KORAN JAKARTA, 29 OKTOBER 2019
OLEH TRISNO YULIANTO
Implementasi
penyaluran Dana Desa memasuki termin ketiga November 2015 ini. Dari
total dana desa 20,7 triliun rupiah dari APBN Perubahan 2015, sebesar
80% telah dicairkan Kementerian Keuangan ke rekening daerah untuk
selanjutnya ditransfer ke rekening Bendahara Desa.
Progress
penyaluran dana desa (DD) berbeda di setiap daerah. Penyaluran ke luar
Jawa banyak lambat. Misalnya, untuk desa-desa di Indonesia Timur
rata-rata baru 40-50%. Keterlambatan penyaluran dan penyerapan DD
karena pemerintah desa tidak siap memenuhi syarat administratif semacam
Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan legalisasi
peraturan desa tentang APBDes. Laporan penggunaan DD termin pertama dan
kedua juga lambat.
DD
sendiri disalurkan ke seluruh desa (74.012 desa). Rata-rata tiap desa
menerima 250 juta rupiah. Dalam skema UU No 6 Tahun 2014 DD untuk
operasional pemerintah, program pembangunan, serta pemberdayaan
masyarakat desa.
Eksekusi
DD sendiri dalam monitoring berbagai LSM belum optimal bagi
kepentingan masyarakat. Bahkan banyak penggunaannya terkesan hanya
menghabiskan anggaran tujuan jelas dan akuntabel. Problem sosiologis
tata kelola DD tidak rapi, tidak transparan, dan berwatak elitis. Ini
potensi korupsi dari kabupaten, kecamatan, kelurahan, sampai desa.
Korupsi di level pemerintah kabupaten dengan modus pungutan dan rente aparatur birokrasi yang menjadi leading sector
penyaluran DD. Korupsi tingkat kecamatan bisa muncul dalam wujud
pungli dan upeti kepada pejabat yang memiliki otoritas mengesahkan
prasyarat administratif dan laporan pertanggung-jawaban penggunaan
anggaran DD.
Peluang korupsi di tingkat desa malah masif oleh pengguna anggaran (kepala desa). Modusnya antara lain mark up
kegiatan pembangunan dan mata anggaran pemberdayaan masyarakat desa.
Kepala desa berpeluang melakukan praktik korupsi berjamaah dengan elite
desa yang duduk di lembaga kemasyarakatan desa.
Korupsi
dalam tata kelola DD sangat besar berpeluang terjadi di desa yang
memiliki kultur budaya feodalistik dan kualitas kerja tradisional.
Mereka belum berkompetensi tinggi dalam pengelolaan anggaran.
Desa
yang kultur feodalisme kepemimpinan masih kuat, kepala desa memegang
legitimasi politik dan moral untuk menentukan kebijakan serta
mengeksekusi kebijakan terkait DD, tanpa kontrol masyarakat. Bahkan,
boleh jadi institusi kemasyarakatan semacam Badan Perwakilan Desa,
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, maupun RT/RW hanya untuk legitimasi
kebijakan penggunaan DD.
Hasrat
korupsi tumbuh ketika manajemen kelola DD tanpa kontrol dan monitoring
memadai. Korupsi akan masif jika masyarakat sipil di perdesaan tidak
mampu mengawasi.
Motivasi
korupsi DD sendiri boleh jadi akan mengikuti logika yang dihipotetiskan
Syed Husen Alatas dalambukunya "Sosiologi Korupsi." Intinya, ada
beberapa pendorong korupsi. Di antaranya, karena ketamakan. Pelaku
meski digaji tinggi tetap korupsi.
Ada
korupsi karena kebutuhan. Ini biasa dilakukan pegawai rendahan karena
gajinya tidak mencukupi untuk mengakses layanan kebutuhan dasar serta
ekonomi keluarga. Kemudian orang korup karena budaya. Ini ritus
keseharian. Sudah menjadi budaya etika kelompok. Ini terjadi karena
tidak ada transparansi dan mengabaikan kepentingan publik.
Habitat
pemerintahan desa saat ini belum menunjukkan gejala korupsi yang
sistemik dan melembaga secara permanen. Namun ketidaksiapan dalam
kontrol tata kelola DD baik oleh kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
maupun kabupaten akan melahirkan kebiasaan korupsi. Dana besar yang
dikucurkan bagi masyarakat desa akan berpeluang diinterupsi kepentingan
elite desa.
Mencegah
Untuk
mencegah praktik bancaan DD dibutuhkan langkah preventif baik di level
regulasi maupun implementasi monitoring multistakeholder. Perlu disusun
petunjuk teknis operasional (PTO) yang komprehensif untuk mengatur
secara rigid tata kelola DD. PTO tata kelola DD sampai saat ini belum
berhasil diformulasikan oleh kementerian desa. Idealnya itu menjadi
rambu-rambu teknis pelaksanaan dari tata kelola sampai pengawasan secara
partisipatif oleh masyarakat.
Demikian
dengan "wacana" pendampingan desa (PD) sampai saat ini belum
terealisasi. Keterbatasan anggaran dalam APBN 2015 belum mampu untuk
memfasilitasi PD yang lebih kental nuansa birokratik dan cenderung tidak
memahami hakikat pemberdayaan masyarakat.
Gerakan
sosial untuk transparansi anggaran desa juga belum terbentuk menjadi
kekuatan kritis pengontrol kinerja pengelolaan DD. Untuk itulah penting
melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam kegiatan pendampingan dan
monitoring reguler penggunaan DD. Pemerintah kabupaten yang memiliki
ketersediaan alokasi APBD untuk desa bisa menganggarkan untuk monitoring
terpadu DD bersama elemen masyarakat sipil.
Korupsi DD bisa dieliminasi jika pemerintah kabupaten juga memiliki political will memberdayakan kelembagaan masyarakat desa agar menjadi mitra kritis tata kelola DD. Dengan begitu, tercipta akuntabilitas pengelolaan dana berdasarkan kepentingan masyarakat.
Penulis Penggerak Swadaya Masyarakat di Bapermas Magetan, Jatim
No comments:
Post a Comment