Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 24 Oktober 2015
Dr Lukas S Ispandriarno
MEDIA
massa dan media sosial menyebarkan pesan komunikator politik Senayan
berupa usulan revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Penolakan datang dari warga masyarakat sebagai
elemen penting komunikasi politik. Yang menarik, di tengah kehebohan
itu, seorang anggota parlemen Indonesia terpilih sebagai Presiden GOPAC
(Konferensi Global Parlemen Anti-Korupsi).
Komunikasi politik adalah proses interaksi bagi perpindahan informasi di antara para politisi, media berita dan publik. Proses ini bekerja menuju ke bawah dari lembaga pemerintah kepada warga, secara horisontal menghubungkan aktor politik dan bergerak ke atas dari opini publik ke arah kekuasaan (Pippa Noris, 2004).
Dalam isu revisi UU KPK, pesan-pesan yang disampaikan sejumlah politisi di parlemen disebarkan melalui media massa utama, juga Internet, hingga jaringan media sosial, <I>whatsapp, twitter, facebook<P>. Interaksi tidak hanya dari pemegang kekuasaan seperti 45 politisi dari lima partai pengusul, Jaksa Agung HM Prasetyo maupun Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan namun juga dari warga masyarakat melalui internet, terutama menggalang penolakan di situs <I>change.org<P>. Berbagai pesan mustahil menyebar dengan cepat tanpa kecanggihan teknologi media. Benyamin R.Barber (<I>Norris, 2004<P>) menyebutnya sebagai teknologi digital yang memegang harapan bagi mekanisme penyediaan saluran alternatif hubungan kewargaan, ruang obrolan, pengambilan keputusan dalam pemilihan umum atau referendum, mobilisasi komunikasi virtual, dan tingkatan revitalisasi partisipasi massa dalam urusan publik.
Usulan itu akhirnya kandas. Presiden dan DPR (12/10) sepakat menunda rencana itu. Tentu peranan 27.577 penandatangan petisi berjudul “Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK” di <I>change.org<P> tidak kecil. Dengan menandatangani petisi penolakan revisi, warga masyarakat melakukan revitalisasi partisipasi urusan publik, yaitu menolak pelemahan atau upaya pembunuhan KPK. Seperti halnya berulang kali politisi Senayan berupaya melemahkan KPK, berulangkali pula netizen melawannya.
Pesan-pesan yang dikeluarkan para komunikator politik tingkat atas umumnya berfokus pada lembaga KPK. Pengusul revisi seolah bersandar pada ketakutan bahwa KPK melakukan kegilaan misalnya penyadapan. Komunikator lain menggarisbawahi pernyataan bahwa KPK perlu diawasi supaya tidak menjadi <I>super body<P>. Mereka lupa bahwa KPK hadir sebagai <I>state auxiliary body<P>, lembaga yang membantu negara memberantas korupsi karena lembaga yang dimiliki negara tidak bekerja serius. Sudah 70 tahun republik ini memiliki lembaga Kejaksaan dan Kepolisian namun kinerjanya tidak jelas. Kritik mengatakan kinerja Kejagung mandul. Kejagung juga dinilai tidak transparan dalam keterbukaan informasi publik penanganan kasus.
Di kala 45 anggota parlemen lima parpol mengusung revisi UU KPK, Global Conference Parliamentarians Anticorruption menyelenggarakan pertemuan di Yogyakarta. Pertemuan yang dihadiri perwakilan 74 negara menghasilkan 20 strategi penanganan korupsi global lewat Deklarasi Jogjakarta. Memang ironis, ketika forum parlemen dunia menolak korupsi, parlemen Indonesia justru ‘menolak’ lembaga anti korupsi dengan aneka alasan. Berbagai upaya pelemahan hingga rencana pembunuhan KPK boleh jadi didasari ketakutan terhadap lembaga ini. Bisa dipahami karena keseriusan dan keprofesionalannya lembaga KPK telah menangkap dan mengusut para anggota legislatif.
Di era teknologi digital, interaksi antar aktor komunikasi politik tidak lagi dominan atas ke bawah namun juga bawah ke atas. Di zaman ini, partisipasi publik ikut berperan mengolah pesan-pesan politik. Media massa utama menjadi jembatan komunikasi, termasuk menyebarkan pesan-pesan dukungan kepada KPK oleh berbagai kelompok masyarakat di sejumlah kota. (*)
Dr Lukas S Ispandriarno
(Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Komunikasi politik adalah proses interaksi bagi perpindahan informasi di antara para politisi, media berita dan publik. Proses ini bekerja menuju ke bawah dari lembaga pemerintah kepada warga, secara horisontal menghubungkan aktor politik dan bergerak ke atas dari opini publik ke arah kekuasaan (Pippa Noris, 2004).
Dalam isu revisi UU KPK, pesan-pesan yang disampaikan sejumlah politisi di parlemen disebarkan melalui media massa utama, juga Internet, hingga jaringan media sosial, <I>whatsapp, twitter, facebook<P>. Interaksi tidak hanya dari pemegang kekuasaan seperti 45 politisi dari lima partai pengusul, Jaksa Agung HM Prasetyo maupun Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan namun juga dari warga masyarakat melalui internet, terutama menggalang penolakan di situs <I>change.org<P>. Berbagai pesan mustahil menyebar dengan cepat tanpa kecanggihan teknologi media. Benyamin R.Barber (<I>Norris, 2004<P>) menyebutnya sebagai teknologi digital yang memegang harapan bagi mekanisme penyediaan saluran alternatif hubungan kewargaan, ruang obrolan, pengambilan keputusan dalam pemilihan umum atau referendum, mobilisasi komunikasi virtual, dan tingkatan revitalisasi partisipasi massa dalam urusan publik.
Usulan itu akhirnya kandas. Presiden dan DPR (12/10) sepakat menunda rencana itu. Tentu peranan 27.577 penandatangan petisi berjudul “Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK” di <I>change.org<P> tidak kecil. Dengan menandatangani petisi penolakan revisi, warga masyarakat melakukan revitalisasi partisipasi urusan publik, yaitu menolak pelemahan atau upaya pembunuhan KPK. Seperti halnya berulang kali politisi Senayan berupaya melemahkan KPK, berulangkali pula netizen melawannya.
Pesan-pesan yang dikeluarkan para komunikator politik tingkat atas umumnya berfokus pada lembaga KPK. Pengusul revisi seolah bersandar pada ketakutan bahwa KPK melakukan kegilaan misalnya penyadapan. Komunikator lain menggarisbawahi pernyataan bahwa KPK perlu diawasi supaya tidak menjadi <I>super body<P>. Mereka lupa bahwa KPK hadir sebagai <I>state auxiliary body<P>, lembaga yang membantu negara memberantas korupsi karena lembaga yang dimiliki negara tidak bekerja serius. Sudah 70 tahun republik ini memiliki lembaga Kejaksaan dan Kepolisian namun kinerjanya tidak jelas. Kritik mengatakan kinerja Kejagung mandul. Kejagung juga dinilai tidak transparan dalam keterbukaan informasi publik penanganan kasus.
Di kala 45 anggota parlemen lima parpol mengusung revisi UU KPK, Global Conference Parliamentarians Anticorruption menyelenggarakan pertemuan di Yogyakarta. Pertemuan yang dihadiri perwakilan 74 negara menghasilkan 20 strategi penanganan korupsi global lewat Deklarasi Jogjakarta. Memang ironis, ketika forum parlemen dunia menolak korupsi, parlemen Indonesia justru ‘menolak’ lembaga anti korupsi dengan aneka alasan. Berbagai upaya pelemahan hingga rencana pembunuhan KPK boleh jadi didasari ketakutan terhadap lembaga ini. Bisa dipahami karena keseriusan dan keprofesionalannya lembaga KPK telah menangkap dan mengusut para anggota legislatif.
Di era teknologi digital, interaksi antar aktor komunikasi politik tidak lagi dominan atas ke bawah namun juga bawah ke atas. Di zaman ini, partisipasi publik ikut berperan mengolah pesan-pesan politik. Media massa utama menjadi jembatan komunikasi, termasuk menyebarkan pesan-pesan dukungan kepada KPK oleh berbagai kelompok masyarakat di sejumlah kota. (*)
Dr Lukas S Ispandriarno
(Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
No comments:
Post a Comment