Friday, December 30, 2016

Catatan Akhir Tahun Pertanian

Dwi Andreas Santosa

Sekalipun kerja keras sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya, pertumbuhan sektor pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank Indonesia dalam laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.
Pada 2014 pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02 persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y). Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen, triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34 menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.
Ekspor komoditas pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari 3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6 miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS, November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di tahun 2016.
Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum, jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi 844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober 2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari 466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar 21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai, sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar AS.
Harga pangan dan kesejahteraan petani

Pencitraan

KORAN TEMPO, Sabtu, 22 Oktober 2016 | 00:12 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema
Tulisan "padepokan" di beranda rumah Romo Imam sudah tak ada lagi. Kata Romo, sejak ada kasus di Padepokan Dimas Kanjeng, ia merasa tak enak dengan kata "padepokan" itu. "Tadinya saya pikir diganti dengan tulisan Rumah Budaya," kata Romo.
"Itu bagus. Apalagi ada perpustakaan dan sering orang kumpul-kumpul di sini," kata saya. Tapi Romo menjawab: "Saya takut dituduh pencitraan. Kata ini sudah mendapat label negatif. Padahal setiap orang wajar ingin mengubah citranya menjadi lebih baik. Pencitraan itu positif; berlomba untuk kebaikan itu mulia."
Saya katakan: "Jangan terpengaruh omongan para politikus, Romo. Mereka selalu menuduh Presiden Jokowi melakukan pencitraan, bahkan selama dua tahun menjabat pencitraan melulu. Penilaian itu pangkalnya ada kekecewaan akut karena kalah dalam pemilihan presiden tempo hari. Ada kejengkelan yang tak sembuh-sembuh. Apa pun yang dilakukan Jokowi pasti disebut pencitraan."
Romo mengangguk. "Pencitraan atau tidak juga menyangkut budaya dan kebiasaan hidup seseorang," katanya. "Selama ini seorang presiden pasti mendapat pelayanan yang luar biasa. Gerimis sedikit ada yang memayungi. Kacamatanya dibawa ajudan. Tak ada pula presiden yang melangkah di jalan becek, apalagi naik tangga periksa bak air. Berpakaian selalu rapi, bagaimana berjalan, berbicara, gerak tangannya seperti apa, semuanya dikelola berdasarkan etika yang ada bukunya. Ibu calon Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno punya kursus untuk pencitraan itu."

Mendorong Efisiensi Ekonomi

Mendorong Efisiensi Ekonomi

Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak, perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini, suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen.
Kita masih beruntung karena hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti negara maju. Bahkan, lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch), beberapa hari lalu telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari stabil menjadi positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai turun, baik di pasar sekunder maupun primer.

Anti-Santa

Anti-Santa

MAJALAH TEMPO, CAPING Senin, 26 Desember 2016 
 
Menjelang Natal 1951, di Kota Dijon, Prancis, para pastor memutuskan menggantung patung Père Noël, alias Sinterklas, alias Santa Klaus, di halaman Katedral. Kemudian jenggotnya dibakar. Kemudian seluruh tubuhnya dimakan api.
Sebanyak 250 anak diundang buat menyaksikan upacara itu. Gereja menjelaskan alasannya dalam sebuah siaran pers, mengisyaratkan bahwa Sinterklas adalah dusta dan "dusta tak mampu membangunkan rasa keagamaan pada diri anak".
Kata para padri Dijon pula: "Bagi kita yang Kristiani, hari raya Natal harus tetap merupakan hari lahir Juru Selamat kita."
Di Indonesia, sebagian orang Islam dengan konyol masih percaya, Sinterklas dan topinya yang berbentuk kantong merah-putih itu penanda "Kristen". Mereka tak menelaah sejarah: di negeri Nasrani sendiri bahkan seluruh perayaan Natal pernah diharamkan, dan acara Sinterklas—dengan keramaiannya yang tak religius dan perdagangannya—dikecam. Tak amat mengherankan jika para pastor di Dijon ingin meniadakan tokoh ganjil yang disebut "Bapa Kermis" itu dari fantasi anak-anak.
Pada mulanya para anti-Santa bukan penganut Katolik. Pada mulanya—sebelum Sinterklas jadi tokoh sentral di Hari Natal—yang kuat adalah anti-Natal.
Di Skotlandia, hari Natal telah dihapuskan pada 1560-an oleh penguasa Protestan. Pada Januari 1645, di London, parlemen mengumumkan Directory for the Public Worship of God, arahan bagi orang yang akan beribadah di tempat umum. Parlemen, yang dikuasai kaum Puritan yang anti-gereja dan memusuhi segala ornamen dan kemeriahan ala Katolik, menganggap Natal tak perlu dirayakan, apalagi dengan disertai wanton Bacchanalian feast, "pesta binal mabuk-mabukan".

Telolet

KORAN TEMPO, Jum'at, 23 Desember 2016 | 23:37 WIB

Fenomena membunyikan klakson yang kemudian dikenal dengan irama telolet sudah ada sejak setahun lalu. Bahkan lebih. Sekelompok anak-anak di jalur Pantai Utara Jawa iseng merekam suara klakson bus antarkota dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian dikirim ke teman-temannya, lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu klakson. Adapun sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi klakson agar tambah seru.

Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara keisengan dan kecanggihan teknologi handphone, plus sambutan bersahabat para sopir. Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung siap berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om Telolet Om". Aksara di poster itu lalu menjadi trending topic dunia. Berbagai variasi musik dengan inspirasi telolet lahir. Ini kesuksesan besar bangsa Indonesia yang berhasil mengekspor produk keisengannya yang bernama Om Telolet Om.

Kenapa penemuan unik ini baru meledak sekarang? Mungkin kita lagi bosan dengan kejenuhan politik yang tiap hari mengobarkan permusuhan di media sosial. Kita bosan dengan ujaran kebencian dan rekayasa informasi yang seenaknya merendahkan orang lain yang kita posisikan sebagai lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus agama. Adapun pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita bergaul dalam kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu, ada orang yang jeli menjual telolet ke media sosial. Kesederhanaan anak-anak tanggung di jalur Pantura dalam mencari kegirangan dengan biaya murah diunggah ke media sosial dengan penyedap berbagai rasa. Om Telolet Om.

Perempuan Bergerak

KORAN TEMPO, Kamis, 22 Desember 2016 | 00:56 WIB

Shelly Adelina
Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia

Pujian rutin akan peran domestik ibu "bertebaran" setiap 22 Desember. Apakah cara memaknai peringatan Hari Ibu masih sejalan dengan peristiwa yang terjadi pada 22 Desember 1928?

Tentu saja tidaklah salah menghargai ibu yang telah berjasa melaksanakan perannya di ranah domestik. Tapi tidak tepat jika peringatan 22 Desember menjadi terlepas jauh dari konteks sosio-historisnya. Generasi muda kini dengan mudah saja mengucapkan selamat Hari Ibu semirip-miripnya dengan mother's day di negara-negara Barat. Telah banyak tulisan yang menggugat hal itu, tapi situasi tidak berubah. Mari kita mengulik sejarah peristiwa 22 Desember 1928 agar lebih paham cikal-bakal gerakan perempuan Indonesia.

Gedung Mandala Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, menjadi saksi bisu saat para pejuang perempuan Indonesia berkumpul. Mereka berasal dari 30 organisasi perempuan di 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hari itu mereka bersama-sama berada di ruang publik, keluar dari ruang domestik mereka, untuk melangsungkan "aksi politis". Di antara mereka yang hadir, tidak melulu perempuan ibu rumah tangga, tapi ada juga perempuan lajang. Mereka menggelar kongres nasional untuk pertama kalinya.

Kepedulian dan kegelisahan yang sama di dalam dada para perempuan Indonesia kala itu menyebabkan mereka memutuskan untuk berkongres. Mereka menyadari kemerdekaan akan sulit diraih jika para perempuan tidak ikut serta berjuang dan nasib perempuan terpuruk. Kesadaran kritis tentang hak dan kewajiban serta pentingnya partisipasi mereka secara substansial di ranah publik telah tumbuh.

Keterbukaan Peta Hutan


KORAN TEMPO Rabu, 14 Desember 2016 | 00:50 WIB
LEONARD SIMANJUNTAK
Kepala Greenpeace Indonesia

Di Indonesia, transparansi masih menjadi barang langka. Baru saja Komisi Informasi Pusat (KIP) memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pada akhir Oktober lalu, KIP memutuskan data peta tutupan lahan hutan dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, serta pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam format shapefile terbuka untuk publik. Sebagai tergugat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan data tersebut.

Namun KLHK me-ngatakan pemerintah tidak menerima keputusan KIP karena Undang-Undang Informasi Geospasial mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum diumumkan dan shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature. Kementerian berencana mengajukan banding, meski majelis KIP sudah menolak dalil ini karena informasi tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam format lain. Permohonan banding KLHK ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita, yang dibacakan saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden, menegaskan bahwa pemerintahannya berniat membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat dipercaya.

Apalagi, Indonesia merupakan satu dari delapan negara pendiri The Open Government Partnership pada 2011, bahkan sempat memimpin gerakan ini pada 2013. Fondasi peme-rintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Masalah RUU Penyelenggaraan Pemilu

 KORAN TEMPO Selasa, 27 Desember 2016 

Khoirunnisa Nur Agustyati
Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah dibentuk dan siap bekerja. Berdasarkan jadwal yang disusun Pansus, pembahasan akan diakhiri pada 28 April 2017. Artinya, DPR dan pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari lima bulan untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Berkaca dari pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu 2009 disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 2008. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, hanya memiliki waktu kurang dari 12 bulan untuk menyelenggarakan pemilu 2009.

Adapun untuk Pemilu 2014, undang-undang penyelenggaraan pemilu telah disahkan pada 2012. Artinya, KPU dan Bawaslu yang dilantik pada 2012 memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2014. Meski masih ada kekurangan, secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu 2014 berjalan dengan baik.

Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, penyelenggaraan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, baik pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, penyelenggara pemilu akan menghadapi tahapan yang lebih kompleks dibanding sebelumnya. Untuk itulah, dibutuhkan undang-undang pemilu yang sudah matang dan disahkan paling lambat pertengahan 2017 agar penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk menyelenggarakan Pemilu 2019.

Manuver Ekonomi di Tengah Ancaman Global


KORAN TEMPO, Kamis, 29 Desember 2016 | 01:11 WIB
Latif Adam
Ekonom LIPI

Tahun 2017, masyarakat ingin ada pembuktian bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Pemerintah dituntut tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga menata polanya, sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran bisa berkurang.

Permasalahannya, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan akan mendapat tantangan. Dari sisi eksternal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 yang pro-proteksionisme akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan memperlambat laju perdagangan global.

Karena itu, sisi ekspor tetap akan menjadi titik lemah dari kinerja perekonomian Indonesia. Target ekspor non-migas 2017 sebesar 10,4 persen terkesan ambisius. Sebab, selain AS, beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Cina, masih berkutat dengan persoalan internal. Pertumbuhan ekonomi Cina menurun, bahkan terendah dalam 25 tahun terakhir. Demikian halnya, pasca-Brexit, beberapa negara Uni Eropa seperti Prancis menghadapi isu anti-globalisasi dan mendukung pembatasan tenaga kerja migran.

Namun Indonesia bisa bermanuver untuk keluar dari problema global. Simulasi yang dilakukan Pusat Peneliti Ekonomi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI) memperlihatkan, jika Indonesia mampu mengoptimalkan modal yang dimilikinya, pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,5 persen.

Demokrasi Indonesia dalam Ujian


Demokrasi Indonesia dalam Ujian

BUDIMAN TANUREDJO
Kalender hanyalah pagar yang kita tancapkan pada sang waktu. Sabtu, 31 Desember, adalah hari terakhir di tahun 2016 dan akan kita masuki fajar baru 2017. Jika harian ini menyebut tahun 2015 sebagai annus horribilis yang berhasil dilalui, 2016 menjadi tahun penuh ujian. Ujian terhadap demokrasi, ujian terhadap konstitusi, dan ujian terhadap eksistensi negara hukum.
Dunia memasuki tahun ketidakpastian. Dunia menantikan formasi kabinet Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Apakah sosok kabinet Trump akan mengubah AS beralih menuju proteksionisme atau tetap mendukung globalisme. Kebangkitan terorisme global menambah ketidakpastian baru dunia. Kejahatan terhadap negara dan kemanusiaan terjadi di berbagai belahan dunia. Aksi teror terjadi di sejumlah tempat. Terakhir, Duta Besar Rusia untuk Turki ditembak mati oleh polisi Turki. Dunia masih direpotkan dengan sepak terjang Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Tahun 2016 ditandai dengan penuh amarah. Amarah terhadap globalisasi, amarah terhadap demokrasi, amarah terhadap kemapanan, amarah terhadap keteraturan informasi. Melalui jalan demokrasi, mayoritas rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Melalui jalur demokrasi, mayoritas rakyat AS memilih Donald Trump sebagai presiden. Sebuah tindakan politik yang kadang sama sekali tak terduga. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, demokratisasi media pun menemui bentuknya yang nyata.

Serangan Jantung Budaya



Yudi Latif
Mental primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati dirinya.
Pada 1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar darinya.
Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, "Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri." Lantas ia simpulkan, "Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya" (Das Gupta, 2002). Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch (1946), melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Lebih lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui kedatangan para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh koloni-koloni dagang India. Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian bahasa Sanskerta; bahasa suci dan ilmiah, yang orang-orang awam India sendiri belum tentu menguasainya. Alhasil, proses indianisasi itu ditransmisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam domain keagamaan, dengan inisiatif para klerikus Nusantara menyerap cerlang budaya-spiritualitas dari India.

Thursday, December 29, 2016

Mimpi Demokrasi Indonesia

 SULASTOMO
Istilah demokrasi sebenarnya tidak termaktub dalam UUD 1945. Para pendiri bangsa ini memperkenalkan istilah "kedaulatan rakyat"  pada Pembukaan UUD 1945 serta sila keempat Pancasila yang menggambarkan prinsip demokrasi Indonesia.
Sebuah bentuk demokrasi yang berdasar "permusyawaratan/perwakilan", yang lebih mengedepankan konsensus. Demokrasi yang lebih mengedepankan  budaya gotong royong meskipun tidak menutup "voting".  
Dengan segala kelemahan yang masih ada, Indonesia diperkenalkan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Ada kesan, penilaian seperti ini hanya dari aspek jumlah penduduk. Karena itu, perjalanan Indonesia dalam menuju sistem demokrasinya mungkin masih perlu kita renungkan bersama. Sudahkah demokrasi yang kita implementasikan merupakan proses politik yang kondusif dalam mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan, sesuai prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945?    
Sistem ketatanegaraan
Perkembangan sistem demokrasi di dunia ternyata banyak bergantung pada perkembangan sejarah setiap negara. Demokrasi dengan sistem parlementer, yang berkembang di Inggris sejak abad XII, merupakan respons terhadap sistem monarki di negara itu, yang menginginkan dikuranginya sistem monarki absolut. Adapun demokrasi sistem presidensial  berkembang di AS sejak negara itu terbebas dari kolonialisme Inggris pada akhir abad XVII.  
Perjalanan demokrasi di Indonesia ternyata cukup menarik. Pernah menerapkan sistem parlementer di awal 1950-an, "demokrasi terpimpin"-di era Bung Karno-menjelang tahun 1960, dan pernah pula menerapkan demokrasi Pancasila pasca Dekrit Presiden 1959 dengan berbagai versi sampai tahun 1998.
Kini, demokrasi Indonesia berusaha memperkuat sistem presidensial dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat, berdasar popular vote.  Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia bukan negara federal.  
Di era demokrasi sistem parlementer, kabinet (pemerintahan) tidak pernah stabil. Kabinet hanya berumur bulanan, telah dijatuhkan parlemen. Pasca Pemilu 1955 yang dianggap sangat demokratis itu pun, Kabinet Ali, Roem, Idham (koalisi PNI, Masyumi, dan NU) sebagai tiga partai pemenang pemilu juga hanya berumur beberapa bulan. Sementara Konstituante, yang bertugas merumuskan dasar negara, sampai tahun 1959 tidak berhasil menyepakati dasar negara.
Ditambah persoalan bangsa lainnya, antara lain pemberontakan PRRI/Permesta, Bung Karno-dengan dukungan Angkatan Darat-mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dengan kembali ke UUD 1945, kita kembali ke "sistem sendiri",  yang dikenal sebagai sistem MPR, mengingat MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mengangkat presiden- wakil presiden. Presiden-wakil presiden merupakan mandataris MPR, yang berkewajiban melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan bertanggung jawab kepada MPR, yang terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Golongan sebagai  representasi seluruh rakyat Indonesia.   
Memasuki era reformasi, timbul semangat demokratisasi, antara lain, dengan memperkuat sistem presidensial. Presiden kemudian ditetapkan berdasar pemilihan langsung. Hal ini (mungkin) mencermati pengalaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, yang ternyata mudah dimakzulkan. 
Meski demikian, untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan-baik perorangan maupun kelembagaan-diciptakan mekanisme checks and balancesantar-lembaga negara. Karena itu, juga disepakati terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY ), Ombudsman RI, dan lain-lain. 
Lembaga legislatif juga ditambah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semacam Senat di AS. Meskipun tidak  lagi sebagai lembaga tertinggi negara, hanya MPR yang memiliki fungsi mengubah UUD 1945. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat.
Apa yang kemudian terjadi?
Banyak berita yang negatif di sekitar implementasi demokrasi di Indonesia. Dari sekadar politik uang sampai penilaian sebagai "democrazy", demokrasi yang kebablasan. UU tentang Pemilu berubah tiap lima tahun sekali. Tidakkah ini mengesankan demokrasi kita sedang berusaha mencari bentuknya yang mantap?
Harapan 
Kini, di DPR sedang dibahas RUU tentang Pemilu yang baru untuk pemilu yang akan dilaksanakan serentak pada 2019. Dapatkah kita berharap UU Pemilu yang baru nanti bisa berumur panjang, tidak hanya untuk sekali pemilihan umum, agar pemilu sebagai bagian proses terpenting demokrasi semakin mantap?
Dengan variasi pendapat yang masih berkembang di masyarakat, mungkin tidak mudah untuk merumuskan UU Pemilu yang bisa berlaku lama, apalagi berlaku tetap sepanjang masa. Padahal, kalau kita bisa merumuskan UU Pemilu yang berlaku lama, niscaya energi kita tidak habis membahas RUU Pemilu setiap lima tahun sekali.
Apa yang perlu dipertimbangkan? Pertama adalah peran partai politik. Parpol, betapapun kondisinya, adalah perangkat demokrasi yang penting. Selayaknya kita bisa memberikan peran kepada parpol secara maksimal. Parpol adalah sumber kader kepemimpinan politik nasional. Selayaknya, parpol diberi kepercayaan penuh untuk mengajukan kader terbaiknya dalam daftar calon pada pemilu. Apabila ini dapat disepakati, pencalonan dalam pemilu idealnya berdasar sistem tertutup, sesuai urutan calon yang diajukan oleh parpol.
Tetapi, di pihak lain, masyarakat juga berhak memilih secara bebas calon yang dikehendakinya.  Di sinilah tumbuh gagasan sistem pemilu dengan daftar calon terbuka. Dampaknya, calon yang diunggulkan partai, yang tercantum di nomor satu/di atas daftar calon, bisa  tidak terpilih. Kompetisi tidak hanya antar-partai, tetapi juga antar-calon separtai. Peran partai setidaknya melemah, di samping  menimbulkan kompetisi internal yang bisa  tidak sehat.
Adakah sistem pemilu yang mampu mengombinasikan peran/kepentingan partai dan kepentingan masyarakat sebagai  pemilih yang bebas? Memenuhi peran partai, sistem pemilu seperti itu hanya mungkin terlaksana dalam sistem pemilu dengan daftar calon tertutup, di mana calon terpilih sesuai dengan  urutan daftar calon  yang diajukan partai politik.  
Bagaimana peran pemilih? Hanya dimungkinkan jika pemilih mengetahui siapa yang pantas  dipilih.  Kombinasi memenuhi keinginan keduanya, antara kepentingan partai dan pemilih, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan UU Pemilu yang baru. 
Pertanyaannya, mungkinkah kepentingan partai dan pemilih disatukan? Semestinya harus bisa.  Sebab, salah satu tugas partai adalah menampung aspirasi rakyat, di samping mengajukan kader terbaiknya. Penyelenggaraan pemilihan umum seperti itu juga akan lebih sederhana, berbiaya rendah, mengurangi "politik uang" , dan lebih jujur dan adil.       
UU  Pemilihan Umum seperti itu mungkin akan mampu berumur panjang dan tidak berubah setiap lima tahun sekali. Selain itu  juga semakin mendekati sistem pemilu yang  sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan.
SULASTOMO
Anggota Lembaga Pengkajian MPR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Mimpi Demokrasi Indonesia".
  • 0
  • 0
  • 0

Wednesday, December 28, 2016

Indeks Demokrasi Indonesia

OPINI > ARTIKEL > INDEKS DEMOKRASI INDONESIA

Indeks Demokrasi Indonesia

Dapatkah demokrasi diukur? Ya, itu bisa. Setiap tahun sejak tahun 2009, Indeks Demokrasi Indonesia mengukur demokrasi di negeri ini. IDI telah menjadi kisah sukses kontribusi terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
IDI adalah produk nasional yang menyediakan informasi berharga tentang keadaan demokrasi di Indonesia. Indeks ini diciptakan oleh para pemangku kepentingan nasional dan dipimpin oleh sekelompok ahli dalam panel independen. Ini tanda kematangan demokrasi di mana pemerintah dan masyarakat bersedia untuk secara terbuka mengevaluasi diri dan mengukur kinerja lembaga dan sistem. Demokrasi—bahkan di negara-negara dengan demokrasi tertua— tidak pernah bisa ditelantarkan seolah bisa berjalan sendiri.
Demokrasi berkembang dengan kekuatan dan kelemahan. Terdapat berbagai pencapaian dan kadang mengalami kemunduran. Demokrasi perlu selalu dilindungi, dipertahankan dan ditingkatkan untuk kepentingan rakyat dan stabilitas negara.
IDI dapat menjadi alat yang paling berharga untuk mencapai hal ini. IDI mencakup 28 indikator yang berhubungan dengan tiga dimensi penting demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Indeks ini juga menawarkan data terpilah di tingkat provinsi untuk analisis yang lebih mendalam.

Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka

dok pri
 Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.


Wednesday, 16 November 2016, 19:55 WIB

Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka

Red: Heri Ruslan
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Arif Nurul Imam*

Calon gubernur pejawat Basuki Tjahaja Purnama atau akrap disapa Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Cagub DKI Jakarta nomor urut dua ini, selain ditetapkan sebagai tersangka juga dicegah bepergian ke luar negeri lantaran kasus dugaan penistaan agama terkait surah al-Maidah ayat 51.

Pernyataan Ahok yang dilakukan pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut, dinilai melanggar Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 Ayat (1) UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski demikian, Ahok tidak serta merta digugurkan sebagai kontestan dalam Pilkada sebagaimana aturan yang berlaku.

Sosok kontroversial Ahok menjadi sorotan publik bukan hanya karena tutur katanya yang kerap kasar dan arogan, melainkan juga lantaran kebijakannya seringkali bertentangan dengan aspirasi publik, seperti kebijakan proyek reklamasi dan penggusuran perkampungan warga. Apalagi pasca-pernyataannya di Kepulauan Seribu yang menyinggung sebagian besar umat Islam.

Aksi unjuk rasa 4 November lalu yang diikuti ratusan ribu peserta dari berbagai daerah di Indonesia, secara terang menuntut Ahok untuk segera diproses di meja hijau. Aksi unjuk rasa terbesar sejak Orde Baru tumbang ini didasari oleh dugaan bahwa Ahok dilindungi oleh Presiden Joko Widodo sehingga proses hukum dianggap berjalan lamban.

Dugaan tersebut muncul lantaran Ahok dipandang memiliki “kedekatan khusus” dengan mantan Walikota Solo tersebut, bahkan ada pihak yang menduga Presiden tersandera oleh Ahok sehingga harus melindungi kasus tersebut.

Kearifan Panakawan

INDRA TRANGGONO

Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong selalu hidup rukun. Meskipun sering berselisih paham dan saling mengkritik serta mengejek, mereka tetap solid dan kompak.
Gareng, Petruk, dan Bagong tak pernah bersekongkol untuk makar dan menggulingkan kepemimpinan Semar agar mereka bisa lebih dekat dan masuk lingkaran kekuasaan Arjuna, bos mereka. Bagi mereka, menghormati pemimpin secara kritis merupakan etika yang mesti disunggi tinggi, termasuk menghormati Semar, sang pemimpin kultural dan spiritual. Semar adalah pengejawatahandewa, yang diturunkan di bumi untuk menuntun ksatria Pandawa.
Selain itu, Gareng, Petruk dan Bagong sangat meyakini bahwa keselarasan mampu menciptakan kerukunan. Prinsip mereka: rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (kerukunan menciptakan kekuatan dan permusuhan menimbulkan kehancuran). Gambaran itu bisa didapatkan dalam lukisan kaca pelukis tradisional, seperti Citrowaluyo dan Sastrogambar, antara lain bertajuk ”Rukun Agawe Santosa”.

Penegakan Hukum Pemilu

RAMLAN SURBAKTI

Ketika Komisi Pemilihan Umum menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum menilai legitimasi suatu proses penyelenggaraan pemilu dari dua segi. Pertama, apakah hasil pemilu bebas dari manipulasi. Kedua, apakah pelanggaran hukum pemilu ditegakkan secara adil.
Karena itu, efektivitas penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu merupakan dimensi yang sangat penting untuk keabsahan suatu pemilu.
Tiga ketentuan yang harus ditegakkan dalam proses penyelenggaraan pemilu adalah ketentuan administrasi pemilu (KAP), ketentuan pidana pemilu (KPP), dan kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). Penegakan KEPP selama ini lebih efektif daripada penegakan KAP dan KPP. Namun, penegakan KEPP bukan tanpa masalah karena dalam sejumlah kasus DKPP bertindak melebihi kewenangannya.
Penegakan KAP relatif lebih efektif daripada penegakan KPP, tetapi penegakan KAP juga mengalami banyak masalah. Apa saja yang menjadi KPP, jauh lebih jelas terinci daripada apa saja yang menjadi KAP, tetapi penegakan KPP merupakan yang paling tidak efektif. Penyelesaian sengketa hasil pemilu jauh lebih efektif daripada proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu, baik dari segi waktu maupun dari segi putusan. Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu sering kali melewati jadwal tahapan pemilu. Walaupun demikian, proses penyelesaian sengketa hasil pemilu bukan tanpa masalah. Itulah hasil evaluasi secara umum tentang sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu pada beberapa pemilu terakhir.

Demokrasi Agonistik


Menyongsong perhelatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017, suasana politik menegang dan memanas.
Kebebasan bermanuver dan konflik politik pada paruh akhir tahun 2016 bertambah riuh gemanya, lebih-lebih dalam ruang media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, atau WhatsApp. Sebagian kalangan, baik akademisi maupun politisi, pun bertanya-bertanya tentang kualitas atau implementasi nilai-nilai demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia pada hari ini.
Pesimisme terhadap masa depan demokrasi pun tak ayal akhirnya bermunculan. Bahkan, skenario konflik terburuk seolah sudah terbayang di depan mata. Betulkah demokrasi di Indonesia sedang mengalami krisis?
Benarkah aksi-aksi politik yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi ancaman bagi demokrasi? Masih bisakah kita optimis untuk terwujudnya masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia?

Realokasi Kursi DPR

OPINI > ARTIKEL > REALOKASI KURSI DPR
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diakui sebagai salah satu yang paling kompleks di dunia. Perekayasaan sistem pemilu (election system engineering) lewat beragam varian perangkat teknis pemilu, seperti besaran daerah pemilihan (district magnitude), ambang batas (threshold), daftar calon, dan cara konversi suara menjadi kursi, telah secara signifikan dicobakan setidaknya sejak Pemilu 1999.
Namun, impian untuk mendapatkan sistem pemerintahan presidensial yang kuat ataupun sistem multipartai yang terbatas belum sepenuhnya terwujud.
Parameter indeks sistem kepartaian (effective number of parliamentary parties) yang meningkat dari 4,72 pada Pemilu 1999, menjadi 7,07 pada Pemilu 2004, dan 8,16 pada Pemilu 2014 memperlihatkan bahwa penciutan daerah pemilihan dan peningkatan ambang batas terbukti tidak mampu menghasilkan konsentrasi partai politik yang efektif.
Kompleksitas sistem terbukti telah menyulitkan peramalan dan/atau pengukuran efek dari perangkat teknis pemilu yang diterapkan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa, terutama di negara demokratis yang belum mapan, sebuah sistem pemilu merupakan akumulasi kompromi dari beragam kelompok-kepentingan.