Analisis Politik J Kristiadi
Cetak |
Gaung Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali bukan
terpilihnya secara aklamasi Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum,
melainkan
pidatonya yang menggelegar, tegas tetapi disertai dengan beberapa
kalimat bersayap. Berbagai pernyataannya mencerminkan kegerahan Megawati
terhadap praktik politik kekinian dan hubungannya yang kurang harmonis
dengan Presiden Joko Widodo, memicu debat publik yang mengarah pada
PDI-P seakan menjadi musuh bersama. Pertanyaan mendasar, apa yang salah
dari pidato itu?
Setelah mencermati teks pidato, beberapa isu spektakuler dan memantik
polemik antara lain sebagai berikut. Pertama, pernyataan kader partai
adalah petugas partai. Penegasan tersebut dapat dibenarkan kalau kinerja
parpol telah memenuhi kaidah-kaidah yang merupakan alasan mendasar (raison d’etre)
eksistensi parpol sebagai institusi dan pilar demokrasi. Dalil utamanya
antara lain (1) ideologi parpol diterjemahkan dalam kebijakan yang
memihak rakyat, (2) demokratisasi internal dan prinsip meritokratik
rekrutmen kader, (3) mendidik kader yang berwatak, serta (4) terampil
mengelola aspirasi rakyat sebagai basis kebijakan publik.
Pemenuhan persyaratan primer itu akan menghasilkan atmosfer politik
yang memuliakan kekuasaan dan rasa hormat publik terhadap penguasa.
Dalam konteks ini, sebutan petugas partai terhadap para kadernya
bermuatan kehormatan. Mereka adalah abdi rakyat yang mewakafkan dirinya
berjuang mewujudkan kesejahteraan umum.
Namun, apabila persyaratan itu jauh dari pakem dan parpol hanya mirip
kerumunan pemburu kekuasaan yang menghalalkan cara mencapai tujuan,
ditambah lagi parpol terperangkap dalam patronase, oligarki, politik
kekerabatan, feodalisme, dan sebangsanya, martabat parpol sangat rendah
di mata publik; akan menggiring persepsi publik, sebutan petugas partai
diasosiasikan sebagai pesuruh, jongos, kuda tunggangan, atau sekadar
bidak catur para elitenya.
Kedua, partai dianggap hanya ornamen demokrasi, tunggangan kekuasaan
politik. Rasa waswas itu sebenarnya merupakan sinyal awal bagi elite
PDI-P dan publik mengenai urgensi reformasi parpol. Parpol harus
dikembalikan pada jati diri sebagai ”kawah candradimuka”, tempat kader
parpol digembleng agar tangguh dalam mengemban amanat rakyat yang mulia,
bukan tempat para penikmat kekuasaan.
Ketiga, kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat dan setia mutlak kepada
konstitusi. Wanti-wanti yang amat bijak merupakan repetisi penegasan
pada Pemilu Presiden 2014 agar Jokowi kalau menjadi presiden hanya
tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat. Pesan itu juga mengandung
harapan, apabila kebijakan publik disusupi kepentingan subyektif, bahkan
jika berasal dari ketua umum dari partai pendukung (Koalisi Indonesia
Hebat) sekalipun, apabila tidak sejalan dengan kehendak rakyat, Jokowi
harus berani menolak.
Penegasan Megawati lainnya dalam pidato tersebut agar kemenangan PDI-P
dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 harus menjadi
kemenangan rakyat seluruhnya. Tampaknya Megawati ingin memastikan agar
setelah Kongres Bali kader-kader PDI-P tidak mengecam Jokowi secara
terbuka. Ia khawatir, Jokowi akan mengalihkan basis politik pada Koalisi
Merah Putih (KMP). Pragmatisme membuktikan antisipasi itu.
Misalnya, mulusnya penyusunan RUU APBN Perubahan dan yang lebih
spektakuler dukungan penuh KMP terhadap kebijakan Jokowi mengenai
melantik atau tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sementara
itu, PDI-P kukuh mendukung pelantikan Budi Gunawan. Oleh karena itu,
penguatan relasi antara Jokowi dan PDI-P setelah Kongres Bali adalah
keniscayaan.
Ketiga, isu tentang penumpang gelap, menyalip di tikungan, mengalami
banyak pengkhianatan, bahkan berkali-kali ditusuk dari belakang. Sebagai
ketua umum dari partai yang selalu berkiblat pada penderitaan wong
cilik, Megawati tentu banyak mengalami berbagai siasat dan kasak-kusuk
lawan politiknya yang menjengkelkan. Bahkan, mungkin beberapa kadernya
membuat ia repot karena mereka melakukan manuver politik yang hanya
mementingkan kedudukan tanpa memedulikan kepantasan berpolitik. Oleh
karena itu, pernyataan tersebut harus mendorong PDI-P melakukan
konsolidasi internal dan merapatkan barisan sehingga tidak kedodoran
dalam merespons dinamika internal dan eksternal. Selain itu, PDI-P juga
harus mampu melakukan pendidikan agar menghasilkan kader yang
berkarakter, bermartabat, dan mempunyai keterampilan berpolitik sehingga
sebagai partai yang berkuasa tidak menjadi bulan-bulanan lawan
politiknya.
Oleh karena itu, memaknai pidato Megawati tidak dapat hanya melalui
cara pandang benar atau salah. Pidato seyogianya diletakkan dalam narasi
politik yang lebih besar. Dalam perspektif tersebut, pidato Megawati
memberikan kesan kuat bahwa ia menekankan ”apa dan bagaimana seharusnya”
berpolitik secara bermartabat. Sementara itu, publik menilai pidatonya
dalam konteks kekinian dan praktik politik tidak terpuji para kader
parpol dewasa ini.
Publik berharap, pidato Megawati yang sangat paham bagaimana seharusnya
berpolitik yang elok, tidak hanya memicu kegaduhan politik tanpa roh,
tetapi menjadi momentum bagi PDI-P memelopori penataan kehidupan
kepartaian sesuai pakemnya sehingga parpol jadi wahana menempa generasi
muda menjadi pejuang dan pembela kepentingan wong cilik. Semua itu
karena Megawati sangat tahu bagaimana berpolitik yang bermartabat.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
http://print.kompas.com/baca/2015/04/21/Pidato-Megawati%2c-Apa-yang-Salah
No comments:
Post a Comment