Catatan Minggu
Revolusi Piring
Bre Redana
KOMPAS Cetak |
Di restoran dekat Kebun Raya Bogor tanpa terduga saya bertemu teman lama, ahli filsafat pengajar di sebuah
universitas negeri terkemuka. Tetap seperti dulu. Dengan gaya bicara
penuh antusiasme, mengomentari roti bikinan restoran ini ataupun
pemerintahan yang amburadul, tak akan lupa disertakan catatan kaki dari
Spinoza sampai Heidegger.
Ia prihatin dengan kemerosotan berpikir pada umumnya kalangan
mahasiswa. Meski di fakultas filsafat, jangan lantas dikira ada
kegairahan berpikir. Saya menulis buku, tak ada yang membaca, katanya.
Kalau ada yang membaca, komentarnya satu: tidak ngerti. Tentang televisi, dia berpendapat tak ada televisi Indonesia layak ditonton.
Tiba-tiba ia ingat salah satu tulisan saya di kolom ini.
Ha-ha-ha, ia tertawa. Mental kok direvolusi, tambahnya. Yang bodoh sebenarnya kita, lanjutnya tetap disertai derai tawa.
Komentar dia serupa komentar rohaniwan di Muntilan, Jawa Tengah, yang
sedang menggalakkan kepedulian masyarakat terhadap air hujan. Melalui
eksperimen lewat teknologi sangat sederhana, rohaniwan ini menggalakkan
penggunaan air hujan untuk keperluan apa saja, termasuk air minum yang
ternyata lebih sehat dibandingkan air kemasan.
Saya tidak akan menggunakan kata revolusi air, Mas, katanya. Khawatir cuma jadi retorik, dan ngapusi pula, ucapnya.
Tentu saja saya paham maksud mereka semua. Dari segala perspektif,
sikap mental manusia tidak bisa diubah dalam sekali gebrak. Dalam
perspektif neurologis misalnya, pembentukan moral tak bisa dipisahkan
dari relasi otak dan tubuh, yang harus diolah secara terus-menerus untuk
mencapai kesadaran. Gampangnya, Anda tak bisa menjadikan anak Anda
bertumbuh sebagai manusia yang berdisiplin kalau sedari kecil diumbar
seperti ayam, tak diajarkan praktik disiplin.
Itu baru satu manusia, teman saya yang filosof memotong. Bagaimana
dengan 200 juta manusia? Ia jawab sendiri: dibutuhkan proyek kebudayaan.
Padahal, kebudayaan adalah sesuatu yang konservatif. Meski pernah
sekolah di Inggris, kamu tetap anak desa Salatiga. Seperti saya, tetap
orang Pekalongan, katanya menyebut kota asalnya di Jawa Tengah. Tak akan
pernah lepas menjadi cah ndeso ha-ha, ia menertawakan diri sendiri.
Begitu variabel kebudayaan masuk, persoalan kian kompleks, sekompleks
orang mengartikan kebudayaan. Adakah kita akan mendefinisikan kebudayaan
sebagai nilai-nilai dan etik sebagaimana Max Weber mengaitkan sukses
ekonomi Eropa pada zamannya dengan etik kerja kaum Protestan?
Ataukah kita mengartikan kebudayaan dalam kaitan kebudayaan dengan sistem politik? Seberapa jauh budaya kewarganegaraan (civic culture)
tersedia, untuk mendukung terciptanya suatu sistem politik yang
demokratis misalnya, seperti diteorikan Robert Putnam. Atau faktor
sosial yang lain, berupa adanya kepercayaan (trust),
sebagai landasan untuk membangun bangsa secara bersama-sama seperti
diteorikan Francis Fukuyama? Menurut dia, masyarakat dengan low trust
akan sangat sulit mengembangkan institusi sosial yang besar, kompleks,
seperti kehidupan bernegara. Apalagi kalau pemimpin melulu ngapusi alias bohong tadi.
Yang jelas, mau diambil dari pengertian mana saja, proses kebudayaan
selalu berlangsung secara evolutif, perlu disemai dan dikembangkan
melalui krida kehidupan sehari-hari.
Kami menjadi duduk berlama-lama di restoran. Salah satu pelayan yang
saya kenal suka bercanda, bersiap membereskan meja dan mengangkat
piring-piring kotor. Tampaknya dia menguping pembicaraan kami.
Boleh saya revolusi piringnya, selorohnya.
Kami berdua kaget, kehilangan kata-kata.
Lihat, mereka sangat cerdas, lebih cerdas dari kita, bisik teman saya setelah lepas dari keterpanaan.
Untung saat itu cuma piring yang hendak dia revolusi. Entah nanti.... ***
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2015, di halaman 13 dengan judul "Revolusi Piring
No comments:
Post a Comment