Friday, October 30, 2015

Mengamankan Dana Desa

KORAN JAKARTA, 29 OKTOBER 2019
OLEH TRISNO YULIANTO

 Implementasi penyaluran Dana Desa  memasuki termin ketiga  November 2015 ini. Dari total dana desa 20,7 triliun rupiah dari APBN Perubahan 2015, sebesar 80% telah dicairkan Kementerian Keuangan ke rekening daerah untuk selanjutnya ditransfer ke rekening Bendahara Desa.

Progress penyaluran dana desa (DD) berbeda di setiap daerah. Penyaluran ke luar Jawa banyak lambat. Misalnya, untuk desa-desa di Indonesia Timur rata-rata baru 40-50%. Keterlambatan penyaluran dan penyerapan DD  karena pemerintah desa tidak siap memenuhi syarat administratif semacam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan legalisasi peraturan desa tentang APBDes. Laporan penggunaan DD  termin pertama dan kedua juga lambat.

DD sendiri disalurkan ke seluruh desa  (74.012 desa). Rata-rata tiap desa menerima 250 juta rupiah. Dalam skema  UU No 6 Tahun 2014 DD  untuk operasional pemerintah, program pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa.


Eksekusi DD sendiri dalam monitoring berbagai LSM  belum optimal bagi kepentingan masyarakat. Bahkan  banyak penggunaannya  terkesan hanya menghabiskan  anggaran tujuan jelas  dan akuntabel. Problem sosiologis tata kelola DD tidak rapi, tidak transparan, dan berwatak elitis. Ini  potensi korupsi dari kabupaten, kecamatan, kelurahan, sampai  desa.  

Korupsi di level pemerintah kabupaten dengan  modus pungutan dan rente aparatur birokrasi yang menjadi leading sector penyaluran DD. Korupsi tingkat  kecamatan bisa muncul  dalam wujud pungli dan upeti  kepada pejabat yang memiliki otoritas mengesahkan prasyarat administratif dan laporan pertanggung-jawaban penggunaan anggaran DD. 

Peluang korupsi di tingkat desa malah masif oleh pengguna anggaran (kepala desa). Modusnya antara lain mark up kegiatan pembangunan dan mata anggaran pemberdayaan masyarakat desa. Kepala desa berpeluang melakukan praktik korupsi berjamaah dengan elite desa yang duduk di lembaga kemasyarakatan desa.

Korupsi dalam tata kelola DD sangat besar berpeluang terjadi di desa yang memiliki kultur budaya feodalistik dan kualitas kerja tradisional. Mereka belum berkompetensi tinggi dalam pengelolaan anggaran.

Desa yang kultur feodalisme kepemimpinan masih kuat, kepala desa memegang legitimasi politik dan moral untuk menentukan kebijakan serta mengeksekusi kebijakan terkait DD, tanpa kontrol masyarakat. Bahkan, boleh jadi institusi kemasyarakatan semacam Badan Perwakilan Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, maupun RT/RW hanya untuk legitimasi kebijakan penggunaan DD.

Hasrat korupsi tumbuh ketika manajemen kelola DD tanpa kontrol dan monitoring memadai. Korupsi akan masif jika masyarakat sipil di perdesaan tidak mampu mengawasi.

Motivasi korupsi DD sendiri boleh jadi akan mengikuti logika yang dihipotetiskan Syed Husen Alatas dalambukunya "Sosiologi Korupsi." Intinya, ada beberapa pendorong korupsi. Di antaranya, karena ketamakan.  Pelaku meski digaji tinggi tetap korupsi.

Ada korupsi karena kebutuhan. Ini biasa  dilakukan pegawai rendahan karena gajinya tidak mencukupi untuk mengakses layanan kebutuhan dasar serta ekonomi keluarga. Kemudian orang korup karena budaya. Ini  ritus keseharian. Sudah menjadi budaya etika kelompok. Ini terjadi karena tidak ada transparansi dan mengabaikan kepentingan publik.

Habitat pemerintahan desa saat ini belum menunjukkan gejala korupsi yang sistemik dan melembaga secara permanen. Namun ketidaksiapan dalam kontrol tata kelola DD baik oleh kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi maupun kabupaten akan melahirkan kebiasaan korupsi. Dana besar yang dikucurkan bagi masyarakat desa akan berpeluang diinterupsi kepentingan elite desa.

Mencegah

Untuk mencegah praktik bancaan DD dibutuhkan langkah preventif baik di level regulasi maupun implementasi monitoring multistakeholder. Perlu disusun petunjuk teknis operasional (PTO) yang komprehensif  untuk mengatur secara rigid tata kelola DD.  PTO tata kelola DD sampai saat ini belum berhasil diformulasikan oleh kementerian desa. Idealnya itu menjadi rambu-rambu teknis pelaksanaan dari tata kelola sampai pengawasan secara partisipatif oleh masyarakat.

Demikian dengan "wacana" pendampingan desa (PD) sampai saat ini belum terealisasi. Keterbatasan anggaran dalam APBN 2015 belum mampu untuk memfasilitasi PD yang lebih kental nuansa birokratik dan cenderung tidak memahami hakikat pemberdayaan masyarakat.
Gerakan sosial untuk transparansi anggaran desa juga belum terbentuk menjadi kekuatan kritis pengontrol kinerja pengelolaan DD. Untuk itulah penting melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam kegiatan pendampingan dan monitoring reguler penggunaan DD. Pemerintah kabupaten yang memiliki ketersediaan alokasi APBD untuk desa bisa menganggarkan untuk monitoring terpadu DD bersama elemen masyarakat sipil.

Korupsi DD bisa dieliminasi jika pemerintah kabupaten juga memiliki political will memberdayakan kelembagaan masyarakat desa agar menjadi mitra kritis tata kelola DD. Dengan begitu,  tercipta akuntabilitas pengelolaan dana berdasarkan kepentingan  masyarakat.
        
Penulis  Penggerak Swadaya Masyarakat di Bapermas Magetan, Jatim

No comments:

Post a Comment