Oleh :
Satu tahun
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diliputi a basket of
case atau segudang persoalan, antara lain masalah kabut asap yang
terjadi selama 17 tahun, negosiasi perpanjangan operasi PT Freeport
Indonesia (PTFI), hingga peraturan baru deregulasi perbankan. Semua
ini menjadi pemberitaan media massa dalam dan luar negeri.
Analisis pers luar negeri yang berbobot dari Financial Times, International New York Times menarik perhatian saya yang lama tinggal di luar negeri, tetapi dengan bangga masih berwarga negara Indonesia. Pada 15-19 Agustus 2014, saya mengunjungi PT Freeport Indonesia dalam rangka menulis buku. Di 14 Agustus tengah malam, saya terbang dari Jakarta dengan Airfast melalui Makassar ke Timika. Ini penerbangan khusus untuk karyawan dan kontraktor PTFI.
Penumpang kebanyakan insinyur-insinyur yang kembali setelah liburan. Sesuai kontrak kerja masing-masing, mereka mendapat satu pekan setiap bulan untuk libur dari tugasnya di Papua. Kedatangan saya sebagai undangan bersama wartawan-wartawan dari Jakarta untuk menyaksikan perayaan 17 Agustus 2014 di Tembagapura. Kabut tebal, udara dingin, dan hujan rintik-rintik menerima kedatangan saya pada pukul 06.00 waktu setempat di Lapangan Terbang Moses Kelangin, Papua. Nama Moses Kelangin diambil dari seorang putra Papua yang diabadikan karena jasanya membantu ekspedisi Forbes Wilson dari Freeport McMoRan dalam mendaki puncak Grasberg di Irian Jaya pada 1960.
Rombongan tidak dapat menggunakan helikopter dari Timika ke Tembagapura karena cuaca buruk. Sebagai gantinya, saya harus rela bertahan selama empat jam menggunakan bus antipeluru.
Dalam bus tersebut, saya bertemu dua perempuan kulit putih berambut pirang yang membawa satu bayi dan dua anak kecil. Mereka adalah istri pegawai ekspatriat PTFI. Saya juga bertemu insinyur berkulit hitam dari Ghana yang sebelumnya bertugas di Cile.
Pada perayaan 17 Agustus, saya duduk semeja dengan suami istri dari Amerika Selatan, Kanada, dan juga asli Papua. Orang kulit putih jarang saya temui dan memang jumlahnya kurang dari 10 persen dari total pegawai PTFI. Dewan direksi waktu itu diketuai Rozik Soetjipto dengan anggota 50 persen orang Indonesia dan 50 asing. Dari catatan yang ada, PTFI adalah wholly own subsidiary dari Freeport McMoRan, yang sudah public listed di New York Stock Exchange (NYSE). Karena itu, saat ini saya merasa bingung membaca tulisan-tulisan di Indonesia tentang rupiah dapat menguat menjadi Rp 5.000 per US$ 1 apabila emas dari pertambangan PTFI dimasukkan sebagai cadangan devisa negeri ini oleh Bank Indonesia (BI).
Kebingungan saya karena emas yang didapat PTFI bukan dalam bentuk batangan, tetapi serbuk yang tercampur dengan batuan lain. Batuan yang digali ini harus diproses dengan teknologi tinggi untuk dipilah, lalu dikumpulkan sesuai jenis masing-masing. Setelah itu, baru dikerjakan di smelter yang akan memakan biaya cukup tinggi lagi.
Seandainya pun setelah pemisahan dan emas batangan untuk tambahan devisa Indonesia, BI harus “menghubungkan” nilai emas ini dengan nilai mata uang rupiah. Di samping itu, di manakah batangan emas ini akan disimpan? Sebagai contoh, di Amerika Serikat ada Fort Knox. Belum lagi soal kualitas kemurniannya, tinggi rendah karatnya, dan lain sebagainya juga harus dipikirkan.
Dalam membaca berita ini, saya terkenang dedikasi karyawan PTFI yang saya temui, antara lain seorang ibu yang menggendong bayinya untuk mengantarkan kunjungan saya ke sekolah taman kanak-kanak dan Asrama Tomawin. Kala itu, hujan turun dan udara dingin sekali.
Masih terbayang juga keceriaan para guru dan kegembiraan anak-anak Papua dari suku Amungwe dan Kamoro yang tinggal tanpa biaya di Asrama Tomawin. Bahkan di antara mereka ada yang mendapat bea siswa sekolah sampai ada yang dikirim belajar ke Australia.
Wajah antusias terpancar dari mata bapak-bapak Papua sewaktu makan siang di pertambangan bawah tanah. Seorang bapak Papua dengan ramah menawarkan box makan siangnya waktu kendaraan saya berhenti di atas ketingggan 3.200 meter dari permukaan laut karena ada trem sedang berhenti untuk perawatan. Para ibu Papua lulusan Institute Pertambangan Nemangkawi dengan mudah mengemudikan truk setinggi 5 meter guna mengangkat hasil tambang ke peleburan. Selain itu, terdapat fasilitas kelas dunia, mulai dari rumah sakit tempat saya dirawat empat jam karena darah tinggi yang saya alami. Suasana yang menyenangkan terekam indah saat saya berada di pertambangan.
Tantangan Setahun setelah kenangan manis itu, saya terbangun dari mimpi lagi karena membaca imbauan untuk turis membuka rekening bank di Indonesia. Sering bepergian sebagai turis, saya hanya membawa ATM untuk pembayaran tunai atau menggunakan kartu kredit. Turis yang membuka rekening koran umumnya patut dicurigai karena turis semacam ini jusru yang datang ke suatu negara untuk pencucian uang atau drugs related transaction. Sangat menyedihkan bahwa untuk saya yang kebetulan mempunyai dana lebih mendapat kesukaran guna ikut berinvestasi di Tanah Air.
Sebuah kebetulan yang saya maksud adalah suami saya, yang juga seorang bankir Jerman yang kerap melanglang buana dari Jerman, Inggris, Thailand, Singapura, Tiongkok. Saat ini, ia bertugas di Vietnam menyusul saat tinggal di Indonesia tidak memiliki KITAS. Namanya pun tak bisa masuk dalam kartu keluarga karena tidak punya surat identitas KITAS tadi. Dengan demikian, hasil penghasilannya yang diinvestasikan dalam bentuk ORI, Sukuk, dan deposito di Tanah Air hanya atas nama saya. Seandainya sesuatu terjadi dengan saya, suami saya akan kesulitan mendapat dana-dana ini pastinya.
Pemerintahan Jokowi saat ini akan mendapat tantangan berat, apalagi dari segi pengamatan luar negeri. Dalam kasus PTFI, akal sehat harus dipergunakan karena Freeport McMoRan memang bertaruh dalam jumlah jutaan dolar AS sampai PTFI menjadi seperti sekarang.
Sebagai perusahaan yang sudah go public, James Robert Moffett hanya salah satu dari para pemegang saham dan tidak mungkin memutuskan sendiri. Semua pihak dapat menjadi pemegang saham Freeport, tetapi harus mempunyai dana guna membeli sahamnya. Apakah negara kita mempunyai dana untuk menjadi salah satu pemegang saham yang besar? Apakah kita mampu untuk mengambil 100 persen operasi PTFI dengan alat-alat cangihnya yang dipergunakan saat ini?
Tulisan tentang PTFI saya hentikan di sini karena takut nanti buku yang sedang saya persiapkan tidak laku diterbitkan. Tentang usaha menarik investasi, kita harus menyadari bahwa target yang dituju hendaknya kepada individu yang masuk klasifikasi high networth, bukan turis-turis semacam hippy. Mereka itu kebanyakan sudah mempunyai rekening dolar AS di Swiss, Hong Kong, dan Singapura dalam jumlah digit yang luar biasa. Rumah mereka juga ada di seluruh Benua muka Bumi.
Akhirnya, integritaslah yang harus dibangun. Lebih penting lagi, hendaknya selalu teringat pesan pendiri bangsa, yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan bukan sebaliknya. Dosa kita bersama apabila generasi penerus diajarkan hal-hal yang terlalu muluk.
Penulis adalah penulis buku Soeharto, the Life and Legacy of Indonesia’s Second President-an Authorized Biography.
Sumber : Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment