Sekalipun kerja keras sudah
dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya, pertumbuhan sektor
pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank Indonesia dalam
laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.
Pada 2014
pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02
persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di
seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y).
Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen,
triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34
menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju
pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.
Ekspor komoditas
pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari
3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau
penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak
hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6
miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS,
November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun
dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada
meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di
tahun 2016.
Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit
untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum,
jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat
dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau
meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi
peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi
844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober
2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari
466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar
21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai,
sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar
AS.
Tulisan "padepokan" di beranda rumah Romo Imam sudah tak ada
lagi. Kata Romo, sejak ada kasus di Padepokan Dimas Kanjeng, ia merasa
tak enak dengan kata "padepokan" itu. "Tadinya saya pikir diganti dengan
tulisan Rumah Budaya," kata Romo.
"Itu bagus. Apalagi ada perpustakaan dan sering orang
kumpul-kumpul di sini," kata saya. Tapi Romo menjawab: "Saya takut
dituduh pencitraan. Kata ini sudah mendapat label negatif. Padahal
setiap orang wajar ingin mengubah citranya menjadi lebih baik.
Pencitraan itu positif; berlomba untuk kebaikan itu mulia."
Saya katakan: "Jangan terpengaruh omongan para politikus, Romo.
Mereka selalu menuduh Presiden Jokowi melakukan pencitraan, bahkan
selama dua tahun menjabat pencitraan melulu. Penilaian itu pangkalnya
ada kekecewaan akut karena kalah dalam pemilihan presiden tempo hari.
Ada kejengkelan yang tak sembuh-sembuh. Apa pun yang dilakukan Jokowi
pasti disebut pencitraan."
Romo mengangguk. "Pencitraan atau tidak juga menyangkut budaya
dan kebiasaan hidup seseorang," katanya. "Selama ini seorang presiden
pasti mendapat pelayanan yang luar biasa. Gerimis sedikit ada yang
memayungi. Kacamatanya dibawa ajudan. Tak ada pula presiden yang
melangkah di jalan becek, apalagi naik tangga periksa bak air.
Berpakaian selalu rapi, bagaimana berjalan, berbicara, gerak tangannya
seperti apa, semuanya dikelola berdasarkan etika yang ada bukunya. Ibu
calon Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno punya kursus untuk pencitraan
itu."
Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak,
perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini,
suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak
menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu.
Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa
waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja
memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam
suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun
melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari
5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus
lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3
persen menjadi 5,1 persen.
Kita masih beruntung karena hanya
mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti negara maju. Bahkan,
lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch), beberapa hari lalu
telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari stabil menjadi
positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai turun,
baik di pasar sekunder maupun primer.
Menjelang Natal 1951, di Kota Dijon, Prancis, para pastor memutuskan
menggantung patung Père Noël, alias Sinterklas, alias Santa Klaus, di
halaman Katedral. Kemudian jenggotnya dibakar. Kemudian seluruh
tubuhnya dimakan api.
Sebanyak 250 anak diundang buat menyaksikan upacara itu. Gereja
menjelaskan alasannya dalam sebuah siaran pers, mengisyaratkan bahwa
Sinterklas adalah dusta dan "dusta tak mampu membangunkan rasa keagamaan
pada diri anak".
Kata para padri Dijon pula: "Bagi kita yang Kristiani, hari raya Natal harus tetap merupakan hari lahir Juru Selamat kita."
Di Indonesia, sebagian orang Islam dengan konyol masih percaya,
Sinterklas dan topinya yang berbentuk kantong merah-putih itu penanda
"Kristen". Mereka tak menelaah sejarah: di negeri Nasrani sendiri bahkan
seluruh perayaan Natal pernah diharamkan, dan acara Sinterklas—dengan
keramaiannya yang tak religius dan perdagangannya—dikecam. Tak amat
mengherankan jika para pastor di Dijon ingin meniadakan tokoh ganjil
yang disebut "Bapa Kermis" itu dari fantasi anak-anak.
Pada mulanya para anti-Santa bukan penganut Katolik. Pada
mulanya—sebelum Sinterklas jadi tokoh sentral di Hari Natal—yang
kuat adalah anti-Natal.
Di Skotlandia, hari Natal telah dihapuskan pada 1560-an oleh
penguasa Protestan. Pada Januari 1645, di London, parlemen mengumumkan Directory for the Public Worship of God,
arahan bagi orang yang akan beribadah di tempat umum. Parlemen, yang
dikuasai kaum Puritan yang anti-gereja dan memusuhi segala ornamen dan
kemeriahan ala Katolik, menganggap Natal tak perlu dirayakan, apalagi
dengan disertai wanton Bacchanalian feast, "pesta binal mabuk-mabukan".
Fenomena membunyikan klakson yang kemudian dikenal dengan irama
telolet sudah ada sejak setahun lalu. Bahkan lebih. Sekelompok anak-anak
di jalur Pantai Utara Jawa iseng merekam suara klakson bus antarkota
dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian dikirim ke teman-temannya,
lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu klakson. Adapun
sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi klakson
agar tambah seru.
Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara keisengan dan
kecanggihan teknologi handphone, plus sambutan bersahabat para sopir.
Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung siap
berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om Telolet
Om". Aksara di poster itu lalu menjadi trending topic dunia. Berbagai
variasi musik dengan inspirasi telolet lahir. Ini kesuksesan besar
bangsa Indonesia yang berhasil mengekspor produk keisengannya yang
bernama Om Telolet Om.
Kenapa penemuan unik ini baru meledak sekarang? Mungkin kita lagi
bosan dengan kejenuhan politik yang tiap hari mengobarkan permusuhan di
media sosial. Kita bosan dengan ujaran kebencian dan rekayasa informasi
yang seenaknya merendahkan orang lain yang kita posisikan sebagai
lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus agama. Adapun
pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita bergaul dalam
kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu, ada orang
yang jeli menjual telolet ke media sosial. Kesederhanaan anak-anak
tanggung di jalur Pantura dalam mencari kegirangan dengan biaya murah
diunggah ke media sosial dengan penyedap berbagai rasa. Om Telolet Om.
Shelly Adelina Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia
Pujian
rutin akan peran domestik ibu "bertebaran" setiap 22 Desember. Apakah
cara memaknai peringatan Hari Ibu masih sejalan dengan peristiwa yang
terjadi pada 22 Desember 1928?
Tentu saja
tidaklah salah menghargai ibu yang telah berjasa melaksanakan perannya
di ranah domestik. Tapi tidak tepat jika peringatan 22 Desember menjadi
terlepas jauh dari konteks sosio-historisnya. Generasi muda kini dengan
mudah saja mengucapkan selamat Hari Ibu semirip-miripnya dengan mother's
day di negara-negara Barat. Telah banyak tulisan yang menggugat hal
itu, tapi situasi tidak berubah. Mari kita mengulik sejarah peristiwa 22
Desember 1928 agar lebih paham cikal-bakal gerakan perempuan Indonesia.
Gedung
Mandala Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, menjadi
saksi bisu saat para pejuang perempuan Indonesia berkumpul. Mereka
berasal dari 30 organisasi perempuan di 12 kota di Jawa dan Sumatera.
Hari itu mereka bersama-sama berada di ruang publik, keluar dari ruang
domestik mereka, untuk melangsungkan "aksi politis". Di antara mereka
yang hadir, tidak melulu perempuan ibu rumah tangga, tapi ada juga
perempuan lajang. Mereka menggelar kongres nasional untuk pertama
kalinya.
Kepedulian dan kegelisahan yang sama
di dalam dada para perempuan Indonesia kala itu menyebabkan mereka
memutuskan untuk berkongres. Mereka menyadari kemerdekaan akan sulit
diraih jika para perempuan tidak ikut serta berjuang dan nasib perempuan
terpuruk. Kesadaran kritis tentang hak dan kewajiban serta pentingnya
partisipasi mereka secara substansial di ranah publik telah tumbuh.
Di
Indonesia, transparansi masih menjadi barang langka. Baru saja Komisi
Informasi Pusat (KIP) memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia.
Pada akhir Oktober lalu, KIP memutuskan data peta tutupan lahan hutan
dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak pengusahaan hutan, hutan
tanaman industri, serta pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan
dalam format shapefile terbuka untuk publik. Sebagai tergugat,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan data
tersebut.
Namun KLHK me-ngatakan pemerintah
tidak menerima keputusan KIP karena Undang-Undang Informasi Geospasial
mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum diumumkan dan
shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature.
Kementerian berencana mengajukan banding, meski majelis KIP sudah
menolak dalil ini karena informasi tersebut sudah disahkan saat
diumumkan dalam format lain. Permohonan banding KLHK ini bertolak
belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita, yang dibacakan
saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden, menegaskan bahwa
pemerintahannya berniat membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
demokratis, dan dapat dipercaya.
Apalagi,
Indonesia merupakan satu dari delapan negara pendiri The Open Government
Partnership pada 2011, bahkan sempat memimpin gerakan ini pada 2013.
Fondasi peme-rintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Khoirunnisa Nur Agustyati Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Panitia
Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah
dibentuk dan siap bekerja. Berdasarkan jadwal yang disusun Pansus,
pembahasan akan diakhiri pada 28 April 2017. Artinya, DPR dan pemerintah
hanya memiliki waktu kurang dari lima bulan untuk membahas RUU
Penyelenggaraan Pemilu.
Berkaca dari
pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang untuk
menyelenggarakan pemilu 2009 disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 2008.
Dengan demikian, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, hanya
memiliki waktu kurang dari 12 bulan untuk menyelenggarakan pemilu 2009.
Adapun
untuk Pemilu 2014, undang-undang penyelenggaraan pemilu telah disahkan
pada 2012. Artinya, KPU dan Bawaslu yang dilantik pada 2012 memiliki
cukup waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2014. Meski masih ada kekurangan,
secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu 2014 berjalan dengan baik.
Jika
mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013,
penyelenggaraan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, baik pemilu
legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil
presiden. Dengan demikian, penyelenggara pemilu akan menghadapi tahapan
yang lebih kompleks dibanding sebelumnya. Untuk itulah, dibutuhkan
undang-undang pemilu yang sudah matang dan disahkan paling lambat
pertengahan 2017 agar penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk
menyelenggarakan Pemilu 2019.
Tahun
2017, masyarakat ingin ada pembuktian bahwa pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya.
Pemerintah dituntut tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi,
tapi juga menata polanya, sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran
bisa berkurang.
Permasalahannya, upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan akan mendapat tantangan. Dari
sisi eksternal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika
Serikat ke-45 yang pro-proteksionisme akan semakin meningkatkan
ketidakpastian dan memperlambat laju perdagangan global.
Karena
itu, sisi ekspor tetap akan menjadi titik lemah dari kinerja
perekonomian Indonesia. Target ekspor non-migas 2017 sebesar 10,4 persen
terkesan ambisius. Sebab, selain AS, beberapa negara tujuan ekspor,
seperti Uni Eropa, Jepang, dan Cina, masih berkutat dengan persoalan
internal. Pertumbuhan ekonomi Cina menurun, bahkan terendah dalam 25
tahun terakhir. Demikian halnya, pasca-Brexit, beberapa negara Uni Eropa
seperti Prancis menghadapi isu anti-globalisasi dan mendukung
pembatasan tenaga kerja migran.
Namun Indonesia
bisa bermanuver untuk keluar dari problema global. Simulasi yang
dilakukan Pusat Peneliti Ekonomi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2E-LIPI) memperlihatkan, jika Indonesia mampu mengoptimalkan modal
yang dimilikinya, pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,5 persen.
Kalender hanyalah pagar yang
kita tancapkan pada sang waktu. Sabtu, 31 Desember, adalah hari terakhir
di tahun 2016 dan akan kita masuki fajar baru 2017. Jika harian ini
menyebut tahun 2015 sebagai annus horribilis yang berhasil
dilalui, 2016 menjadi tahun penuh ujian. Ujian terhadap demokrasi, ujian
terhadap konstitusi, dan ujian terhadap eksistensi negara hukum.
Dunia
memasuki tahun ketidakpastian. Dunia menantikan formasi kabinet
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Apakah sosok kabinet Trump akan
mengubah AS beralih menuju proteksionisme atau tetap mendukung
globalisme. Kebangkitan terorisme global menambah ketidakpastian baru
dunia. Kejahatan terhadap negara dan kemanusiaan terjadi di berbagai
belahan dunia. Aksi teror terjadi di sejumlah tempat. Terakhir, Duta
Besar Rusia untuk Turki ditembak mati oleh polisi Turki. Dunia masih
direpotkan dengan sepak terjang Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Tahun
2016 ditandai dengan penuh amarah. Amarah terhadap globalisasi, amarah
terhadap demokrasi, amarah terhadap kemapanan, amarah terhadap
keteraturan informasi. Melalui jalan demokrasi, mayoritas rakyat Inggris
memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Melalui jalur demokrasi,
mayoritas rakyat AS memilih Donald Trump sebagai presiden. Sebuah
tindakan politik yang kadang sama sekali tak terduga. Atas nama
demokrasi dan kebebasan berekspresi, demokratisasi media pun menemui
bentuknya yang nyata.
Mental primordial budaya
Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa
menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati
dirinya.
Pada
1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore
berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India
yang tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara
keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan
kesan mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau
dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang
terpancar darinya.
Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana
dan Mahabharata, Tagore menyatakan, "Orang Jawa lebih pandai mewujudkan
cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri." Lantas ia
simpulkan, "Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak
tahu di mana sisi India yang sesungguhnya" (Das Gupta, 2002). Arkeolog
Belanda ternama, FDK Bosch (1946), melukiskan genius Nusantara sebagai
kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan budaya
lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung
kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Lebih
lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui
kedatangan para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh
koloni-koloni dagang India. Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian
bahasa Sanskerta; bahasa suci dan ilmiah, yang orang-orang awam India
sendiri belum tentu menguasainya. Alhasil, proses indianisasi itu
ditransmisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam domain
keagamaan, dengan inisiatif para klerikus Nusantara menyerap cerlang
budaya-spiritualitas dari India.
Istilah demokrasi sebenarnya tidak termaktub dalam UUD 1945. Para pendiri bangsa ini memperkenalkan istilah "kedaulatan rakyat" pada Pembukaan UUD 1945 serta sila keempat Pancasila yang menggambarkan prinsip demokrasi Indonesia.
Sebuah bentuk demokrasi yang berdasar "permusyawaratan/perwakilan", yang lebih mengedepankan konsensus. Demokrasi yang lebih mengedepankan budaya gotong royong meskipun tidak menutup "voting".
Dengan segala kelemahan yang masih ada, Indonesia diperkenalkan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Ada kesan, penilaian seperti ini hanya dari aspek jumlah penduduk. Karena itu, perjalanan Indonesia dalam menuju sistem demokrasinya mungkin masih perlu kita renungkan bersama. Sudahkah demokrasi yang kita implementasikan merupakan proses politik yang kondusif dalam mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan, sesuai prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945?
Sistem ketatanegaraan
Perkembangan sistem demokrasi di dunia ternyata banyak bergantung pada perkembangan sejarah setiap negara. Demokrasi dengan sistem parlementer, yang berkembang di Inggris sejak abad XII, merupakan respons terhadap sistem monarki di negara itu, yang menginginkan dikuranginya sistem monarki absolut. Adapun demokrasi sistem presidensial berkembang di AS sejak negara itu terbebas dari kolonialisme Inggris pada akhir abad XVII.
Perjalanan demokrasi di Indonesia ternyata cukup menarik. Pernah menerapkan sistem parlementer di awal 1950-an, "demokrasi terpimpin"-di era Bung Karno-menjelang tahun 1960, dan pernah pula menerapkan demokrasi Pancasila pasca Dekrit Presiden 1959 dengan berbagai versi sampai tahun 1998.
Kini, demokrasi Indonesia berusaha memperkuat sistem presidensial dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat, berdasar popular vote. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia bukan negara federal.
Di era demokrasi sistem parlementer, kabinet (pemerintahan) tidak pernah stabil. Kabinet hanya berumur bulanan, telah dijatuhkan parlemen. Pasca Pemilu 1955 yang dianggap sangat demokratis itu pun, Kabinet Ali, Roem, Idham (koalisi PNI, Masyumi, dan NU) sebagai tiga partai pemenang pemilu juga hanya berumur beberapa bulan. Sementara Konstituante, yang bertugas merumuskan dasar negara, sampai tahun 1959 tidak berhasil menyepakati dasar negara.
Ditambah persoalan bangsa lainnya, antara lain pemberontakan PRRI/Permesta, Bung Karno-dengan dukungan Angkatan Darat-mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dengan kembali ke UUD 1945, kita kembali ke "sistem sendiri", yang dikenal sebagai sistem MPR, mengingat MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mengangkat presiden- wakil presiden. Presiden-wakil presiden merupakan mandataris MPR, yang berkewajiban melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan bertanggung jawab kepada MPR, yang terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Golongan sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Memasuki era reformasi, timbul semangat demokratisasi, antara lain, dengan memperkuat sistem presidensial. Presiden kemudian ditetapkan berdasar pemilihan langsung. Hal ini (mungkin) mencermati pengalaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, yang ternyata mudah dimakzulkan.
Meski demikian, untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan-baik perorangan maupun kelembagaan-diciptakan mekanisme checks and balancesantar-lembaga negara. Karena itu, juga disepakati terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY ), Ombudsman RI, dan lain-lain.
Lembaga legislatif juga ditambah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semacam Senat di AS. Meskipun tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, hanya MPR yang memiliki fungsi mengubah UUD 1945. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat.
Apa yang kemudian terjadi?
Banyak berita yang negatif di sekitar implementasi demokrasi di Indonesia. Dari sekadar politik uang sampai penilaian sebagai "democrazy", demokrasi yang kebablasan. UU tentang Pemilu berubah tiap lima tahun sekali. Tidakkah ini mengesankan demokrasi kita sedang berusaha mencari bentuknya yang mantap?
Harapan
Kini, di DPR sedang dibahas RUU tentang Pemilu yang baru untuk pemilu yang akan dilaksanakan serentak pada 2019. Dapatkah kita berharap UU Pemilu yang baru nanti bisa berumur panjang, tidak hanya untuk sekali pemilihan umum, agar pemilu sebagai bagian proses terpenting demokrasi semakin mantap?
Dengan variasi pendapat yang masih berkembang di masyarakat, mungkin tidak mudah untuk merumuskan UU Pemilu yang bisa berlaku lama, apalagi berlaku tetap sepanjang masa. Padahal, kalau kita bisa merumuskan UU Pemilu yang berlaku lama, niscaya energi kita tidak habis membahas RUU Pemilu setiap lima tahun sekali.
Apa yang perlu dipertimbangkan? Pertama adalah peran partai politik. Parpol, betapapun kondisinya, adalah perangkat demokrasi yang penting. Selayaknya kita bisa memberikan peran kepada parpol secara maksimal. Parpol adalah sumber kader kepemimpinan politik nasional. Selayaknya, parpol diberi kepercayaan penuh untuk mengajukan kader terbaiknya dalam daftar calon pada pemilu. Apabila ini dapat disepakati, pencalonan dalam pemilu idealnya berdasar sistem tertutup, sesuai urutan calon yang diajukan oleh parpol.
Tetapi, di pihak lain, masyarakat juga berhak memilih secara bebas calon yang dikehendakinya. Di sinilah tumbuh gagasan sistem pemilu dengan daftar calon terbuka. Dampaknya, calon yang diunggulkan partai, yang tercantum di nomor satu/di atas daftar calon, bisa tidak terpilih. Kompetisi tidak hanya antar-partai, tetapi juga antar-calon separtai. Peran partai setidaknya melemah, di samping menimbulkan kompetisi internal yang bisa tidak sehat.
Adakah sistem pemilu yang mampu mengombinasikan peran/kepentingan partai dan kepentingan masyarakat sebagai pemilih yang bebas? Memenuhi peran partai, sistem pemilu seperti itu hanya mungkin terlaksana dalam sistem pemilu dengan daftar calon tertutup, di mana calon terpilih sesuai dengan urutan daftar calon yang diajukan partai politik.
Bagaimana peran pemilih? Hanya dimungkinkan jika pemilih mengetahui siapa yang pantas dipilih. Kombinasi memenuhi keinginan keduanya, antara kepentingan partai dan pemilih, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan UU Pemilu yang baru.
Pertanyaannya, mungkinkah kepentingan partai dan pemilih disatukan? Semestinya harus bisa. Sebab, salah satu tugas partai adalah menampung aspirasi rakyat, di samping mengajukan kader terbaiknya. Penyelenggaraan pemilihan umum seperti itu juga akan lebih sederhana, berbiaya rendah, mengurangi "politik uang" , dan lebih jujur dan adil.
UU Pemilihan Umum seperti itu mungkin akan mampu berumur panjang dan tidak berubah setiap lima tahun sekali. Selain itu juga semakin mendekati sistem pemilu yang sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan.
SULASTOMO
Anggota Lembaga Pengkajian MPR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Mimpi Demokrasi Indonesia".
Dapatkah demokrasi diukur? Ya, itu bisa. Setiap tahun sejak tahun 2009, Indeks Demokrasi Indonesia mengukur demokrasi di negeri ini. IDI telah menjadi kisah sukses kontribusi terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
IDI adalah produk nasional yang menyediakan informasi berharga tentang keadaan demokrasi di Indonesia. Indeks ini diciptakan oleh para pemangku kepentingan nasional dan dipimpin oleh sekelompok ahli dalam panel independen. Ini tanda kematangan demokrasi di mana pemerintah dan masyarakat bersedia untuk secara terbuka mengevaluasi diri dan mengukur kinerja lembaga dan sistem. Demokrasi—bahkan di negara-negara dengan demokrasi tertua— tidak pernah bisa ditelantarkan seolah bisa berjalan sendiri.
Demokrasi berkembang dengan kekuatan dan kelemahan. Terdapat berbagai pencapaian dan kadang mengalami kemunduran. Demokrasi perlu selalu dilindungi, dipertahankan dan ditingkatkan untuk kepentingan rakyat dan stabilitas negara.
IDI dapat menjadi alat yang paling berharga untuk mencapai hal ini. IDI mencakup 28 indikator yang berhubungan dengan tiga dimensi penting demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Indeks ini juga menawarkan data terpilah di tingkat provinsi untuk analisis yang lebih mendalam.
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Nurul Imam*
Calon gubernur pejawat Basuki Tjahaja Purnama atau akrap disapa Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Cagub DKI Jakarta nomor urut dua ini, selain ditetapkan sebagai tersangka juga dicegah bepergian ke luar negeri lantaran kasus dugaan penistaan agama terkait surah al-Maidah ayat 51.
Pernyataan Ahok yang dilakukan pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut, dinilai melanggar Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 Ayat (1) UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski demikian, Ahok tidak serta merta digugurkan sebagai kontestan dalam Pilkada sebagaimana aturan yang berlaku.
Sosok kontroversial Ahok menjadi sorotan publik bukan hanya karena tutur katanya yang kerap kasar dan arogan, melainkan juga lantaran kebijakannya seringkali bertentangan dengan aspirasi publik, seperti kebijakan proyek reklamasi dan penggusuran perkampungan warga. Apalagi pasca-pernyataannya di Kepulauan Seribu yang menyinggung sebagian besar umat Islam.
Aksi unjuk rasa 4 November lalu yang diikuti ratusan ribu peserta dari berbagai daerah di Indonesia, secara terang menuntut Ahok untuk segera diproses di meja hijau. Aksi unjuk rasa terbesar sejak Orde Baru tumbang ini didasari oleh dugaan bahwa Ahok dilindungi oleh Presiden Joko Widodo sehingga proses hukum dianggap berjalan lamban.
Dugaan tersebut muncul lantaran Ahok dipandang memiliki “kedekatan khusus” dengan mantan Walikota Solo tersebut, bahkan ada pihak yang menduga Presiden tersandera oleh Ahok sehingga harus melindungi kasus tersebut.
Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong selalu hidup rukun. Meskipun sering berselisih paham dan saling mengkritik serta mengejek, mereka tetap solid dan kompak.
Gareng, Petruk, dan Bagong tak pernah bersekongkol untuk makar dan menggulingkan kepemimpinan Semar agar mereka bisa lebih dekat dan masuk lingkaran kekuasaan Arjuna, bos mereka. Bagi mereka, menghormati pemimpin secara kritis merupakan etika yang mesti disunggi tinggi, termasuk menghormati Semar, sang pemimpin kultural dan spiritual. Semar adalah pengejawatahandewa, yang diturunkan di bumi untuk menuntun ksatria Pandawa.
Selain itu, Gareng, Petruk dan Bagong sangat meyakini bahwa keselarasan mampu menciptakan kerukunan. Prinsip mereka: rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (kerukunan menciptakan kekuatan dan permusuhan menimbulkan kehancuran). Gambaran itu bisa didapatkan dalam lukisan kaca pelukis tradisional, seperti Citrowaluyo dan Sastrogambar, antara lain bertajuk ”Rukun Agawe Santosa”.
Ketika Komisi Pemilihan Umum menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum menilai legitimasi suatu proses penyelenggaraan pemilu dari dua segi. Pertama, apakah hasil pemilu bebas dari manipulasi. Kedua, apakah pelanggaran hukum pemilu ditegakkan secara adil.
Karena itu, efektivitas penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu merupakan dimensi yang sangat penting untuk keabsahan suatu pemilu.
Tiga ketentuan yang harus ditegakkan dalam proses penyelenggaraan pemilu adalah ketentuan administrasi pemilu (KAP), ketentuan pidana pemilu (KPP), dan kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). Penegakan KEPP selama ini lebih efektif daripada penegakan KAP dan KPP. Namun, penegakan KEPP bukan tanpa masalah karena dalam sejumlah kasus DKPP bertindak melebihi kewenangannya.
Penegakan KAP relatif lebih efektif daripada penegakan KPP, tetapi penegakan KAP juga mengalami banyak masalah. Apa saja yang menjadi KPP, jauh lebih jelas terinci daripada apa saja yang menjadi KAP, tetapi penegakan KPP merupakan yang paling tidak efektif. Penyelesaian sengketa hasil pemilu jauh lebih efektif daripada proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu, baik dari segi waktu maupun dari segi putusan. Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu sering kali melewati jadwal tahapan pemilu. Walaupun demikian, proses penyelesaian sengketa hasil pemilu bukan tanpa masalah. Itulah hasil evaluasi secara umum tentang sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu pada beberapa pemilu terakhir.
Menyongsong perhelatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017, suasana politik menegang dan memanas.
Kebebasan bermanuver dan konflik politik pada paruh akhir tahun 2016 bertambah riuh gemanya, lebih-lebih dalam ruang media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, atau WhatsApp. Sebagian kalangan, baik akademisi maupun politisi, pun bertanya-bertanya tentang kualitas atau implementasi nilai-nilai demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia pada hari ini.
Pesimisme terhadap masa depan demokrasi pun tak ayal akhirnya bermunculan. Bahkan, skenario konflik terburuk seolah sudah terbayang di depan mata. Betulkah demokrasi di Indonesia sedang mengalami krisis?
Benarkah aksi-aksi politik yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi ancaman bagi demokrasi? Masih bisakah kita optimis untuk terwujudnya masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia?
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diakui sebagai salah satu yang paling kompleks di dunia. Perekayasaan sistem pemilu (election system engineering) lewat beragam varian perangkat teknis pemilu, seperti besaran daerah pemilihan (district magnitude), ambang batas (threshold), daftar calon, dan cara konversi suara menjadi kursi, telah secara signifikan dicobakan setidaknya sejak Pemilu 1999.
Namun, impian untuk mendapatkan sistem pemerintahan presidensial yang kuat ataupun sistem multipartai yang terbatas belum sepenuhnya terwujud.
Parameter indeks sistem kepartaian (effective number of parliamentary parties) yang meningkat dari 4,72 pada Pemilu 1999, menjadi 7,07 pada Pemilu 2004, dan 8,16 pada Pemilu 2014 memperlihatkan bahwa penciutan daerah pemilihan dan peningkatan ambang batas terbukti tidak mampu menghasilkan konsentrasi partai politik yang efektif.
Kompleksitas sistem terbukti telah menyulitkan peramalan dan/atau pengukuran efek dari perangkat teknis pemilu yang diterapkan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa, terutama di negara demokratis yang belum mapan, sebuah sistem pemilu merupakan akumulasi kompromi dari beragam kelompok-kepentingan.