Koran SINDO
Rabu, 21 Oktober 2015
Airlangga Pribadi Kusman
Dalam kosmologi Jawa, tradisi ruwatan adalah rangkaian aktivitas kebudayaan
untuk membersihkan diri kita dari beban maupun kesalahan di masa silam yang
membatasi langkah kita untuk menatap masa depan.
Prosesi meruwat adalah tradisi ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk
merehabilitasi hidup, baik dalam diri seseorang maupun hubungan antarkelompok
dalam sebuah komunitas bersama. Dalam pemahaman akan makna kosmologis dari
tradisi ruwatan inilah penting kiranya menghubungkan relevansinya dengan
gagasan rekonsiliasi nasional atas peristiwa kekerasan struktural era 1965 yang
kita kenang 50 tahun yang lampau.
Seperti halnya prosesi meruwat, perjuangan mewujudkan rekonsiliasi nasional
dalam konteks kekerasan struktural negara era 1965 didasari pandangan filosofis
bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini, dan masa depan. Kemampuan manusia
untuk menuliskan kisah masa depannya kerap kali dibatasi oleh konsekuensi dari
perbuatannya di masa lalu.
Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks
Beranda
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
Indeks
Sindonews
Berita Terbaru Seputar Ekonomi dan Bisnis di Indonesia dan Dunia
Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks
Nasional Opini
Reportase Koran SINDO
Pemerintah (Belum) Serius Tangani Asap
Terapkan Ilmu untuk Kepentingan Masyarakat
Kelas Menengah & Representasi Publik
more
PHOTO
Rumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban AsapRumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban Asap
Laku Pandai Akses Keuangan untuk SemuaLaku Pandai, Akses Keuangan untuk Semua
more
VIDEO
Minggu Tarif Tol Naik Minggu, Tarif Tol Naik
DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang undang DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang-undang
more
Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Abd Rohim Ghazali
A+ A-
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan
ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana
kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.
Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko
Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari
Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga
menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa
Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik
dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.
Jika diuraikan lebih jauh, dari segi waktu, dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, jihad sudah berlangsung lama, bahkan sejak jauh
sebelum kemerdekaan. Resolusi Jihad hanya satu episode singkat dari
proses perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang
kemudian melahirkan sejarah Hari Pahlawan. Ini yang pertama.
Kedua, para pelaku sejarah jihad tidak bisa dibatasi pada mereka
yang terlibat dalam Resolusi Jihad. Setiap episode perjuangan sudah
pasti ada tokohtokoh pelakunya yang menjadi pelopor dan penggerak
perjuangan. Sederetan nama pejuang yang sudah ditetapkan pemerintah
sebagai pahlawan nasional menjadi bukti sekaligus rekognisi ketokohan
mereka dalam setiap episode sejarah perjuangan yang dilakoninya.
Ketiga, yang paling penting, pemaknaan jihad tidak bisa dibatasipada
perjuangan fisik belaka (harbi). Jihad harus dikembangkan maknanya
secara lebih luas, seluas cakrawala kiprah kemanusiaan sesuai minat,
bakat, dan tuntutan zaman. Perjuangan dibidang ekonomi, politik, hukum,
dan iptek adalah bagian dari manifestasi makna jihad dalam spektrumnya
yang luas.
Janji Politik
Penetapan Hari Santri merupakan salah satu janji yang disampaikan
Jokowi saat kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden untuk
menjawab tuntutan umat khususnya warga Nahdlatul Ulama. Tuntutan yang
diajukan saat kampanye sulit untuk tidak dipenuhi karena tujuan kampanye
adalah untuk dipilih.
Mengabaikan tuntutan saat kampanye sama artinya dengan keengganan
untuk dipilih. Lantas, mengapa muncul adagium, kampanye adalah satu hal
dan memerintah adalah hal yanglain? Karena, antara janji-janji yang
disampaikan saat kampanye tidak ekuivalendenganapayangharus dijalankan
saat memerintah.
Tugas dan kewajiban saat kampanye, selain menyampaikan program,
adalah menjawab pertanyaan dan tuntutan dari khalayak yang terlibat
dalam proses kampanye. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah
menjalankan dan mematuhi undang-undang yang disusun dan ditetapkan
melalui proses legislasi yang juga diatur dengan undang-undang.
Janji yang disampaikan saat kampanye bisa ditunaikan saat memerintah
sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang. Janji kampanye yang
bertentangan dengan undangundang tidak boleh ditunaikan saat
memerintah. Sedangkan janji kampanye yang tidak bertentangan dengan
undang- undang, namun berpotensi melanggar undang-undang (karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan misalnya) tidak seharusnya
ditunaikan saat memerintah.
Prinsip Keadilan
Penetapan Hari Santri menjadi pelajaran penting baik bagi para
pemimpin (pemerintah) maupun masyarakat pada umumnya (rakyat). Bagi
pemimpin, apalagi pemimpin nasional, seyogianya tidak terjebak pada
kepentingan parokial. Pengutamaan kepentingan parokial sama artinya
dengan pengabaian keadilan.
Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ada dua prinsip
utama keadilan, yakni pertama, setiap orang mempunyai hak kebebasan
yang sama atas kebebasan yang paling dasar dan luas, yang tidak
dibedakan dengan yang lain; dan kedua, hak dalam bidang sosial dan
ekonomi yang harus diatur agar tidak mengalami ketimpangan.
Terkait dengan tema tulisan ini, mari kita fokus pada prinsip
keadilan pertama, yang berkaitan dengan hak-hak politik baik dalam
implementasi maupun rekognisi. Dalam ranah implementasi, setiap orang
punya hak untuk memilih dan dipilih dalam menduduki jabatan publik,
punya hak kebebasan berbicara, berserikat, berkeyakinan, serta bebas
dari perlakuan sewenang- wenang.
Dalam ranah rekognisi, setiap hak itu membutuhkan pengakuan pihak
lain, terutama dari pemerintah. Tugas pemimpin adalah menjaga agar
implementasi dan rekognisi dari hak-hak itu dilakukan secara adil, tidak
mengutamakan yang satu dari yang lain. Dengan kata lain, menegakkan
rule of law harus dijalankan dengan prinsip equality before the law.
Artinya, dalam memberikan pengakuan pada hak-hak setiap, atau
sekelompok orang, harus dengan kadar yang sama, tanpa mengistimewakan
yang satu dari yang lainnya. Bagi masyarakat secara umum (rakyat),
penetapan Hari Santri bisa memberi pelajaran bahwa dalam menuntut hak
kepada pemimpin pun harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan.
Dalam menuntut hak untuk diakui misalnya tidak boleh didasarkan pada
kepentingan individu atau kelompok yang (berpotensi) mengabaikan atau
melanggar hak-hak individu atau kelompok yang lainnya. Yang boleh atau
bahkan harus dituntut dari pemimpin (pemerintah) adalah hak yang bisa
diakui, dijalankan, atau dinikmati oleh semua warga negara, baik secara
individual maupun kelompok. Wallahu alam !
1
Menkumham Akan Patuhi Putusan MA Terkait Golkar dan PPP
2
Bahas RAPBN 2016 Alot, Fadli Dipanggil Prabowo Subianto
3
Pak Raden Tutup Usia
4
KSAU Ingin Indonesia Segera Punya Pesawat Beriev Be-200
5
Anggaran Gedung Baru DPR Rp740 Miliar Muncul di RAPBN 2016
BERITA TERKINI
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
TNI AU Tingkatkan Status Tujuh Lanud
Tangkal Terorisme, Menpora Ajak BNPT Goes to Campus
Ketum PAN: Cita-cita Reformasi Belum Sesuai Harapan
Menko Polhukam Sebut Ekonomi Akar Masalah Terorisme
PAN Gembleng 100 Mahasiswa Jadi Kader Muda
Bangun Kedaulatan Informasi, Kemhan Gandeng Perusahaan Antisadap
Kemudahan Memilih Tingkatkan Partisipasi Disabilitas
HOT TOPIC
# Kebakaran hutan
# Korupsi Bansos Sumut
# Dewan Perwakilan Rakyat
# Kabinet Jokowi-JK
# Politik Anggaran
Top
Find Us at :
MNC
CHANNEL
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
MNC MEDIA
iNews TV
RCTI
Global TV
MNC TV
Koran Sindo
Sindo Weekly
Sindo Trijaya FM
MANAGEMENT
Tentang Kami
Redaksi
Karir
Kode Etik
Disclaimer
Term Of Service
Privacy Policy
Sitemap
Kontak Kami
Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Abd Rohim Ghazali
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena
sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford
Geertz: santri-priyayi-abangan.
Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung
sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang
disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan
mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk
penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.
Rasanya
terlalu tergesa-gesa dan cenderung reaksioner ketika Presiden Jokowi
mengatakan tidak ada PHK dalam kondisi perekonomian saat ini. Ini
bertolak belakang dengan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
ada PHK 43.000 orang lebih. Angka September itu naik 65% dari 26.500
korban PHK per Agustus 2015.
Sejumlah
pemerintah daerah juga telah melaporkan angka PHK. DKI Jakarta 1.546
orang, Banten (7.294), Jawa Barat (7.779), Jawa Tengah (3.370), Jawa
Timur (5.630), Sumatera Utara (398), Kepulauan Riau (6.347), dan
Kalimantan Timur (10.721).
Di
saat bersamaan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaaan mencapai 1,9
triliun rupiah dari 200 ribu orang yang mengajukan pencairan. Pencairan
dilatarbelakangi problem himpitan ekonomi.
Ketika
Adam, manusia pertama di bumi, memetik daun untuk menutupi bagian
tubuhnya yang telanjang, juga tubuh Hawa, ketika itu tercipta model pertama kalinya. Peristiwa yang terus berkembang dengan penemuan
pakaian, sampai kemudian menjadi industri busana. Salah satu profesi
yang terangkat ke permukaan adalah desainer, sang perancang. Dan yang
sering lebih menarik perhatian adalah sang model. Atau memperagakan
pakaian, juga dikenal sebagai peragawati. Namun istilah model lebih
popular. Barang kali lebih pendek pengucapannya, barang kali punya
banyak makna. Karena model bisa dikaitkan dengan lukisan—misalnya
menjadi model lukisan. Biasanya untuk pelajaran anatomi.
Model
juga berarti barang tiruan dengan ukuran yang lebih kecil dari aslinya.
Misalnya model rumah atau model pesawat terbang. Model dalam artian
orang yang pekerjaannya memperagakan contoh pakaian termasuk dalam
sorotan besar. Banyak yang terkait dengan nama besar—yang berarti juga
bayaran besar melebihi gaji menteri, banyak yang merangkap kerja sebagai
artis, atau seleb yang sekaligus model iklan. Lobi dan hasil gaulnya
juga kelas tinggi—kalau tidak tinggi sekali.
Implementasi
penyaluran Dana Desa memasuki termin ketiga November 2015 ini. Dari
total dana desa 20,7 triliun rupiah dari APBN Perubahan 2015, sebesar
80% telah dicairkan Kementerian Keuangan ke rekening daerah untuk
selanjutnya ditransfer ke rekening Bendahara Desa.
Progress
penyaluran dana desa (DD) berbeda di setiap daerah. Penyaluran ke luar
Jawa banyak lambat. Misalnya, untuk desa-desa di Indonesia Timur
rata-rata baru 40-50%. Keterlambatan penyaluran dan penyerapan DD
karena pemerintah desa tidak siap memenuhi syarat administratif semacam
Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan legalisasi
peraturan desa tentang APBDes. Laporan penggunaan DD termin pertama dan
kedua juga lambat.
DD
sendiri disalurkan ke seluruh desa (74.012 desa). Rata-rata tiap desa
menerima 250 juta rupiah. Dalam skema UU No 6 Tahun 2014 DD untuk
operasional pemerintah, program pembangunan, serta pemberdayaan
masyarakat desa.
Tema
Hari Sumpah Pemuda ke-87 Tahun 2015 adalah Revolusi Mental untuk
Kebangkitan Pemuda Menuju Aksi "Satu untuk Bumi." Ini relevan dengan
kondisi sekarang yang menuntut segenap pemuda berevolusi mental untuk
menghadapi persaingan global.
Sumpah
Pemuda menjadi inisiatif luar biasa Perhimpunan Pelajar-pelajar
Indonesia (PPPI) 87 tahun lalu yang menjadikannya tonggak kokoh
persatuan Indonesia. Aktualisasi semangat Sumpah Pemuda kini menjadi
penting, lantaran bangsa membutuhkan inisiatif besar untuk menghadapi
globalisasi. Persaingan ideologi telah berganti menjadi kompetisi
inovasi antarbangsa.
Apalagi planet bumi kondisinya semakin crowded
sehingga perlu inisiatif untuk melahirkan berbagai solusi cerdas.
Melihat kondisi global seperti itu, “Indonesian Incorporated” sekarang
membutuhkan tokoh-tokoh zeitgeist, yang benar-benar mampu mengendalikan semangat zaman dengan berbagai inovasi. Tokoh-tokoh itu harus mampu menciptakan economic value sebesar-besarnya bagi negeri kaya sumber daya ini.
Satu tahun
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diliputi a basket of
case atau segudang persoalan, antara lain masalah kabut asap yang
terjadi selama 17 tahun, negosiasi perpanjangan operasi PT Freeport
Indonesia (PTFI), hingga peraturan baru deregulasi perbankan. Semua
ini menjadi pemberitaan media massa dalam dan luar negeri.
Analisis pers luar
negeri yang berbobot dari Financial Times, International
New York Times menarik perhatian saya yang lama tinggal di luar
negeri, tetapi dengan bangga masih berwarga negara Indonesia. Pada
15-19 Agustus 2014, saya mengunjungi PT Freeport Indonesia dalam
rangka menulis buku. Di 14 Agustus tengah malam, saya terbang dari
Jakarta dengan Airfast melalui Makassar ke Timika. Ini penerbangan
khusus untuk karyawan dan kontraktor PTFI.
MEDIA
massa dan media sosial menyebarkan pesan komunikator politik Senayan
berupa usulan revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Penolakan datang dari warga masyarakat sebagai
elemen penting komunikasi politik. Yang menarik, di tengah kehebohan
itu, seorang anggota parlemen Indonesia terpilih sebagai Presiden GOPAC
(Konferensi Global Parlemen Anti-Korupsi).
Komunikasi politik
adalah proses interaksi bagi perpindahan informasi di antara para
politisi, media berita dan publik. Proses ini bekerja menuju ke bawah
dari lembaga pemerintah kepada warga, secara horisontal menghubungkan
aktor politik dan bergerak ke atas dari opini publik ke arah kekuasaan
(Pippa Noris, 2004).
'JOKOWINOMICS'
merupakan istilah yang penulis gunakan untuk kebijakan ekonomi yang
telah dijalankan Pemerintahan Jokowi. Dan apa yang dilakukan pada awal,
cukup menarik. Seperti menghapus/mengurangi subsidi BBM di awal Januari
2015. Kebijakan yang tidak populer berani diambil Presiden Jokowi.
Subsidi BBM yang hampir mencapai Rp 300 triliun pertahun dikurangi
secara signifikan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi
serta subsidi untuk kesejahteraan rakyat (khususnya sektor pendidikan
dan kesehatan).
Subsidi BBM akhirnya memang harus dihapus karena
alasan yang rasional. Pertama, subsidi BBM tidak tepat sasaran.
Masyarakat yang berpenghasilan tinggi menikmati subsidi BBM lebih besar.
Kedua, subsidi menyebabkan harga BBM lebih rendah dan mendorong
masyarakat mengkonsumsi secara berlebihan (overconsumption). '
Genap setahun pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tampaknya
belum dapat dinilai keberhasilannya.
Revolusi
mental memang harus dimulai dari penyelenggara negara: politikus,
penegak hukum, dan pejabat birokrasi. Karena itu, tulisan ini akan
berfokus pada revolusi mental birokrasi dan mengurai persoalan dasar
dalam model mental dan budaya birokrasi kita.
Model mental birokrasi
Mengapa
revolusi mental selayaknya harus dimulai dari biro- krasi? Karena
birokrasi adalah alat negara yang sehari-hari menjalankan pelayanan,
pemerintahan, dan pembangunan. Karena peran dan fungsinya, birokrasi
akan jadi tolok ukur terdepan penampilan negara kepada rakyatnya. Sikap
mental birokrasi yang bersih, melayani dengan profesional tentu akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Sebaliknya akan
terjadi. Jika birokrasi dipandang korup, pilih kasih, dan tak bisa
diandalkan, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada negara.
Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat penting dan krusial dalam
perubahan model mental masyarakat keseluruhan.
Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti.
Pertama,
siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara
seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu. Kedua, sasaran
kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah
ditentukan oleh realitas di Tanah Air. Ketiga, jika program ini
dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental",
ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan. Terakhir, di atas
semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai
bagaimana laku para pelaksana negara vis-Ã -vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini.
Saya
belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup
memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan
bela negara. Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita
sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu. Kita tahu
bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan
munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru.
Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri
dan dicampakkan, mustahil klop.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, mengundang kita untuk memperkaya, melakukan koreksi, dan mengambil hikmah.
Memperkaya, bahkan mengoreksi, bertujuan agar bangsa memiliki narasi
sejarah yang terbebas dari kepentingan politik sektoral, pragmatis, dan
jangka pendek. Kebaikan bersama menjadi batu penjuru dan batu sendi.
Introspeksi dan koreksi, bila perlu, merupakan bagian dari proses
menemukan kebenaran (Karl Popper).
Peristiwa 28 Oktober 1928 mengingatkan kebanggaan kita tentang ikrar
pemuda Indonesia sebagai bangsa yang berbangsa, bernegara, dan berbahasa
satu: Indonesia. Narasi besar Kongres Pemuda II itu, kecuali yang
bersifat pelengkap atau tambahan, dirasa memadai. Dekrit kesatuan 28
Oktober 1928, Hari Sumpah Pemuda, merupakan salah satu tonggak kesadaran
kebangsaan Indonesia.
Surat edaran Kementerian Dalam
Negeri Nomor 100/449/SJ tertanggal 26 Januari 2015, yang ditujukan
kepada seluruh sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh
Indonesia, memerintahkan untuk menyeragamkan penyebutan bagi Presiden
Joko Widodo (Jokowi) pada saat acara.
Formatnya: "Yang Terhormat
Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi". Ini adalah salah satu upaya
untuk menjunjung formalitas dalam berbahasa Indonesia sehingga
kesantunan berbahasa Indonesia dapat terjaga. Tentu upaya yang baik
mengingat komunikasi antara Presiden dan rakyat Indonesia memang terjadi
di ruang publik, bukan ranah pribadi atau privasi. Namun, sudah
benarkah format tersebut?
Bahasa adalah sebuah kode, yang
mengatur kehidupan komunikasi verbal dan nonverbal manusia sehari-hari,
dalam situasi formal, informal, atau campuran keduanya. Namun,
penggunaan bahasa tidak bisa begitu saja kita "lontarkan" kepada siapa
saja, dengan bentuk apa saja.
[ Oleh Airlangga Pribadi ] KOMPAS - Rabu, 13 May 2009 :
Pada tahun 1902 di Amsterdam, editor majalah Bintang Hindia, dokter
Abdul Rivai, membuka edisi perdana dengan argumen yang menggetarkan.
“Tak perloe memperpandjang
perbintjangan kita mengenai bangsawan oesoel karena kemuntjulannja
memang telah ditakdirkan. Djika nenek mojang kita terlahir sebagai
bangsawan, kita poen bisa diseboet sebagai bangsawan bahkan meskipoen
pengetahoean dan prestasi kita tak ebahnja seperti pepatah katak dalam
tempoeroeng. Saat ini prestasi dan pengetahoeanlah jang akan
menentoekan posisi seseorang. Inilah sitoeasi jang melahirkan munculnja
bangsawan pikiran“.
Ketika semakin banyak orang mempertanyakan mengapa proses demokrasi di
Indonesia tidak melahirkan elite-elite politik yang mampu membawa
kesejahteraan sosial dan keadilan publik, gagasan tentang pemerintahan
yang kuat tampil mengedepan sebagai isu sentral yang ditawarkan para
politisi menjelang Pemilu 2009.
Menggelindingnya ide tersebut diperkuat oleh beberapa peristiwa politik,
seperti serbuan gencar iklan di media massa dari Prabowo Subianto dan
Partai Gerindra, retorika para elite politik dan fenomena terakhir yang
terekam dalam berita utama Kompas (13/3) sekitar pertemuan antara Mega
dan JK yang salah satu draf hasil kesepakatannya adalah pentingnya
pemerintahan yang kuat untuk masa depan Indonesia.
Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.
Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik
terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan
kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus
diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang
otentik?
Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang
kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat,
kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya.
Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke
dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan
gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi
gerakan sosial.
Makin
lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan
masyarakat oleh menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu
memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial,
dan keamanan—akan muncul gerakan individu atau masyarakat mengambil
alih dengan caranya sendiri. Cara yang cenderung muncul adalah praktik
liar yang menegasi norma dan hukum negara:
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme.
Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan
lembaga-lembaga kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar
rakyat. Kebijakan negara banyak bertentangan dengan kepentingan umum
dan hukum negara hanya memberi keadilan kepada yang bisa membeli. Kita
seperti hidup di negara mabuk yang kehilangan akal sehat dan rasa
kemanusiaan.
Di tengah berita seputar pertemuan pemimpin Amerika Serikat (AS) dan
Indonesia, terselip suasana yang tidak nyaman dalam kunjungan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) ke AS pekan ini.
Indonesia tengah dilanda kebakaran lahan gambut yang berkepanjangan
sejak Juni. Media massa seluruh dunia, termasuk di AS, tidak dapat
membicarakan kunjungan Presiden Jokowi tanpa mengangkat bencana
kebakaran lahan gambut yang telah menyebar hingga ke negara-negara
tetangga.
Beberapa media menyebutkan, kebakaran lahan gambut yang berlangsung
beberapa bulan itu sama efeknya dengan total jumlah emisi karbon AS
(karbon dari pembangkit listrik, mobil, konsumsi rumah tangga, dst)
selama setahun! Oleh sebab itu, bagi AS, kehadiran Presiden Jokowi di
Ruang Oval Gedung Putih memunculkan dilema. Di satu sisi Presiden Jokowi
adalah wajah dari model demokrasi negara dengan mayoritas penduduk
muslim terbesar di dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Upaya mencegah bahaya paham radikal dan
aksi terorisme secara semesta terus digalakkan semua komponen bangsa dan
pemerintah dengan melibatkan kementerian dan lembaga serta seluruh
lapisan masyarakat. Mulai dari hulu hingga hilir, holistik, terpadu,
terintegrasi, bekerja sama, bukan sama-sama kerja.
Memperbanyak
kontra narasi bahaya menyebarnya paham radikal serta akibat aksi
terorisme tepat digalakkan, mulai dari kelompok masyarakat yang aktif
dan pengguna media sosial hingga ke lompok masyarakat ke las menengah
bawah yang tak punya fasilitas media online.
Masyarakat kategori
ini adalah yang sejak pagi hingga pagi lagi bergelut di atas tumpukan
sampah sebagai pemulung. Mereka yang hidup di atas perahu kecil mencari
ikan sebagai nelayan. Mereka yang duduk dan merangkak di seputar lampu
merah, hidup di bawah eksploitasi sebagai pengemis. Serta kelompok
masyarakat yang berusia belia dan tentu masih sangat produktif, tapi
tidak memiliki media membuka dan membaca informasi dari media sosial dan
online.
Peristiwa Tahun Baru Hijriyah menjadi renungan bagi umat Islam di
seluruh dunia. Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW pada 622 M menjadi
titik tolak untuk melakukan refleksi betapa kemanusiaan dan keagamaan
menjadi bagian integral dari Islam.
Peristiwa hijrah pada abad
ke-7 Masehi itulah yang menjadi penanda hadirnya Islam sebagai agama
rahmatan lil 'alamin. Kisah kerja sama dan persaudaraan antara kaum
Anshar dan Muhajirin merupakan pintu bagi kita semua untuk belajar
berbagi, menghormati, dan menyayangi.
Lalu, bagaimana kita
memaknai Tahun Baru Hijriyah di tengah selebrasi koruptor dan kisruh
permusuhan umat antarumat beragama? Perlu ada langkah konkret dari
pemimpin bangsa untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini.
Rancangan Undang- Undang Revisi Komisi
Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi
karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana
pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya,
tentang hak penyadapan.
Untuk sementara bagi para pegiat
anti-korupsi, ini melegakan. Namun, harus dijelaskan seluas mungkin
kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun
peradaban bersih ke depan.
Tulisan ini akan melihat betapa
urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberantasan korupsi,
setidaknya sampai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah
bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis,
dan struktural.
Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat
panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak
penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan "politik benteng" pada
1950-an. Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wirausaha
secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan
entrepreneurdalam bilangan jari.
Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) Republik Indonesia
untuk menerapkan kebijakan bela negara bagi warga negara Indonesia kini
menjadi sorotan luas. Pasalnya, program yang dimaksudkan untuk
mempertebal wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air di kalangan
rakyat Indonesia itu tampaknya mendapatkan resistensi dari sejumlah
pihak. Mereka khawatir atas kemungkinan bergesernya kebijakan itu ke
arah pembungkaman suara-suara kritis dari publik.
Pertanyaan
paling mendasar terkait dengan program bela negara tersebut adalah
sejauh mana signifikansinya terhadap pembentukan karakter warga negara
Indonesia yang diharapkan: taat, berdisiplin, dan sejensinya? Ataukah
justru program itu malah akan membentuk karakter-karakter militeristik
yang kaku, textbook, dan sebagainya?
Paket kebijakan ekonomi I, II, III, hingga IV yang dikeluarkan
pemerintah adalah "syarat keharusan" (necessary condition), tapi belum
cukup (unsufficent condition) untuk menggerakkan sektor riil,
meningkatkan daya saing industri, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Terutama, bagi rakyat rentan miskin yang lebih dari 50 persen penduduk
(dengan pengeluaran 2 dolar AS per hari).
Hal itu karena "belum
menyentuh akar persoalan" dari struktur ekonomi yang sudah terperangkap
oleh "para pemburu rente" (mafia migas, pangan, impor, perusahaan yang
menikmati monopoli/oligopoli, monopsoni/oligopsoni, bahkan kartel) yang
menciptakan ekonomi biaya tinggi selama ini. Dengan keadaan ini, problem
eksternal (ketidakpastian tingkat bunga AS dengan tappering off-nya
berjalan terus beserta pelemahan ekonomi Cina) yang menimbulkan
depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS terburuk sejak 1988 dan sulit
terkendali serta makin menyulitkan pemerintah untuk melindungi 50 persen
penduduk dari kemerosotan daya beli dan kesejahterannya.
Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil
presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan
yang dipanggulkan kepada keduanya.
Hasil survei Indobarometer
pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik
terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan
sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik
menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia
tidak puas dengan kinerja presiden.
Jika kita melihat kinerja
pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu
wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya
jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya
pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil
ketidakpuasan itu.
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2015
memunculkan keberatan pada sebagian umat Islam. Pertama, dikhawatirkan
membuka luka lama dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang
belakangan sudah mencair.
Kedua, pemilihan tanggal 22 Oktober
yang dikaitkan dengan seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari pada 22
Oktober 1945 dikhawatirkan mereduksi makna jihad, mengingat jihad
melawan penjajah tidak hanya setelah proklamasi kemerdekaan, tapi juga
jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketiga, peringatan HSN ini dikhawatirkan
dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Secara
epistemologis, kekhawatiran kelompok yang tidak setuju kurang beralasan.
Sebab, pertama, akan munculnya polarisasi santri dan abangan terlalu
berlebihan. Konsep Clifford Geertz dengan trikotomi klasifikasi Islam di
Jawa (abangan, santri, dan priyayi) ini dipertanyakan keabsahannya.
Selain tidak mampu mengelaborasi makna santri dan abangan, antropolog
asal Amerika Serikat ini juga tidak konsisten menetapkan variabel
santri, abangan, dan priyayi.
Ditengarai sukarnya pemberantasan kabut asap di Sumatra dan
Kalimantan karena ada mafia (kita sebut saja mafia asap) dalam sistem
pengelolaan hutan di negeri ini. Apa pun usaha dan program untuk
memberantasnya selalu berakhir sesuai dengan kehendak sang mafia. Maka
dalam konteks ini bolehlah negeri kita disebut negeri para mafioso,
suatu istilah yang lebih dikenal dalam kartel perdagangan narkotika di
Meksiko.
Sang mafia karena dibekali dana berlimpah dan jaringan
kekuasaan, dapat mengatur dan mengendalikan semuanya di balik layar.
Tinggal perintah dan tekan tombol. Jika pun ada yang tertangkap, si
pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) hanyalah orang suruhan
(kroco) sekaligus menjadi tumbal yang dapat dikambinghitamkan oleh
manusia-manusia yang kehilangan nurani.
KORAN REPUBLIKA, Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
Banyak masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat
konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah.
Proses pemilu nasional di Indonesia diatur dalam tiga undang-undang: UU
Penyelenggara Pemilu; UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; serta UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu, penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah diatur oleh UU No 1 Tahun 2015 jo UU No 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada
sebelumnya diatur oleh UU Pemerintahan Daerah dan kemudian dipisahkan
pada 2014 setelah beberapa kali perubahan.
Semua UU ini telah
mengalami banyak uji materi dan perubahan secara terpisah setiap siklus
pemilihan akan dimulai. Ditambah lagi, pendekatan ad hoc dalam perubahan
hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi
di setiap UU.
Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering
kali mengakibatkan ketidakjelasan prosedur hukum bagi penyelenggara
pemilu. Belum lagi, tumpang tindih dan kontradiksi antarketentuan UU,
inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang
menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan.
Seharusnya,
kerangka hukum pemilu yang ada mampu memberikan ruang bagi penyelenggara
pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan secara
mudah dan tidak ambigu. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan
kebingungan bagi pemangku kepentingan dalam menafsirkan prosedur pemilu.
Fakta di atas telah mendorong wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU
Pemilu serta menyatukan berbagai UU itu menjadi satu UU Pemilu. Ini
tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum
pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan teknisnya.
Namun, tampaknya para pembuat kebijakan cuma mau mengodifikasi dua UU
Pemilu, yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal
ini dikarenakan masih adanya perdebatan mengenai posisi pilkada yang
tidak berada di bawah rezim pemilu nasional serta argumen yang
mengatakan UU Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.
Selain adanya pandangan dari Kemendagri sebelumnya bahwa karena upaya
desentralisasi, UU, dan isu pilkada harus dibuat terpisah dari UU yang
mengatur pemilu nasional. Pandangan ini mengabaikan fakta
penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak
melanggar kewenangan pemerintah daerah. Pilkada juga diselenggarakan
dalam asas luber, jurdil, dan demokratis, seperti halnya penyelenggaraan
pemilu.
Momentum untuk mengodifikasi UU Pemilu semakin kuat
setelah putusan MK No 14/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014. Putusan ini
menyatakan, pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak
konstitusional dan memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.
Hal ini memengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia.
Karena itu, urgensi untuk menetapkan sebuah UU baru sebagai landasan
hukum bagi pemilu serentak nasional pada 2019 adalah waktu yang tepat
untuk mengkaji, memperbarui, serta mengodifikasi empat UU pemilu menjadi
satu UU pemilu.
Kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah UU
sebagai sebuah teknik legislasi terinspirasi oleh tiga prinsip utama:
sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara
terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut.
Maka itu,
seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin
perlindungan hak-hak individu yang lebih baik. Sebuah sistem hukum yang
terkodifikasi idealnya akan mengatasi masalah, seperti konflik
antaraturan yang berbeda, opini berdasar doktrin, dan tidak seragamnya
putusan pengadilan.
Dengan memperkenalkan cara baru untuk
membuat dan menyusun ketentuan hukum pemilu, ini mewakili titik balik
dalam metode pengaturan lewat UU. Dalam pandangan internasional, di
negara yang memiliki kecenderungan memperbarui hukum pemilu pada tiap
siklus pemilu atau secara berkala sesuai agenda legislasi, kodifikasi
akan menjaga konsistensi selama proses pembaruan.
Setelah hukum
yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi
lebih mudah dan tidak berisiko membuat kerangka hukum menjadi lemah.
Namun, meski kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi
masalah di atas, UU Pemilu yang terkodifikasi juga tak bisa dikatakan
pasti memberikan jaminan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik atau
lebih dianjurkan dibandingkan UU Pemilu yang terpisah. Di beberapa
negara, proses pemilu yang diatur oleh beberapa UU dapat dilaksanakan
dengan baik dan tidak melanggar penerapan UU tersebut.
Dalam
menghadapi pemilu serentak nasional pada 2019 dan pilkada serentak pada
2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang
lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu. KPU akan lebih
mudah dalam menyelenggarakan pemilu, dan peserta pemilu akan lebih
mudah memahami dan memprediksi peraturan di dalam satu UU.
Sekarang, kita sudah di akhir 2015, sudah saatnya DPR dan pemerintah
bergegas menyiapkan segalanya. Sebab, UU Pemilu inilah yang akan
mengatur hajat hidup kontestasi mereka.
Belajar dari pengalaman
Pemilu 2014, UU Pemilu harus sudah siap penyusunannya
sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya,
paling lambat April 2017 UU Pemilu untuk pemilu serentak tahun 2019
harus sudah disahkan oleh DPR bersama pemerintah.
Karena itu,
di tengah momentum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2016, DPR dan pemerintah semestinya segera memasukkan kodifikasi hukum
pemilu dalam satu naskah UU Pemilu sebagai prioritas legislasi untuk
Prolegnas 2016. Harapannya, awal 2016, pembahasan UU Pemilu ini bisa
segera dimulai oleh DPR bersama pemerintah.
Jangan sampai di Pemilu 2019 kita kembali mengalami kerangka hukum pemilu yang tambal sulam.
Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
KORAN REPUBLIKA, Selasa, 27 Oktober 2015, 14:00 WIB
Adalah kenyataan sejarah bahwa lintasan dan momentum sejarah
perjuangan bangsa senantiasa dipelopori oleh kaum muda. Sejarah
Indonesia modern mencatat, gagasan besar dan tindakan heroik dilontarkan
dan dilakukan oleh kaum muda. Formulasi gagasan dan wujud konkret
gerakan kaum muda yang fenomenal terdokumentasi sangat heroik dan apik
dalam kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa yang baru bertajuk "Sumpah
Pemuda".
Peristiwa Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928
menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan sejarah bangsa. Peristiwa
ini menandai suatu fase di mana proses integrasi bangsa menjadi lebih
nyata yang ditandai dalam suatu ikrar kebulatan tekad sebagai sebuah
bangsa. Peristiwa ini adalah klimaks dari pencarian identitas baru yang
telah bermula sejak awal abad 20 dan manifestasi puncak dari peranan
kaum muda sebagai aktor sejarah.
Tidak hanya itu, momentum ini
sekaligus jawaban terhadap praktik kolonialisme Belanda yang melakukan
politik ekspansi ke seluruh wilayah Nusantara yang kemudian menjelma
Hindia Belanda. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda adalah aktualisasi
gagasan nasionalisme vis a vis kolonialisme.
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang
punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam
sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara,
Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik
formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi
peradilan.
Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara,
Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut
campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda.
Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.
Akhirnya," tulis Ben Anderson,
"saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada
permulaannya memang ditentukan oleh 'kesadaran pemuda' ini."
Mohammad
Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris:
"Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut
berpolitik?" Lantas ia jawab sendiri: "Kalau mahasiswa Belanda,
Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba
menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk
suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang
sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah
disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di
tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan
yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat
membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan
serius untuk usianya."
Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia
itu tidaklah jatuh dari langit, tetapi sengaja diusahakan melalui
penaburan benih-benih kecerdasan yang disemai di ruang publik. Memasuki
dekade kedua abad ke-20, generasi baru, yang terdidik secara baru,
melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yang panjang bumiputra hidup
bagaikan katak dalam tempurung; dan tempurung itu dipercaya sebagai
langit luas. Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang
diderita oleh massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa "senjata"
lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana
perjuangan.
Generasi baru tampil dengan menawarkan "senjata"
baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru.
Senjata itu bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala
elemen-elemen kemapanan menyeru pada "kejumudan" dan "kesempitan", kaum
muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat
republikanisme yang lebar dan inklusif. Dengan kecerdasan dan ideologi,
generasi baru menyadari bahwa rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan
yang banyak dan beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan menjadi
kebersamaan jika tidak memiliki "bilangan penyebut" yang sama.
Perjuangan dari keragaman posisi subyek memerlukan titik temu (common denominator).
Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan dalam nama
Indonesia, dengan imaji komunitas bersama yang dikonstruksikan melalui
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928: bertumpah darah satu, tanah air
Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.
Pembongkaran kreatif
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois
dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah
30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti
dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968),
bersendikan kecerdasan dengan kepercayaan diri dan kesanggupan
menanggung risiko sehingga memiliki kemampuan untuk mendekonstruksi
bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik.
Sumpah Pemuda
itu juga berisi tekad dari suatu kaum yang progresif, bahwa pendefinisi
utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind).
Dalam ungkapan Samuel Ullman, "Pemuda bukanlah persoalan lutut yang
lentur, bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah
tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi
kehidupan."
Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran jiwa
yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup
bersama. Meski bahasa Jawa dengan jumlah penutur paling banyak, dan
pemuda-pelajar yang menghadiri Kongres Pemuda itu juga banyak yang
berasal dari tanah Jawa, bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa
persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka
sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Sumpah
Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang
mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Di bawah
payung "nasionalisme kewargaan", segala kesempitan dan keragaman
dipertautkan ke dalam keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan
mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas
kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke
pintu gerbang kemerdekaannya.
Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu
sangat penting kita bangkitkan, manakala kehidupan publik-kenegaraan
saat ini cenderung mengabaikan kecerdasan. Kehormatan pikiran kembali
dihinakan oleh politik dinasti dan kekuatan uang, yang membawa
mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya
mediokritas, etos kreatif, dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing
global pada era pasca industri tak bisa berkembang secara kondusif.
Dengan
peluluhan daya pikir, kelebaran semangat nasionalisme kewargaan juga
disempitkan kembali oleh semangat partaiisme, tribalisme, koncoisme,
fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam situasi demikian, proyek
nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda berjalan surut ke
belakang. Kita dihadapkan pada situasi pahit, harus menerima nubuat
dari Edward Shils, "Kendati intelektual negara-negara terbelakang telah
menciptakan ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri, mereka belum
sanggup mencipta sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban dari
kondisi itu karena nasionalisme tidak dengan sendirinya menjelmakan
semangat kewargaan."
Gerak mundur keindonesiaan
Gerak
mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan yang tidak mewujudkan kewargaan
itu sangat tampak dari melemahnya jati diri manusia Indonesia dalam
aspek kedirian yang bersifat publik. Bahwa pribadi yang baik tidak
dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang
baik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal yang bersifat
kolektif mengalami dekadensi: parpol sakit, lembaga perwakilan sakit,
birokrasi sakit, aparatur penegak hukum, dan keamanan-pertahanan sakit,
bahkan organisasi-organisasi keagamaan berskala besar pun mulai
menunjukkan gejala sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat
publik ini mencerminkan kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan
"kecerdasan kewargaan" (civic intelligence). Pendidikan
terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha
mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan
kolektif kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret "huruf"
alfabet, tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka
Tunggal Ika) ke dalam "kata" dan "kalimat" bersama. Akibatnya, banyak
manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan
penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan
haknya).
Padahal, pengembangan "kecerdasan kewargaan" lebih
fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari
kolonisasi individualisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila
memandang, bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya,
setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari
keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh
jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di
bawah keadaan yang sangat luar biasa, tergantung pada bentuk-bentuk
kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat
mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan
kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan
keturunannya.
Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya
yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan
jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk
mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" ("diferensiasi")
dari alam. Pengembangan jati diri juga harus memberi wahana setiap orang
untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai,
sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama yang terkristalisasi
dalam Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang
dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang
menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Karena itu, pengembangan
"kecerdasan kewargaan" berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan
kemajuan bangsa. Namun, persis pada titik itulah simpul terlemah dari
proses pendidikan dan pembangunan selama ini. Peringatan hari Sumpah
Pemuda harus dijadikan momentum mengembalikan trayek kebangsaan
Indonesia pada rel nasionalisme kewargaan, dengan mengembangkan
"kecerdasan kewargaan" berjiwa Pancasila.
Yudi Latif
Sekretaris Dewan Pakar FKPPI dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Pemuda Cerdas Kewargaan".
Final
Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya sejatinya bukan
sekadar pertandingan olahraga, melainkan lebih dari itu. Peristiwa ini
merupakan pengukuhan kembali wibawa pemerintah sebagai pemerintah.
Sebelumnya,
sering kali kebijakan olahraga pemerintah pusat, pemerintah daerah,
juga aparat keamanan seakan didikte para suporter sepak bola. Misalnya,
untuk menghindari kerusuhan antarsuporter-seperti yang sering
terjadi-pertandingan final dipindahkan ke luar Jakarta. Dengan alasan
sama, izin bertanding tidak diberikan, bahkan pernah pertandingan
dihentikan sebelum selesai, semata demi menghindari keributan.
Sebagai langkah jangka pendek, memang kelihatannya bijak,
mengantisipasi kerusuhan. Namun, untuk jangka panjang, akan berdampak
buruk. Pertama, memindahkan tempat pertandingan hanya agar tidak terjadi
kerusuhan sama sekali tidak mendorong masyarakat (baca suporter)
menjadi orang yang lebih baik atau lebih menaati hukum dan keteraturan
sosial.
Keresahan politik berkembang di hati rakyat. Mereka menyadari tatanan
kehidupan sudah semakin rusak. Para penggede negara sudah lupa. Para
pemimpin rohani tetap sibuk berjualan ayat-ayat suci untuk memperkaya
diri sendiri.
Rakyat tersiasia. Keadilan ditunda-tunda. Rakyat menyadari pula, di
negeri ini selembar daun kering lebih berharga dari rakyat itu sendiri.
Betapa getir kehidupan negeri ini. Dan, betapa nista penggede-penggede
kita. Mereka pun bertanya: kapan rakyat menjadi raja? Mengapa kita lupa
memperjuangkannya?
Kapan rakyat makan enak? Kapan rakyat sehat- sehat? Kapan rakyat boleh
pinjam uang di bank? Kapan rakyat punya rumah? Kapan rakyat kebagian
pekerjaan? Kapan rakyat didatangi keadilan? Kapan rakyat berhenti
menjadi TKI? Kapan pemerintah berhenti menipu diri? Rakyat menanti
datangnya Ratu Adil yang bakal mengatur lakon ”Kapan Rakyat Menjadi
Raja”.
Korupsi tak ada matinya. Setiap periode kekuasaan, seakan meneguhkan
pernyataan populer dari Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup.
Para pelaku korupsi bisa berbeda setiap zamannya, tapi modusnya hampir
serupa yakni menggunakan kuasa yang ada di tangannya untuk memperkaya
diri atau kelompoknya.
Ibarat candu, korupsi membuat ketagihan dan ketergantungan, terlebih
jika sistem pengawasan hukum lemah dan kekuasaan dikendalikan para
pemburu rente! Pada dasarnya, pemburu rente senantiasa mencari dan
mendapatkan peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan
birokrasi.
Caranya, menyerahkan sumber daya yang mereka miliki, menawarkan
proteksi, atau memberikan wewenang tertentu yang diaturnya. Saat
kecanduan para koruptor lupa daratan! Tanpa malu, mereka menjadi mata
rantai kaum pencuri dan menjadi penunggang bebas kekuasaan yang teramat
merugikan.
Bahkan para pencuri recehan
sekalipun masih punya ”idealisme”. Mereka tak ingin anak dan cucunya
jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh lebih terdidik, berkuasa, dan
”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya malu jika mewariskan tradisi
kecurangan dan pencolongan kepada generasi penerus bangsa.
Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah kejujuran.
Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi harta
kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan
waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran,
negeri ini merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum
akhirnya terpuruk seperti saat ini akibat maraknya korupsi.
Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika
berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci
telah memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi
harus dikatakan dan dijalani.
Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil
rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap
merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi
kepuasan duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga
dibenci.
Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika, estetika,
moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat baik,
berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya
yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan
modal utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang
menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran
yang bermakna bagi kemanusiaan, masyarakat, dan negara. Dalam konteks
bernegara, di titik kebenaran itulah seluruh kepentingan rakyat
bermuara.
Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan
berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara
pun bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan
penderitaan rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat
kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas negara.
Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan berbagai
retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari
penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari
ulah badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat
bisa bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”
Konser korupsi
Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR untuk
merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu
hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan
pendukung revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga
sementara dan karena ”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas
dari korupsi, KPK harus out dari negara.
Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan usia KPK
itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke depan
sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang,
ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12 tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?
Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit ringan
yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat
sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan
moral bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk
empat komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara
harmonis menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama
dahsyat, membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan
kemakmuran bangsa rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu
berkekuatan ”gaib” dan mampu menjadikan bangsa kita miskin.
Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi pengampunan
bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi. Kenapa para
penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada koruptor yang
sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa? Kenapa
terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling
tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai
kekayaan dan kebaikan?
KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh KPK sama
dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam apa
yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya,
pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui
kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun
tradisi.
Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya menjadi
bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan,
kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus.
Sayangnya, nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke
depan, generasi penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?
Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan dan
peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu
memperjuangkan masa depan bangsa.
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di
halaman 7 dengan judul "Warisan Kejujuran dan Kecurangan"
Kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka.
Seandainya ada the founding father yang tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat hidupnya paling
tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk kepada Ilyas Hussein, satu dari 23
nama samaran yang disandingnya.
Selama 20 tahun, hidup Tan Malaka berada dalam pengasingan. Ia
mengelilingi separuh dunia (1922-1942) di bawah bayang-bayang perburuan
intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda sebelum akhirnya mati
mengenaskan: pada 21 Februari 1949, tentara Republik Indonesia
mengeksekusinya di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Ia
dianggap menentang Soekarno-Hatta dan dipandang membahayakan Indonesia
yang baru saja diproklamasikan. Ironis, Tan Malaka menemui ajal bukan
oleh kaum kolonial, melainkan di tangan bangsanya sendiri.
Kalau hari ini banyak orang yang membaca kembali pikiran Tan Malaka,
mungkin benar apa yang pernah dikatakannya tahun 1948, ”Ingatlah bahwa
dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas Bumi.”
Sama seperti pada
penyelenggaraan acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 24 Maret
2015, pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, 8-11 Oktober 2015,
Presiden Joko Widodo juga tidak hadir.
Ketidakhadiran seorang presiden dalam acara temu ilmiah menjadi
pertanyaan penting mengenai keberpihakan pemerintah dalam kebijakan
riset. Dengan kata lain, riset masih menjadi anak tiri dalam kebijakan
pemerintahan Jokowi setahun ini.
Hal tersebut berbeda dengan sikap Presiden Tiongkok, Perdana Menteri
Jepang, ataupun Kanselir Jerman yang langsung mengiyakan datang dalam
acara serupa di negaranya. Mereka datang dan bertemu untuk mendiskusikan
hasil riset yang sudah dikerjakan dan dihasilkan untuk disalurkan
kepada pemerintah.
Berbasis riset
Dalam kasus Indonesia, pengedepanan hasil kebijakan berbasis riset (policy-based research) dan hasil kajian berbasis riset (evidence-based research) belum mendapatkan perhatian lebih. Implikasinya, kebijakan pemerintah yang dihasilkan selama ini dibuat berdasarkan nalar by agenda dan by issue, bukan by research. Kondisi itulah yang menyebabkan hasil riset bertumpuk di gudang kantor pemerintah.
Fungsi litbang yang sejatinya sebagai lembaga penelitian dan
pengembangan justru dipelesetkan menjadi lembaga sulit berkembang.
Munculnya akronim itu menunjukkan bahwa riset adalah dunia satire dan
ironi.
Meskipun kini Dikti sudah digabung dengan Kemenristek, belum tampak ada
gebrakan. Upaya menyinergikan riset yang dikomandoi Dikti melalui PTN,
PTS, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi
koordinator litbang di setiap kementerian dan nonkementerian belum
menunjukkan hasil signifikan.
Perumusan kebijakan
Dunia riset seharusnya menjadi arena strategis bagi perumus kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dibangun melalui proses agenda setting oleh para stakeholder
yang ingin kepentingannya dipenuhi dengan mengatasnamakan kepentingan
publik. Adanya subyektivitas personal dan kolektif yang dipilih dalam
merumuskan kebijakan publik menyebabkan dimensi kemaslahatan kebijakan
tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Kebijakan tanpa didasari hasil
riset hanya berujung pada pemborosan anggaran karena tidak ada dasar
obyektivitas ilmiah yang dijadikan parameter.
Meski demikian, bicara dunia riset di Indonesia adalah suatu
keprihatinan klasik yang selalu berulang. Salah satunya, masalah
anggaran riset yang hanya 0,9 persen dari APBN, padahal idealnya 1,5
persen. Selain itu, redistribusi hasil riset dari lembaga penelitian
yang tidak merata dan hanya menumpuk di gudang, birokratisasi ilmu
pengetahuan sehingga menjadikan peneliti seperti dalam penjara panopticon
negara karena selalu diawasi secara sadar dan tidak sadar, dan masalah
kesejahteraan peneliti yang dirasa kurang dibandingkan dengan rekan
sejawat peneliti di negara-negara lain.
Implikasinya bisa kita simak bahwa pola brain drain akan selalu berulang setiap tahun daripada kita berharap brain gain
tanpa ada perbaikan internal di dalamnya. Kenyataan bahwa Presiden
berhalangan hadir membuka acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI) 2015 sudah menyimbolkan bahwa kajian riset masih dianaktirikan.
Sebaiknya Presiden memang hadir dalam acara Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional (Kipnas) di LIPI jika masih peduli dengan ilmu pengetahuan.
Menurut rilis R&D Magazine pada 2014, posisi Indonesia
berada di bawah 1 persen dalam pengembangan riset. Artinya, masyarakat
Indonesia berada dalam masyarakat tanpa pengetahuan karena minimnya ilmu
pengetahuan yang diolah dan diterapkan.
Secara politis, pemilihan LIPI sebagai tuan rumah Kipnas ke-11 juga
mengandung pesan simbolis kepada pemerintah. Pertama, penguatan lembaga
penelitian jadi lembaga penelitian dan pengembangan. Selama ini posisi
sebagai lembaga penelitian dinilai tidak bisa bergerak bebas dalam
menyebarkan hasil kajian riset. Riset itu hanya dilakukan secara
internal, hasilnya untuk internal dan menjadi buku, tanpa masyarakat
sebagai user mengerti proses terciptanya ilmu pengetahuan.
Bebas dan meluas
Adanya nuansa mendakik dan menukik itulah yang menjadikan lembaga
penelitian tidak membumi dan familiar di kalangan masyarakat. Maka,
dengan adanya dimensi pengembangan, ilmu pengetahuan itu secara
independen bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas dan meluas.
Kedua, penguatan LIPI sebagai lembaga koordinator institusi riset di
seluruh Indonesia perlu ditegakkan. Selama ini, peran dan hasil riset
setiap lembaga penelitian tidak terkoordinasi dengan baik sehingga
menciptakan kontestasi antarlembaga. Hal itu sebenarnya karena setiap
lembaga penelitian ingin mendapatkan pamor dan panggung dengan
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas isu. Pola itulah yang
harus diberantas dengan LIPI berperan sebagai mediator dan koordinator
bagi semua lembaga riset, bahwa riset untuk kemajuan jauh lebih penting
daripada riset untuk persaingan.
Adanya UU Peneliti dan Penelitian Ilmu Pengetahuan yang masuk Program
Legislasi Nasional 2015 perlu diadvokasi dan disahkan guna memastikan
masa depan ilmu pengetahuan yang cerah. Ketiga, LIPI berupaya menagih
janji Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran riset karena setahun lalu
Jokowi berjanji akan menaikkan anggaran riset menjadi 1 persen. Dalam
Nawacita disebutkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi pilar penting
pembangunan negara.
Ketiga pesan simbolis tersebut merupakan upaya menjembatani dunia riset
dengan dunia kebijakan yang belum terhubung. Kebijakan tanpa dasar
ilmiah adalah pembohongan dan riset tanpa disertai kebijakan adalah
kemunafikan. Oleh karena itulah, kedua arena tersebut perlu dihubungkan
bahwa bahasa riset yang menukik dan mendakik itu bisa dijelaskan secara
awam dalam bahasa kebijakan dan bahasa kebijakan yang serba teknis itu
jelas dasarnya dari proses ilmiah. Maka, Kipnas di LIPI pada 8-11
Oktober 2015 menjadi ajang penting dalam menyinergikan riset dalam
kebijakan.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman
Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi 16.000 megawatt.
Pernyataan
Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, ini bertentangan dengan
komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) yang bersikukuh tetap akan menjalankan program
pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.
Kontroversi semacam itu
jelas "tidak menyejukkan", kontraproduktif, dan dinilai memberikan
sentimen negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin
dari kebijakan energi nasional yang tidak jelas arah dan targetnya?
Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya cita-cita?
Pertumbuhan rendah
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2015 tumbuh 4,67 persen (year on year), melambat dibandingkan triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03 persen.
Pada
triwulan I-2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen. Pertumbuhan ini
didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian.
Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa pendidikan yang tumbuh 12,16
persen, diikuti oleh informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa
kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen),
dan industri pengolahan (4,42 persen). Kendati demikian, sektor
pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi tajam atau tumbuh
negatif 5,87 persen.
Dengan kata lain, melambatnya pertumbuhan
ekonomi terutama akibat sektor pertambangan yang mengalami pertumbuhan
negatif. Ini diperparah dengan pengadaan listrik dan gas yang tumbuh
rendah hanya 0,5 persen. Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga
komoditas tambang, serta tingginya komponen impor bahan baku dan
penolong merupakan akar masalah buruknya pertumbuhan kedua sektor ini.
Menteri
ESDM Sudirman Said menjelaskan, arah paket kebijakan ESDM adalah untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum, memudahkan
investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri hilir.
Menteri ESDM juga telah mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait
pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan
(Permen ESDM No 35/2014), bidang migas (Permen ESDM No 23/2015), dan
bidang minerba (Permen ESDM No 25/2015) ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kementerian
ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam enam bulan. Jika tahun
2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 jumlah ini menyusut
menjadi 89 perizinan, dengan 63 perizinan telah didelegasikan ke PTSP di
BKPM.
Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah
mendasar energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot
dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan
Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada
2014. Peringkat itu melorot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke
peringkat ke-47.
Indonesia akan terus menjadi net importer
minyak jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan
minyak baru. Dengan diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan
semakin besar jumlahnya, akan semakin besar pula ketergantungan
Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Khusus gas, masalah utama
terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012
memang ekspor lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan
tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013
konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai
1,773 MMSCF per hari.
Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai
berteriak kekurangan pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh
ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak
berada di kota yang sama. Atau rakyat Madura yang kekurangan gas ketika
tambang gas ada di pulau tersebut.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan
ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan target
pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan
pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan
273 miliar dollar AS dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp
71,5 triliun.
Prioritas kebijakan
Tidak
mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan
bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaannya, dan
memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga terjangkau dan
mudah diakses, baik rumah tangga, industri, maupun
kementerian/lembaga/pemda.
Untuk itu, perlu prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.
Pertama,
realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai tahun 2015 selalu
lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak
makin tinggi dan kita menjadi net importer minyak. Permasalahan yang menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya.
Kenyataannya,
makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal,
dan Indonesia barat dengan biaya rendah. Insentif berupa pengurangan,
apalagi penghapusan, Pajak Pertambahan Nilai untuk eksplorasi ladang
migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk,
serta sepeda motor hibrida dan listrik sudah saatnya dicoba. Di Inggris
dan negara Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis listrik
dan hibrida jauh lebih murah daripada BBM.
Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation
yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas
dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB,
dan Maluku. Potensi cadangan gas yang akan dikembangkan terletak jauh
dari pusat konsumen/industri dan kebanyakan di laut dalam di kawasan
timur Indonesia.
Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating storage regasification unit
(FSRU) atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi
sulitnya pembebasan lahan di daratan, (2) pembangunan pipa gas dengan
total panjang 6.362 kilometer, (3) pembangunan 118 SPBG, serta (4)
kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU dan pemberian
insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya
pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.
Debirokratisasi
Ketiga,
deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi
di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi
dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU migas baru
dengan adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan
dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah
Menteri ESDM memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM
perlu diapresiasi dan dilanjutkan untuk menurunkan "biaya birokrasi".
Keempat,
sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi
baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas,
bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik
berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain dengan memberi
kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat
kenaikan rasio elektrifikasi, khususnya di kawasan timur Indonesia dan
daerah/desa tertinggal.
Hingga kini, FSRU baru segelintir serta
terpusat di Lampung dan Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan
industri di Jawa dan Sumatera, perluasan jalur pipa gas hingga pelosok
desa mutlak diperlukan. Kawasan timur Indonesia butuh lebih banyak FSRU
dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol laut.
Kelima, perlu
sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN,
Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun peta jalan agar tak berebut
"kue" di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan distribusinya.
Strategi coopetition, yaitu mengawinkan strategi bekerja sama
dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan
agar perusahaan pelat merah menomorsatukan kepentingan nasional.
Alternatifnya, barangkali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang
energi, khususnya PGN dan Pertamina ataupun Pelindo dan PLN, mengingat
kesamaan jenis bisnis dan sinergi yang meningkatkan jika perusahaan
pelat merah "dikawinkan".
Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW
perlu dilakukan dengan program aksi dengan target yang jelas. Sudah
tidak saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan
listrik bukan hanya cita-cita, melainkan menjadi realitas yang dinanti
rakyat.