Penyelesaian Beban Sejarah
Albert Hasibuan
KOMPAS Cetak |
138 dibaca
0 komentar
Akhirnya, saya baca, pemerintah serius
menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat lama dengan
membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum,
dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional
Indonesia; Badan Intelijen Negara; dan Komnas HAM.
”Tim gabungan ini dibentuk sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan
perkara pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu. Ini agar tak
lagi ada beban sejarah yang menjadi tanggungan generasi selanjutnya,”
demikian pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo pada Selasa, 21 April (Kompas, 22/4).
Sesuai data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat masa
lalu yang akan ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kasus
peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di
Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa
Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena
(2003).
Kalau memang pemerintah, sesuai pernyataan Jaksa Agung,akan membentuk
KKR dalam waktu singkat, saya menyambut dengan gembira. Saya
membayangkan para korban yang rata- rata sudah uzur
sepertimendapatharapan kembali. Di antaranya, saya ingat, Pak Bedjo
Untung dari YPKP (peristiwa 1965-1966), ibu Sumarsih, Hera Tetty,
Karsiah, ibu Hoo Kim Ngo (Trisakti, Semanggi I dan II), Azwar Kaili
(Talangsari, Lampung, 1989), Paian Siahaan dan ibu Tuti Koto
(penghilangan orang secara paksa 1997-1998), dan banyak lagi.
Sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu, saya akan memberikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus berdasarkan etika.
Dasar etika ini mengacu pada wawasan persatuan bangsa seperti dirumuskan
dalam Pembukaan UUD RI 1945 yang secara khusus terkait dengan tujuan
kemerdekaan Indonesia dan tanggung jawab negara melindungi dan melayani
masyarakat bangsa Indonesia. Juga solidaritas kebangsaan yang telah
menjadi spirit utamakemerdekaan Indonesia.
Solidaritas ini terbentuk
bukan karena kesamaan ikatan etnik, agama, ideologi-politik, ataupun
ikatan lain, melainkan karena ikatan kebersamaan untuk mencapai keadaban
kemanusiaan.
Kemudian, politik yang mengacu pada era reformasi. Dasar politik ini
membuka peluang bagi negara dan pemerintah untuk melakukan koreksi
berbagai kesalahan dan kelalaian masa lampau. Namun, saya mencatat,
peluang ini belum dimanfaatkan secara tuntas dan efektif oleh para
pemimpin politik selama ini. Sejumlah pernyataan kebijakan (policy statements)
yang berimplikasi pada pembuatan peraturan perundang-undangan telah
dilakukan, tetapi belum seluruhnya terlaksana secara tuntas dan
ditegakkan dengan efektif.
Lalu, hukum. Bidang hukum ini merupakan instrumen sah untuk menegaskan
bahwa tindakan-tindakan negara tidak sewenang-wenang dan keadilan dapat
ditegakkan. Peraturan perundang-undangan pada masa-masa awal reformasi,
dan sudah tentu konstitusi UUD RI Tahun 1945, memberikan landasan hukum
yang cukup memadai untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam hal ini, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang
menyebutkan ”bahwa tak ada orang-orang yang melakukan pelanggaran hak
asasi manusia akan menikmati impunitas atau bebas dari hukum” menjadi
dasar hukum penyelesaian pelanggaran hukum.
Juga Tap MPR No V/2000 yang memberi mandat penyelesaian pelanggaran HAM
berat masa lalu dengan cara ”pengakuan kesalahan, permintaan maaf,
pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau
alternatif lain yang bermanfaat”.
Masukan lembaga
Perlu diperhatikan, saran-saran resmi dari berbagai lembaga, antara
lain: (a) Putusan MK atas persepsi Jaksa Agung dalam penerapan UU No 26
Tahun 2000 Pasal 43 Ayat (1) berkenaan penolakan melakukan penyidikan
terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Juga (b) Surat Ketua MA
No KMA/403/VI/2003 tertanggal 12 Juni 2003 perihal permohonan
rehabilitasi kasus HAM masa lalu yang selanjutnya disarankan oleh DPR RI
agar ditindaklanjuti oleh Presiden RI melalui Surat DPR
KS.02/2947/DPR-RI/2003.
Kemudian, (c) Putusan MK No 001-017/PUU-I/2003 tertanggal 24 Februari
2004 yang menyatakan Pasal 60 Huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang
pemilihananggota DPR, DPD, DPRD inkonstitusional karena diskriminatif
terhadap para pemohon korban 1965, yang terhambat pelaksanaannya karena
belum dicabutnya Keppres No 28 Tahun 1975. Selain itu, (d) usulan DPR RI
kepada Presiden RI pada 28 September 2009 perihal pembentukan
pengadilan HAM ad hoc bagi kasus penculikan dan penghilangan paksa
aktivis 1997-1998, pencarian korban 13 orang hilang, pemberian
rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban, serta perlunya
ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.
Dengan demikian, satu aspek penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM
berat masa lalu adalah pemulihan hak-hak dasar korban melalui kompensasi
dan rehabilitasi. Pemulihan itu menjadi tanggung jawab negara untuk
mengurus dan menyelesaikannya. Di sini, pemulihan hak-hak dasar
korbandilakukan melalui, pertama, kompensasi (ganti rugi). Dalam proses
pemberian kompensasi ini tidak mudah karena keterbatasan keuangan
negara, tuntutan para korban, kesulitan mengidentifikasi korban, dan
lain-lain. Saya pikir, kompensasi itu harus tetap diusahakan antara lain
melalui mekanisme hukum dengan menunjuk UU No 26 Tahun 2000.
Kedua, dilakukan pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban.
Ketiga, memberikan tunjangan sosial kepada para korban, dan lain-lain.
Pokok pikiran saya yang terakhir adalah berupa pengampunan (amnesti)
para pelaku. Sehubungan dengan itu, saya berpendapat, pengampunan
terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian
penting dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perspektif tanggung
jawab negara, asumsi utama yang menjadi rujukan adalah negara mengambil
alih semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka yang dianggap
sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dengan dasar perspektif ini, ada tiga pendekatan (model) pengampunan
(amnesti). Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan
masyarakat memberi pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang
didakwa (diduga) telah melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu,
terutama yang saat ini telah meninggal dunia.
Kedua, pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada
pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah
oleh proses peradilan yang jujur dan bertanggung jawab.
Ketiga,
pengampunan secara sosial-budaya yang dilakukan anggota dan/atau
kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh negara. Pendekatan ini
merupakan rekonsiliasi sosial yangmemberi tanda (makna) penghentian
konflik sosial masa lalu.
Pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya
secara adil dan bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu,
melainkanmengambil pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden
SBY menyebutnya A burden of history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadabanbangsa Indonesia di masa mendatang.
Albert Hasibuan, Anggota Dewan Pertimbangan
Presiden 2012-2014 http://print.kompas.com/baca/2015/04/24-%281%29/Penyelesaian-Beban-Sejarah
Presiden 2012-2014 http://print.kompas.com/baca/2015/04/24-%281%29/Penyelesaian-Beban-Sejarah
No comments:
Post a Comment