koruptif dan maju kembali dalam pilkada, lalu
terpilih (kembali) menjadi kepala daerah untuk kedua kalinya, kemungkinan
diperoleh melalui pilkada yang tidak jurdil dan luber serta sarat politik uang.
Jika ini menjadi realitas politik, pastilah hanya terjadi dalam masyarakat yang
secara psiko-politik sedang sakit atau negara/daerah yang secara politik penuh
anomali. Bagaimana tidak dikatakan sakit atau anomali, kandidat yang terbukti
rekam jejaknya buruk, justru terpilih menjadi kepala daerah atau wakil.
Achmad Fachrudin
Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta
No comments:
Post a Comment