Beragama di Tengah Kekacauan
HUSEIN JA’FAR AL HADAR
Cetak |
Sejarah Islam telah terbentang selama sekitar 14 abad. Ada beragam nilai, hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari sana.
Mengutip Murtadha Muthahhari (filosof Muslim Iran kontemporer), sejarah
memiliki nilai epistemologis. Sejarah adalah sumber pengetahuan. Sering
kali, masa depan justru terlihat gamblang dan cerah dengan kacamata
masa lalu. Mengacu pada Hegel, gerak sejarah melahirkan tesis,
antisesis, dan sintesis, serta begitu seterusnya. Apa yang pernah ada
dalam sejarah bisa menjadi pegangan kita dalam menatap dan menjalani
saat ini dengan segala tantangannya, termasuk konteks keislaman.
Kini
kita sampai pada suatu masa sulit bagi umat Islam di dunia, tak
terkecuali Indonesia. Suatu masa yang bisa disebut sebagai masa
kekacauan. Kita sedang menghadapi apa yang di Indonesia diistilahkan
"darurat terorisme" dengan Islamic State (IS) sebagai aktor utama dan berbagai kekacauan di Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman.
Kekacauan
yang terjadi menjadi mengerikan tidak hanya karena menghabiskan dan
menumpahkan ratusan ribu nyawa dan darah dengan cara keji, tetapi juga
karena kekacauan itu terjadi akibat "perselingkuhan" antara agama
(Islam) dan politik. Sebuah "perselingkuhan" klasik yang sering terjadi
dan berulang akibat "seksi"-nya isu agama dalam kacamata politik
rendahan yang propagandis.
Sejarah berulang
Sejarah
mencatat bahwa kekacauan semacam ini pernah terjadi pada abad XI-XIII
M. Masa itu bisa disebut sebagai salah satu masa paling kacau dalam
sejarah dunia Islam. Masa kacau itu terjadi dalam bentuk yang
berbeda-beda di beberapa wilayah: dari Perang Salib, invasi Mongol,
perpecahan akut Dinasti Abbasiyah, hingga kekacauan yang ditimbulkan
oleh Ibadiyah (sekte paling ekstrem dari Khawarij) dan Qaramitah.
Meskipun
bentuknya berbeda-beda di tiap kawasan di Timur Tengah, semua kekacauan
itu memiliki akar yang sama sebagaimana terjadi saat ini, yakni
berbasis pada sentimen dan propaganda agama atau mazhab.
Merespons
kekacauan itu, setidaknya ada dua kecenderungan dan sikap yang muncul
dari kalangan ulama Islam. Pertama, kecenderungan dan sikap ekstrem.
Kecenderungan dan sikap ini berupaya membangun politik identitas
(Muslim) yang "sentimen" terhadap musuh-musuh Islam saat itu, serta
mengkritalisasi doktrin-doktrin Islam agar kaku, paten, dan berdiri
sendiri secara angkuh. Kecenderungan dan sikap ini diwakili oleh Ibn
Taimiyah dalam konteks Perang Salib dan invasi Mongol.
Kedua,
sebaliknya, yakni kecenderungan dan sikap moderat. Kecenderungan dan
sikap ini berupaya membangun politik akomodatif yang toleran, mencari
titik temu, dan merangkul kelompok di luar Islam, bahkan meskipun
oknum-oknum politiknya saat itu menjadi musuh dan penyerang kaum dan
negara Muslim. Juga mengambil jarak dari politik guna menyelamatkan
tradisi dan peradaban keilmuan Islam, meskipun tetap memberikan pengaruh
positif dalam upaya menyelesaikan kekacauan politik yang terjadi.
Kecenderungan
dan sikap itu diwakili oleh ulama dalam jaringan "rahasia" bernama
Ikhwan as-Shafa di tengah perpecahan Dinasti Abbasiyah, sufi tersohor
Jalaluddin Rumi, dan para habaib Hadhramaut (Yaman) menghadapi Ibadiyah dan Qaramitah.
Adapun
dalam konteks kekacauan pada masa kita saat ini, tak sedikit umat Islam
yang mengarah pada kecenderungan ekstrem ala Ibn Taimiyah. Kita seolah
lupa kalau di samping itu kita memiliki kecenderungan lain yang dibangun
dan diteladankan oleh nama-nama besar, seperti Ikhwan as-Shafa, Rumi,
dan para habaib Hadhramaut.
Padahal,
menurut penulis, kecenderungan ala mereka yang justru tepat untuk
dipelajari, dipilih, dan diterapkan dalam merespons kekacauan pada masa
kita saat ini. Sebab, pertama, kini
kita hidup di dunia yang modern dan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, HAM, kebebasan, kemoderatan, toleransi. Kecenderungan sikap
ala Ibn Taimiyah tak sesuai dengan konteks yang melingkupi kita saat
ini.
Agama statis
Kecenderungan
moderat bisa menjadi solusi, memberikan titik terang, sekaligus
mempertahankan citra Islam sebagai agama lintas zaman dan rahmatan lil 'alamin dengan peradabannya yang agung. Kedua, kecenderungan
ekstrem cenderung menarik agama ke simpul konflik berbasis politik. Hal
itu rentan menjadikan agama dipermainkan secara politis oleh
kepentingan kelompok yang terlibat dalam konflik guna memperakut benang
kusut kekacauan, serta menjadikan agama tereduksi dari sebuah nilai yang
berorientasi luhur dan kedamaian menuju aturan berorientasi keduniawian
dan sarat konflik.
Kecenderungan moderat justru positif karena
akan membuat agama berjarak dengan politik, tetapi tetap berperan
proporsional dan strategis dalam membantu penyelesaian konflik tanpa
harus terjebak dalam pusaran konflik. Dengan begitu, agama juga akan
terus bertakhta dalam keagungannya.
Ketiga, kecenderungan
ekstrem akan membuat agama statis, kaku, dan gersang karena sibuk dan
terlibat dalam kekacauan politik yang terjadi dan terpecah-belah akibat
kepentingan- kepentingan kelompok yang sedang berkonflik. Adapun
kecenderungan moderat akan membuat agama terus berkembang dan luwes karena aktivitas keilmuan dan keagamaan terus berjalan tanpa harus tersita atau terpecah belah akibat kekacauan yang terjadi.
Ajaran,
ilmu, dan peradaban Islam harus diselamatkan di tengah kekacauan saat
ini. Relasi yang harus dibangun adalah Islam berperan dalam
menyelesaikan kekacauan politik yang terjadi, bukan sebaliknya: politik
menarik dan mempropaganda Islam untuk kekacauan yang diciptakan sehingga
keberadaan Islam justru memperakut konflik yang terjadi dan Islam
terpecah-pecah mengikuti friksi dalam kekacauan politik yang terjadi.
Ikhwan as-Shafa melakukannya dengan membangun sinkretisme dan
persaudaraan universal yang lintas agama, mazhab, bangsa, dan
seterusnya.
Rumi melakukannya dengan bersyair sufistik untuk
menjaga nilai-nilai dasar Islam (khususnya dalam tasawuf) dan mencairkan
suasana secara syahdu, sedangkan para habaib melalui founding father-yakni
Faqih al-Muqaddam-melakukan tindak simbolik yang sangat populer dengan
mematahkan pedang sebagai simbol gagasan perdamaian dan kemudian
ditindaklanjuti dengan membangun peradaban madani yang berbasis pada
tasawuf akhlaqi (tasawuf praktis) hingga tersebar ke Indonesia.
Itulah teladan keberagamaan kita di tengah kekacauan saat ini.
Husein Ja'far Al HadarPendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
No comments:
Post a Comment