Saturday, October 31, 2015

Meruwat Indonesia

Koran SINDO
Rabu, 21 Oktober 2015
Airlangga Pribadi Kusman



Dalam kosmologi Jawa, tradisi ruwatan adalah rangkaian aktivitas kebudayaan untuk membersihkan diri kita dari beban maupun kesalahan di masa silam yang membatasi langkah kita untuk menatap masa depan.

Prosesi meruwat adalah tradisi ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk merehabilitasi hidup, baik dalam diri seseorang maupun hubungan antarkelompok dalam sebuah komunitas bersama. Dalam pemahaman akan makna kosmologis dari tradisi ruwatan inilah penting kiranya menghubungkan relevansinya dengan gagasan rekonsiliasi nasional atas peristiwa kekerasan struktural era 1965 yang kita kenang 50 tahun yang lampau.

Seperti halnya prosesi meruwat, perjuangan mewujudkan rekonsiliasi nasional dalam konteks kekerasan struktural negara era 1965 didasari pandangan filosofis bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini, dan masa depan. Kemampuan manusia untuk menuliskan kisah masa depannya kerap kali dibatasi oleh konsekuensi dari perbuatannya di masa lalu.

Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan



Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks

Beranda
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
Indeks

Sindonews
Berita Terbaru Seputar Ekonomi dan Bisnis di Indonesia dan Dunia

Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks

Nasional Opini

Reportase Koran SINDO
Pemerintah (Belum) Serius Tangani Asap
Terapkan Ilmu untuk Kepentingan Masyarakat
Kelas Menengah & Representasi Publik
more

PHOTO

Rumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban AsapRumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban Asap
Laku Pandai Akses Keuangan untuk SemuaLaku Pandai, Akses Keuangan untuk Semua
more

VIDEO

Minggu Tarif Tol Naik Minggu, Tarif Tol Naik
DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang undang DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang-undang
more

Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan

Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Abd Rohim Ghazali
A+ A-

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.



Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.



Jika diuraikan lebih jauh, dari segi waktu, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, jihad sudah berlangsung lama, bahkan sejak jauh sebelum kemerdekaan. Resolusi Jihad hanya satu episode singkat dari proses perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang kemudian melahirkan sejarah Hari Pahlawan. Ini yang pertama.



Kedua, para pelaku sejarah jihad tidak bisa dibatasi pada mereka yang terlibat dalam Resolusi Jihad. Setiap episode perjuangan sudah pasti ada tokohtokoh pelakunya yang menjadi pelopor dan penggerak perjuangan. Sederetan nama pejuang yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional menjadi bukti sekaligus rekognisi ketokohan mereka dalam setiap episode sejarah perjuangan yang dilakoninya.



Ketiga, yang paling penting, pemaknaan jihad tidak bisa dibatasipada perjuangan fisik belaka (harbi). Jihad harus dikembangkan maknanya secara lebih luas, seluas cakrawala kiprah kemanusiaan sesuai minat, bakat, dan tuntutan zaman. Perjuangan dibidang ekonomi, politik, hukum, dan iptek adalah bagian dari manifestasi makna jihad dalam spektrumnya yang luas.



Janji Politik



Penetapan Hari Santri merupakan salah satu janji yang disampaikan Jokowi saat kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden untuk menjawab tuntutan umat khususnya warga Nahdlatul Ulama. Tuntutan yang diajukan saat kampanye sulit untuk tidak dipenuhi karena tujuan kampanye adalah untuk dipilih.



Mengabaikan tuntutan saat kampanye sama artinya dengan keengganan untuk dipilih. Lantas, mengapa muncul adagium, kampanye adalah satu hal dan memerintah adalah hal yanglain? Karena, antara janji-janji yang disampaikan saat kampanye tidak ekuivalendenganapayangharus dijalankan saat memerintah.



Tugas dan kewajiban saat kampanye, selain menyampaikan program, adalah menjawab pertanyaan dan tuntutan dari khalayak yang terlibat dalam proses kampanye. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah menjalankan dan mematuhi undang-undang yang disusun dan ditetapkan melalui proses legislasi yang juga diatur dengan undang-undang.



Janji yang disampaikan saat kampanye bisa ditunaikan saat memerintah sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang. Janji kampanye yang bertentangan dengan undangundang tidak boleh ditunaikan saat memerintah. Sedangkan janji kampanye yang tidak bertentangan dengan undang- undang, namun berpotensi melanggar undang-undang (karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan misalnya) tidak seharusnya ditunaikan saat memerintah.



Prinsip Keadilan



Penetapan Hari Santri menjadi pelajaran penting baik bagi para pemimpin (pemerintah) maupun masyarakat pada umumnya (rakyat). Bagi pemimpin, apalagi pemimpin nasional, seyogianya tidak terjebak pada kepentingan parokial. Pengutamaan kepentingan parokial sama artinya dengan pengabaian keadilan.



Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ada dua prinsip utama keadilan, yakni pertama, setiap orang mempunyai hak kebebasan yang sama atas kebebasan yang paling dasar dan luas, yang tidak dibedakan dengan yang lain; dan kedua, hak dalam bidang sosial dan ekonomi yang harus diatur agar tidak mengalami ketimpangan.



Terkait dengan tema tulisan ini, mari kita fokus pada prinsip keadilan pertama, yang berkaitan dengan hak-hak politik baik dalam implementasi maupun rekognisi. Dalam ranah implementasi, setiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih dalam menduduki jabatan publik, punya hak kebebasan berbicara, berserikat, berkeyakinan, serta bebas dari perlakuan sewenang- wenang.



Dalam ranah rekognisi, setiap hak itu membutuhkan pengakuan pihak lain, terutama dari pemerintah. Tugas pemimpin adalah menjaga agar implementasi dan rekognisi dari hak-hak itu dilakukan secara adil, tidak mengutamakan yang satu dari yang lain. Dengan kata lain, menegakkan rule of law harus dijalankan dengan prinsip equality before the law.



Artinya, dalam memberikan pengakuan pada hak-hak setiap, atau sekelompok orang, harus dengan kadar yang sama, tanpa mengistimewakan yang satu dari yang lainnya. Bagi masyarakat secara umum (rakyat), penetapan Hari Santri bisa memberi pelajaran bahwa dalam menuntut hak kepada pemimpin pun harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan.



Dalam menuntut hak untuk diakui misalnya tidak boleh didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok yang (berpotensi) mengabaikan atau melanggar hak-hak individu atau kelompok yang lainnya. Yang boleh atau bahkan harus dituntut dari pemimpin (pemerintah) adalah hak yang bisa diakui, dijalankan, atau dinikmati oleh semua warga negara, baik secara individual maupun kelompok. Wallahu alam !



Abd Rohim Ghazali

Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina,

Wakil Ketua Umum Koornas Fokal IMM












(bhr)
dibaca 1.584x
Follow :
Facebook Share Button
178
Twitter Share Button
13
Google Plus Share Button
0
Feedly Follow Button
0

BERITA TERKAIT
opini

Demokrasi Berlaksa Epos

Candu Kleptokrasi

Drama dan Revolusi Mental

Penegakan Hukum yang Koruptif

Setahun Pemberantasan Korupsi Jokowi-JK

51 Tahun Golkar; Badai Pasti Berlalu

REKOMENDASI :
TERPOPULER

1
Menkumham Akan Patuhi Putusan MA Terkait Golkar dan PPP
2
Bahas RAPBN 2016 Alot, Fadli Dipanggil Prabowo Subianto
3
Pak Raden Tutup Usia
4
KSAU Ingin Indonesia Segera Punya Pesawat Beriev Be-200
5
Anggaran Gedung Baru DPR Rp740 Miliar Muncul di RAPBN 2016

BERITA TERKINI
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah

Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
TNI AU Tingkatkan Status Tujuh Lanud
Tangkal Terorisme, Menpora Ajak BNPT Goes to Campus
Ketum PAN: Cita-cita Reformasi Belum Sesuai Harapan
Menko Polhukam Sebut Ekonomi Akar Masalah Terorisme
PAN Gembleng 100 Mahasiswa Jadi Kader Muda
Bangun Kedaulatan Informasi, Kemhan Gandeng Perusahaan Antisadap
Kemudahan Memilih Tingkatkan Partisipasi Disabilitas

HOT TOPIC

# Kebakaran hutan
# Korupsi Bansos Sumut
# Dewan Perwakilan Rakyat
# Kabinet Jokowi-JK
# Politik Anggaran

Top
Find Us at :

MNC
CHANNEL

Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video

MNC MEDIA

iNews TV
RCTI
Global TV
MNC TV
Koran Sindo
Sindo Weekly
Sindo Trijaya FM

MANAGEMENT

Tentang Kami
Redaksi
Karir
Kode Etik
Disclaimer
Term Of Service
Privacy Policy
Sitemap
Kontak Kami

Copyright © 2015 SINDOnews.com

read/ rendering in 0.3994 seconds
connection by :Biznet


source: http://nasional.sindonews.com/read/1055271/18/hari-santri-antara-janji-politik-dan-prinsip-keadilan-1445493132

Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan

Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB

Abd Rohim Ghazali


Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.

Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.

Friday, October 30, 2015

Membendung Gelombang PHK

  KORAN JAKARTA|  Rabu, 21 Oktober 2015  02:00:10





Foto: KORAN JAKARTA/ONES

Oleh Achmad Maulani
Rasanya terlalu tergesa-gesa dan cenderung reaksioner ketika Presiden Jokowi mengatakan tidak ada PHK dalam kondisi perekonomian saat ini. Ini bertolak belakang dengan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada PHK 43.000 orang lebih. Angka September itu naik 65% dari 26.500 korban PHK per Agustus 2015.
Sejumlah pemerintah daerah juga telah melaporkan angka PHK. DKI Jakarta 1.546 orang, Banten (7.294), Jawa Barat (7.779), Jawa Tengah (3.370), Jawa Timur (5.630), Sumatera Utara (398), Kepulauan Riau (6.347), dan Kalimantan Timur (10.721).

Di saat bersamaan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaaan mencapai 1,9 triliun rupiah dari 200 ribu orang yang mengajukan pencairan. Pencairan dilatarbelakangi problem himpitan ekonomi. 

Sang Model

Catatan Arswendo
  |KORAN JAKARTA  Sabtu, 31 Oktober 2015  02:00:06













Ketika Adam, manusia pertama di bumi, memetik daun untuk menutupi bagian tubuhnya yang telanjang, juga tubuh Hawa, ketika itu tercipta model pertama kalinya. Peristiwa yang terus berkembang dengan penemuan pakaian, sampai kemudian menjadi industri busana. Salah satu profesi yang terangkat ke permukaan adalah desainer, sang perancang. Dan yang sering lebih menarik perhatian adalah sang model. Atau memperagakan pakaian, juga dikenal sebagai peragawati. Namun istilah model lebih popular. Barang kali lebih pendek pengucapannya, barang kali punya banyak makna. Karena model bisa dikaitkan dengan lukisan—misalnya menjadi model lukisan. Biasanya untuk pelajaran anatomi.
Model juga berarti barang tiruan dengan ukuran yang lebih kecil dari aslinya. Misalnya model rumah atau model pesawat terbang. Model dalam artian orang yang pekerjaannya memperagakan contoh pakaian termasuk dalam sorotan besar. Banyak yang terkait dengan nama besar—yang berarti juga bayaran besar melebihi gaji menteri, banyak yang merangkap kerja sebagai artis, atau seleb yang sekaligus model iklan. Lobi dan hasil gaulnya juga kelas tinggi—kalau tidak tinggi sekali. 

Mengamankan Dana Desa

KORAN JAKARTA, 29 OKTOBER 2019
OLEH TRISNO YULIANTO

 Implementasi penyaluran Dana Desa  memasuki termin ketiga  November 2015 ini. Dari total dana desa 20,7 triliun rupiah dari APBN Perubahan 2015, sebesar 80% telah dicairkan Kementerian Keuangan ke rekening daerah untuk selanjutnya ditransfer ke rekening Bendahara Desa.

Progress penyaluran dana desa (DD) berbeda di setiap daerah. Penyaluran ke luar Jawa banyak lambat. Misalnya, untuk desa-desa di Indonesia Timur rata-rata baru 40-50%. Keterlambatan penyaluran dan penyerapan DD  karena pemerintah desa tidak siap memenuhi syarat administratif semacam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan legalisasi peraturan desa tentang APBDes. Laporan penggunaan DD  termin pertama dan kedua juga lambat.

DD sendiri disalurkan ke seluruh desa  (74.012 desa). Rata-rata tiap desa menerima 250 juta rupiah. Dalam skema  UU No 6 Tahun 2014 DD  untuk operasional pemerintah, program pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa.

Sumpah Pemuda dan Zeitgeist

KORAN JAKARTA, RABU 28 OKTOBER 2015
OLEH  HEMAT DWI NURYANTO 
Tema Hari Sumpah Pemuda ke-87 Tahun 2015 adalah Revolusi Mental untuk Kebangkitan Pemuda Menuju Aksi "Satu untuk Bumi." Ini  relevan dengan kondisi sekarang  yang menuntut segenap pemuda berevolusi mental untuk menghadapi persaingan global.
Sumpah Pemuda menjadi inisiatif luar biasa  Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI)  87 tahun lalu yang  menjadikannya  tonggak kokoh persatuan Indonesia. Aktualisasi semangat Sumpah Pemuda kini menjadi penting, lantaran bangsa  membutuhkan inisiatif besar untuk menghadapi globalisasi. Persaingan ideologi telah berganti menjadi kompetisi inovasi antarbangsa.

 Apalagi planet bumi kondisinya semakin crowded sehingga perlu inisiatif untuk  melahirkan berbagai solusi cerdas. Melihat kondisi global seperti itu, “Indonesian Incorporated” sekarang  membutuhkan tokoh-tokoh zeitgeist,  yang benar-benar mampu mengendalikan semangat zaman dengan  berbagai inovasi. Tokoh-tokoh itu harus mampu menciptakan economic value sebesar-besarnya bagi negeri  kaya  sumber daya ini.

Perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP)

SINAR HARAPAN 30 Oktober 2015 

Oleh : Retnowati Abdulgani

Satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diliputi a basket of case atau segudang persoalan, antara lain masalah kabut asap yang terjadi selama 17 tahun, negosiasi perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia (PTFI), hingga peraturan baru deregulasi perbankan. Semua ini menjadi pemberitaan media massa dalam dan luar negeri.

Analisis pers luar negeri yang berbobot dari Financial Times, International New York Times menarik perhatian saya yang lama tinggal di luar negeri, tetapi dengan bangga masih berwarga negara Indonesia. Pada 15-19 Agustus 2014, saya mengunjungi PT Freeport Indonesia dalam rangka menulis buku. Di 14 Agustus tengah malam, saya terbang dari Jakarta dengan Airfast melalui Makassar ke Timika. Ini penerbangan khusus untuk karyawan dan kontraktor PTFI.

Pesan Komunikator Politik



Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 24 Oktober 2015
Dr Lukas S Ispandriarno

MEDIA massa dan media sosial menyebarkan pesan komunikator politik Senayan berupa usulan revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penolakan datang dari warga masyarakat sebagai elemen penting  komunikasi politik. Yang menarik, di tengah kehebohan itu, seorang anggota parlemen Indonesia terpilih sebagai Presiden GOPAC (Konferensi Global Parlemen Anti-Korupsi).

Komunikasi politik adalah proses interaksi bagi perpindahan informasi di antara para politisi, media berita dan publik. Proses ini bekerja menuju ke bawah dari lembaga pemerintah kepada  warga, secara horisontal menghubungkan aktor politik dan  bergerak ke atas dari opini publik ke arah kekuasaan (Pippa Noris, 2004).

Satu Tahun 'Jokowinomi

Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 31 Oktober 2015

Drs Y Sri Susilo MSi
'JOKOWINOMICS' merupakan istilah yang penulis gunakan untuk kebijakan ekonomi yang telah dijalankan Pemerintahan Jokowi. Dan apa yang dilakukan pada awal, cukup menarik. Seperti menghapus/mengurangi subsidi BBM di awal Januari 2015. Kebijakan yang tidak populer berani diambil Presiden Jokowi. Subsidi BBM yang hampir mencapai Rp 300 triliun pertahun dikurangi secara signifikan dan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi serta subsidi untuk kesejahteraan rakyat (khususnya sektor pendidikan dan kesehatan).

Subsidi BBM akhirnya memang harus dihapus karena alasan yang rasional. Pertama, subsidi BBM tidak tepat sasaran. Masyarakat yang berpenghasilan tinggi menikmati subsidi BBM lebih besar. Kedua, subsidi menyebabkan harga BBM lebih rendah dan mendorong masyarakat mengkonsumsi secara berlebihan (overconsumption). '

Wednesday, October 28, 2015

Revolusi Mental Birokrasi

Eko Prasojo
Genap setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tampaknya belum dapat dinilai keberhasilannya. 

Revolusi mental memang harus dimulai dari penyelenggara negara: politikus, penegak hukum, dan pejabat birokrasi. Karena itu, tulisan ini akan berfokus pada revolusi mental birokrasi dan mengurai persoalan dasar dalam model mental dan budaya birokrasi kita.   

Model mental birokrasi
Mengapa revolusi mental selayaknya harus dimulai dari biro- krasi? Karena birokrasi adalah alat negara yang sehari-hari menjalankan pelayanan, pemerintahan, dan pembangunan. Karena peran dan fungsinya, birokrasi akan jadi tolok ukur terdepan penampilan negara kepada rakyatnya. Sikap mental birokrasi yang bersih, melayani dengan profesional tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Sebaliknya akan terjadi. Jika birokrasi dipandang korup, pilih kasih, dan tak bisa diandalkan, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat penting dan krusial dalam perubahan model mental masyarakat keseluruhan. 

Negara Vs Pancasila

Mochtar Pabottingi

Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti.
Pertama, siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu. Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air. Ketiga, jika program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan. Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini. 

Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan bela negara. Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu. Kita tahu bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan dicampakkan, mustahil klop. 

Narasi Tonggak Kebangsaan

tajuk rencana > Narasi Tonggak Kebangsaan
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, mengundang kita untuk memperkaya, melakukan koreksi, dan mengambil hikmah. 

Memperkaya, bahkan mengoreksi, bertujuan agar bangsa memiliki narasi sejarah yang terbebas dari kepentingan politik sektoral, pragmatis, dan jangka pendek. Kebaikan bersama menjadi batu penjuru dan batu sendi. Introspeksi dan koreksi, bila perlu, merupakan bagian dari proses menemukan kebenaran (Karl Popper).

Peristiwa 28 Oktober 1928 mengingatkan kebanggaan kita tentang ikrar pemuda Indonesia sebagai bangsa yang berbangsa, bernegara, dan berbahasa satu: Indonesia. Narasi besar Kongres Pemuda II itu, kecuali yang bersifat pelengkap atau tambahan, dirasa memadai. Dekrit kesatuan 28 Oktober 1928, Hari Sumpah Pemuda, merupakan salah satu tonggak kesadaran kebangsaan Indonesia.

Antara "Jokowi" dan "Joko Widodo"

Jumanto
Surat edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 100/449/SJ tertanggal 26 Januari 2015, yang ditujukan kepada seluruh sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia, memerintahkan untuk menyeragamkan penyebutan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat acara.

Formatnya: "Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi". Ini adalah salah satu upaya untuk menjunjung formalitas dalam berbahasa Indonesia sehingga kesantunan berbahasa Indonesia dapat terjaga. Tentu upaya yang baik mengingat komunikasi antara Presiden dan rakyat Indonesia memang terjadi di ruang publik, bukan ranah pribadi atau privasi. Namun, sudah benarkah format tersebut?

Bahasa adalah sebuah kode, yang mengatur kehidupan komunikasi verbal dan nonverbal manusia sehari-hari, dalam situasi formal, informal, atau campuran keduanya. Namun, penggunaan bahasa tidak bisa begitu saja kita "lontarkan" kepada siapa saja, dengan bentuk apa saja.

Mencari Bangsawan Pikiran

Mencari Bangsawan Pikiran


[ Oleh Airlangga Pribadi ] KOMPAS - Rabu, 13 May 2009 :

Pada tahun 1902 di Amsterdam, editor majalah Bintang Hindia, dokter
Abdul Rivai, membuka edisi perdana dengan argumen yang menggetarkan.
“Tak perloe memperpandjang
perbintjangan kita mengenai bangsawan oesoel karena kemuntjulannja
memang telah ditakdirkan. Djika nenek mojang kita terlahir sebagai
bangsawan, kita poen bisa diseboet sebagai bangsawan bahkan meskipoen
pengetahoean dan prestasi kita tak ebahnja seperti pepatah katak dalam
tempoeroeng. Saat ini prestasi dan pengetahoeanlah jang akan
menentoekan posisi seseorang. Inilah sitoeasi jang melahirkan munculnja
bangsawan pikiran“.

Negara Inklusif

KOMPAS Selasa, 24 Maret 2009

Oleh Airlangga Pribadi

Ketika semakin banyak orang mempertanyakan mengapa proses demokrasi di Indonesia tidak melahirkan elite-elite politik yang mampu membawa kesejahteraan sosial dan keadilan publik, gagasan tentang pemerintahan yang kuat tampil mengedepan sebagai isu sentral yang ditawarkan para politisi menjelang Pemilu 2009.

Menggelindingnya ide tersebut diperkuat oleh beberapa peristiwa politik, seperti serbuan gencar iklan di media massa dari Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, retorika para elite politik dan fenomena terakhir yang terekam dalam berita utama Kompas (13/3) sekitar pertemuan antara Mega dan JK yang salah satu draf hasil kesepakatannya adalah pentingnya pemerintahan yang kuat untuk masa depan Indonesia.

Oposisi Berorientasi Gerakan

KOMPAS Kamis, 29 Oktober 2009 | 05:01 WIB

Airlangga Pribadi

Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.

Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang otentik?

Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat, kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya. Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi gerakan sosial.

Negara Mabuk

KOMPAS Tuesday, August 9, 2011

Oleh Novri Susan
 
Makin lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan masyarakat oleh menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial, dan keamanan—akan muncul gerakan individu atau masyarakat mengambil alih dengan caranya sendiri. Cara yang cenderung muncul adalah praktik liar yang menegasi norma dan hukum negara:
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme.

Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan lembaga-lembaga kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan negara banyak bertentangan dengan kepentingan umum dan hukum negara hanya memberi keadilan kepada yang bisa membeli. Kita seperti hidup di negara mabuk yang kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.

Obama, Jokowi, dan Perubahan Iklim

KORAN SINDO, 28-10-2015


Di tengah berita seputar pertemuan pemimpin Amerika Serikat (AS) dan Indonesia, terselip suasana yang tidak nyaman dalam kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke AS pekan ini.

Indonesia tengah dilanda kebakaran lahan gambut yang berkepanjangan sejak Juni. Media massa seluruh dunia, termasuk di AS, tidak dapat membicarakan kunjungan Presiden Jokowi tanpa mengangkat bencana kebakaran lahan gambut yang telah menyebar hingga ke negara-negara tetangga.

Beberapa media menyebutkan, kebakaran lahan gambut yang berlangsung beberapa bulan itu sama efeknya dengan total jumlah emisi karbon AS (karbon dari pembangkit listrik, mobil, konsumsi rumah tangga, dst) selama setahun! Oleh sebab itu, bagi AS, kehadiran Presiden Jokowi di Ruang Oval Gedung Putih memunculkan dilema. Di satu sisi Presiden Jokowi adalah wajah dari model demokrasi negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.

Kontra Narasi Bahaya Radikalisme

KORAN REPUBLIKA
Sabtu, 10 Oktober 2015, 16:41 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Upaya mencegah bahaya paham radikal dan aksi terorisme secara semesta terus digalakkan semua komponen bangsa dan pemerintah dengan melibatkan kementerian dan lembaga serta seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari hulu hingga hilir, holistik, terpadu, terintegrasi, bekerja sama, bukan sama-sama kerja.

Memperbanyak kontra narasi bahaya menyebarnya paham radikal serta akibat aksi terorisme tepat digalakkan, mulai dari kelompok masyarakat yang aktif dan pengguna media sosial hingga ke lompok masyarakat ke las menengah bawah yang tak punya fasilitas media online.

Masyarakat kategori ini adalah yang sejak pagi hingga pagi lagi bergelut di atas tumpukan sampah sebagai pemulung. Mereka yang hidup di atas perahu kecil mencari ikan sebagai nelayan. Mereka yang duduk dan merangkak di seputar lampu merah, hidup di bawah eksploitasi sebagai pengemis. Serta kelompok masyarakat yang berusia belia dan tentu masih sangat produktif, tapi tidak memiliki media membuka dan membaca informasi dari media sosial dan online.

Hijrah dan Agenda Transformasi Bangsa

KORAN REPUBLIKA
Selasa, 13 Oktober 2015, 13:00 WIB
Peristiwa Tahun Baru Hijriyah menjadi renungan bagi umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW pada 622 M menjadi titik tolak untuk melakukan refleksi betapa kemanusiaan dan keagamaan menjadi bagian integral dari Islam.

Peristiwa hijrah pada abad ke-7 Masehi itulah yang menjadi penanda hadirnya Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Kisah kerja sama dan persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin merupakan pintu bagi kita semua untuk belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi.

Lalu, bagaimana kita memaknai Tahun Baru Hijriyah di tengah selebrasi koruptor dan kisruh permusuhan umat antarumat beragama? Perlu ada langkah konkret dari pemimpin bangsa untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini.

Prospek Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Sabtu, 17 Oktober 2015, 17:22 WIB
KORAN REPUBLIKA

Rancangan Undang- Undang Revisi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya, tentang hak penyadapan.

Untuk sementara bagi para pegiat anti-korupsi, ini melegakan. Namun, harus dijelaskan seluas mungkin kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun peradaban bersih ke depan.

Tulisan ini akan melihat betapa urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberantasan korupsi, setidaknya sampai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis, dan struktural.

Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan "politik benteng" pada 1950-an. Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wirausaha secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan entrepreneurdalam bilangan jari.

Quo Vadis Bela Negara


KORAN REPUBLIKA
Senin, 19 Oktober 2015, 12:00 WIB
 
Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) Republik Indonesia untuk menerapkan kebijakan bela negara bagi warga negara Indonesia kini menjadi sorotan luas. Pasalnya, program yang dimaksudkan untuk mempertebal wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air di kalangan rakyat Indonesia itu tampaknya mendapatkan resistensi dari sejumlah pihak. Mereka khawatir atas kemungkinan bergesernya kebijakan itu ke arah pembungkaman suara-suara kritis dari publik.

Pertanyaan paling mendasar terkait dengan program bela negara tersebut adalah sejauh mana signifikansinya terhadap pembentukan karakter warga negara Indonesia yang diharapkan: taat, berdisiplin, dan sejensinya? Ataukah justru program itu malah akan membentuk karakter-karakter militeristik yang kaku, textbook, dan sebagainya?

Satu Tahun Jokowi-JK

KORAN REPUBLIKA

Selasa, 20 Oktober 2015
 
Paket kebijakan ekonomi I, II, III, hingga IV yang dikeluarkan pemerintah adalah "syarat keharusan" (necessary condition), tapi belum cukup (unsufficent condition) untuk menggerakkan sektor riil, meningkatkan daya saing industri, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terutama, bagi rakyat rentan miskin yang lebih dari 50 persen penduduk (dengan pengeluaran 2 dolar AS per hari).

Hal itu karena "belum menyentuh akar persoalan" dari struktur ekonomi yang sudah terperangkap oleh "para pemburu rente" (mafia migas, pangan, impor, perusahaan yang menikmati monopoli/oligopoli, monopsoni/oligopsoni, bahkan kartel) yang menciptakan ekonomi biaya tinggi selama ini. Dengan keadaan ini, problem eksternal (ketidakpastian tingkat bunga AS dengan tappering off-nya berjalan terus beserta pelemahan ekonomi Cina) yang menimbulkan depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS terburuk sejak 1988 dan sulit terkendali serta makin menyulitkan pemerintah untuk melindungi 50 persen penduduk dari kemerosotan daya beli dan kesejahterannya.

Tahun Pertama Miskin Prestasi

KORAN REPUBLIKA
Selasa, 20 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
 
Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan yang dipanggulkan kepada keduanya.

Hasil survei Indobarometer pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden.

Jika kita melihat kinerja pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil ketidakpuasan itu.

Santri dan Desekulerisasi

KORAN REPUBLIKA
Jumat, 23 Oktober 2015, 14:00 WIB
 
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2015 memunculkan keberatan pada sebagian umat Islam. Pertama, dikhawatirkan membuka luka lama dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang belakangan sudah mencair.

Kedua, pemilihan tanggal 22 Oktober yang dikaitkan dengan seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 dikhawatirkan mereduksi makna jihad, mengingat jihad melawan penjajah tidak hanya setelah proklamasi kemerdekaan, tapi juga jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketiga, peringatan HSN ini dikhawatirkan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Secara epistemologis, kekhawatiran kelompok yang tidak setuju kurang beralasan. Sebab, pertama, akan munculnya polarisasi santri dan abangan terlalu berlebihan. Konsep Clifford Geertz dengan trikotomi klasifikasi Islam di Jawa (abangan, santri, dan priyayi) ini dipertanyakan keabsahannya. Selain tidak mampu mengelaborasi makna santri dan abangan, antropolog asal Amerika Serikat ini juga tidak konsisten menetapkan variabel santri, abangan, dan priyayi.

Mafia Asap Vs Pelestarian Lingkungan


KORAN REPUBLIKA Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
Ditengarai sukarnya pemberantasan kabut asap di Sumatra dan Kalimantan karena ada mafia (kita sebut saja mafia asap) dalam sistem pengelolaan hutan di negeri ini. Apa pun usaha dan program untuk memberantasnya selalu berakhir sesuai dengan kehendak sang mafia. Maka dalam konteks ini bolehlah negeri kita disebut negeri para mafioso, suatu istilah yang lebih dikenal dalam kartel perdagangan narkotika di Meksiko.

Sang mafia karena dibekali dana berlimpah dan jaringan kekuasaan, dapat mengatur dan mengendalikan semuanya di balik layar. Tinggal perintah dan tekan tombol. Jika pun ada yang tertangkap, si pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) hanyalah orang suruhan (kroco) sekaligus menjadi tumbal yang dapat dikambinghitamkan oleh manusia-manusia yang kehilangan nurani.

Kodifikasi Hukum Pemilu


KORAN REPUBLIKA, Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
Banyak masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah. Proses pemilu nasional di Indonesia diatur dalam tiga undang-undang: UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; serta UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diatur oleh UU No 1 Tahun 2015 jo UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada sebelumnya diatur oleh UU Pemerintahan Daerah dan kemudian dipisahkan pada 2014 setelah beberapa kali perubahan.

Semua UU ini telah mengalami banyak uji materi dan perubahan secara terpisah setiap siklus pemilihan akan dimulai. Ditambah lagi, pendekatan ad hoc dalam perubahan hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi di setiap UU.

Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering kali mengakibatkan ketidakjelasan prosedur hukum bagi penyelenggara pemilu. Belum lagi, tumpang tindih dan kontradiksi antarketentuan UU, inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan.

Seharusnya, kerangka hukum pemilu yang ada mampu memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan secara mudah dan tidak ambigu. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan kebingungan bagi pemangku kepentingan dalam menafsirkan prosedur pemilu.

Fakta di atas telah mendorong wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU Pemilu serta menyatukan berbagai UU itu menjadi satu UU Pemilu. Ini tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan teknisnya.

Namun, tampaknya para pembuat kebijakan cuma mau mengodifikasi dua UU Pemilu, yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dikarenakan masih adanya perdebatan mengenai posisi pilkada yang tidak berada di bawah rezim pemilu nasional serta argumen yang mengatakan UU Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.

Selain adanya pandangan dari Kemendagri sebelumnya bahwa karena upaya desentralisasi, UU, dan isu pilkada harus dibuat terpisah dari UU yang mengatur pemilu nasional. Pandangan ini mengabaikan fakta penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak melanggar kewenangan pemerintah daerah. Pilkada juga diselenggarakan dalam asas luber, jurdil, dan demokratis, seperti halnya penyelenggaraan pemilu.

Momentum untuk mengodifikasi UU Pemilu semakin kuat setelah putusan MK No 14/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014. Putusan ini menyatakan, pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak konstitusional dan memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.

Hal ini memengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia. Karena itu, urgensi untuk menetapkan sebuah UU baru sebagai landasan hukum bagi pemilu serentak nasional pada 2019 adalah waktu yang tepat untuk mengkaji, memperbarui, serta mengodifikasi empat UU pemilu menjadi satu UU pemilu.

Kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah UU sebagai sebuah teknik legislasi terinspirasi oleh tiga prinsip utama: sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut.

Maka itu, seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin perlindungan hak-hak individu yang lebih baik. Sebuah sistem hukum yang terkodifikasi idealnya akan mengatasi masalah, seperti konflik antaraturan yang berbeda, opini berdasar doktrin, dan tidak seragamnya putusan pengadilan.

Dengan memperkenalkan cara baru untuk membuat dan menyusun ketentuan hukum pemilu, ini mewakili titik balik dalam metode pengaturan lewat UU. Dalam pandangan internasional, di negara yang memiliki kecenderungan memperbarui hukum pemilu pada tiap siklus pemilu atau secara berkala sesuai agenda legislasi, kodifikasi akan menjaga konsistensi selama proses pembaruan.

Setelah hukum yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi lebih mudah dan tidak berisiko membuat kerangka hukum menjadi lemah. Namun, meski kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi masalah di atas, UU Pemilu yang terkodifikasi juga tak bisa dikatakan pasti memberikan jaminan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik atau lebih dianjurkan dibandingkan UU Pemilu yang terpisah. Di beberapa negara, proses pemilu yang diatur oleh beberapa UU dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak melanggar penerapan UU tersebut.

Dalam menghadapi pemilu serentak nasional pada 2019 dan pilkada serentak pada 2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu. KPU akan lebih mudah dalam menyelenggarakan pemilu, dan peserta pemilu akan lebih mudah memahami dan memprediksi peraturan di dalam satu UU.

Sekarang, kita sudah di akhir 2015, sudah saatnya DPR dan pemerintah bergegas menyiapkan segalanya. Sebab, UU Pemilu inilah yang akan mengatur hajat hidup kontestasi mereka.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2014, UU Pemilu harus sudah siap penyusunannya sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya, paling lambat April 2017 UU Pemilu untuk pemilu serentak tahun 2019 harus sudah disahkan oleh DPR bersama pemerintah.

Karena itu, di tengah momentum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, DPR dan pemerintah semestinya segera memasukkan kodifikasi hukum pemilu dalam satu naskah UU Pemilu sebagai prioritas legislasi untuk Prolegnas 2016. Harapannya, awal 2016, pembahasan UU Pemilu ini bisa segera dimulai oleh DPR bersama pemerintah.

Jangan sampai di Pemilu 2019 kita kembali mengalami kerangka hukum pemilu yang tambal sulam.

Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Kaum Muda dan Kesadaran Sejarah


KORAN REPUBLIKA, Selasa, 27 Oktober 2015, 14:00 WIB
 
Adalah kenyataan sejarah bahwa lintasan dan momentum sejarah perjuangan bangsa senantiasa dipelopori oleh kaum muda. Sejarah Indonesia modern mencatat, gagasan besar dan tindakan heroik dilontarkan dan dilakukan oleh kaum muda. Formulasi gagasan dan wujud konkret gerakan kaum muda yang fenomenal terdokumentasi sangat heroik dan apik dalam kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa yang baru bertajuk "Sumpah  Pemuda".

Peristiwa Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928 menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan sejarah bangsa. Peristiwa ini menandai suatu fase di mana proses integrasi bangsa menjadi lebih nyata yang ditandai dalam suatu ikrar kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa. Peristiwa ini adalah klimaks dari pencarian identitas baru yang telah bermula sejak awal abad 20 dan manifestasi puncak dari peranan kaum muda sebagai aktor sejarah.

Tidak hanya itu, momentum ini sekaligus jawaban terhadap praktik kolonialisme Belanda yang melakukan politik ekspansi ke seluruh wilayah Nusantara yang kemudian menjelma Hindia Belanda. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda adalah aktualisasi gagasan nasionalisme vis a vis kolonialisme.

Genealogi Jihad Konstitusi

Koran Republika, Selasa, 27 Oktober 2015
 
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara, Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi peradilan.

Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara, Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda. Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.

Tuesday, October 27, 2015

Pemuda Cerdas Kewargaan

Yudi Latif
Akhirnya," tulis Ben Anderson, "saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh 'kesadaran pemuda' ini."

Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris: "Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?" Lantas ia jawab sendiri: "Kalau mahasiswa Belanda, Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya."

Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia itu tidaklah jatuh dari langit, tetapi sengaja diusahakan melalui penaburan benih-benih kecerdasan yang disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua abad ke-20, generasi baru, yang terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yang panjang bumiputra hidup bagaikan katak dalam tempurung; dan tempurung itu dipercaya sebagai langit luas.  Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa "senjata" lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan.

Generasi baru tampil dengan menawarkan "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Senjata itu bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada "kejumudan" dan "kesempitan", kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme yang lebar dan inklusif. Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru menyadari bahwa rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan yang banyak dan beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan jika tidak memiliki "bilangan penyebut" yang sama.

Perjuangan dari keragaman posisi subyek memerlukan titik temu (common denominator). Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan dalam nama Indonesia, dengan imaji komunitas bersama yang dikonstruksikan melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pembongkaran kreatif
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kecerdasan dengan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki kemampuan untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik.

Sumpah Pemuda itu juga berisi tekad dari suatu kaum yang progresif, bahwa pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Dalam ungkapan Samuel Ullman, "Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan."

Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski bahasa Jawa dengan jumlah penutur paling banyak, dan pemuda-pelajar yang menghadiri Kongres Pemuda itu juga banyak yang berasal dari tanah Jawa, bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sumpah Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Di bawah payung "nasionalisme kewargaan", segala kesempitan dan keragaman dipertautkan  ke dalam keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.

Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu sangat penting kita bangkitkan, manakala kehidupan publik-kenegaraan saat ini cenderung mengabaikan kecerdasan. Kehormatan pikiran kembali dihinakan oleh politik dinasti dan kekuatan uang, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif, dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing global pada era pasca industri tak bisa berkembang secara kondusif.

Dengan peluluhan daya pikir, kelebaran semangat nasionalisme kewargaan juga disempitkan kembali oleh semangat partaiisme, tribalisme, koncoisme, fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam situasi demikian, proyek nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda berjalan surut ke belakang. Kita dihadapkan pada situasi pahit, harus menerima nubuat dari Edward Shils,  "Kendati intelektual negara-negara terbelakang telah menciptakan ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri, mereka belum sanggup mencipta sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban dari kondisi itu karena nasionalisme tidak  dengan sendirinya menjelmakan semangat kewargaan."

Gerak mundur keindonesiaan
Gerak mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan yang tidak mewujudkan kewargaan itu sangat tampak dari melemahnya jati diri manusia Indonesia dalam aspek kedirian yang bersifat publik. Bahwa pribadi yang baik tidak dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal yang bersifat kolektif mengalami dekadensi: parpol sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak hukum, dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi-organisasi keagamaan berskala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit.

Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan "kecerdasan kewargaan" (civic intelligence). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret "huruf" alfabet,  tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam "kata" dan "kalimat" bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).

Padahal, pengembangan "kecerdasan kewargaan" lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang, bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar biasa, tergantung pada bentuk-bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.

Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" ("diferensiasi") dari alam. Pengembangan jati diri juga harus memberi wahana setiap orang untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama yang terkristalisasi dalam Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. 

Karena itu, pengembangan "kecerdasan kewargaan" berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, persis pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini. Peringatan hari Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum mengembalikan trayek kebangsaan Indonesia pada rel nasionalisme kewargaan, dengan mengembangkan "kecerdasan kewargaan" berjiwa Pancasila.

Yudi Latif
Sekretaris Dewan Pakar FKPPI dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Pemuda Cerdas Kewargaan".

Pemerintah Itu Memerintah

Sabtu, 24 Oktober 2015, 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Final Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya sejatinya bukan sekadar pertandingan olahraga, melainkan lebih dari itu. Peristiwa ini merupakan pengukuhan kembali wibawa pemerintah sebagai pemerintah.

Sebelumnya, sering kali kebijakan olahraga pemerintah pusat, pemerintah daerah, juga aparat keamanan seakan didikte para suporter sepak bola. Misalnya, untuk menghindari kerusuhan antarsuporter-seperti yang sering terjadi-pertandingan final dipindahkan ke luar Jakarta. Dengan alasan sama, izin bertanding tidak diberikan, bahkan pernah pertandingan dihentikan sebelum selesai, semata demi menghindari keributan.
Sebagai langkah jangka pendek, memang kelihatannya bijak, mengantisipasi kerusuhan. Namun, untuk jangka panjang, akan berdampak buruk. Pertama, memindahkan tempat pertandingan hanya agar tidak terjadi kerusuhan sama sekali tidak mendorong masyarakat (baca suporter) menjadi orang yang lebih baik atau lebih menaati hukum dan keteraturan sosial.

Drama dan Revolusi Mental

Edisi 27-10-2015

Keresahan politik berkembang di hati rakyat. Mereka menyadari tatanan kehidupan sudah semakin rusak. Para penggede negara sudah lupa. Para pemimpin rohani tetap sibuk berjualan ayat-ayat suci untuk memperkaya diri sendiri.

Rakyat tersiasia. Keadilan ditunda-tunda. Rakyat menyadari pula, di negeri ini selembar daun kering lebih berharga dari rakyat itu sendiri. Betapa getir kehidupan negeri ini. Dan, betapa nista penggede-penggede kita. Mereka pun bertanya: kapan rakyat menjadi raja? Mengapa kita lupa memperjuangkannya?

Kapan rakyat makan enak? Kapan rakyat sehat- sehat? Kapan rakyat boleh pinjam uang di bank? Kapan rakyat punya rumah? Kapan rakyat kebagian pekerjaan? Kapan rakyat didatangi keadilan? Kapan rakyat berhenti menjadi TKI? Kapan pemerintah berhenti menipu diri? Rakyat menanti datangnya Ratu Adil yang bakal mengatur lakon ”Kapan Rakyat Menjadi Raja”.

Candu Kleptokrasi

Koran Sindo  27-10-2015

Korupsi tak ada matinya. Setiap periode kekuasaan, seakan meneguhkan pernyataan populer dari Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup. Para pelaku korupsi bisa berbeda setiap zamannya, tapi modusnya hampir serupa yakni menggunakan kuasa yang ada di tangannya untuk memperkaya diri atau kelompoknya.

Ibarat candu, korupsi membuat ketagihan dan ketergantungan, terlebih jika sistem pengawasan hukum lemah dan kekuasaan dikendalikan para pemburu rente! Pada dasarnya, pemburu rente senantiasa mencari dan mendapatkan peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan birokrasi.

Caranya, menyerahkan sumber daya yang mereka miliki, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang tertentu yang diaturnya. Saat kecanduan para koruptor lupa daratan! Tanpa malu, mereka menjadi mata rantai kaum pencuri dan menjadi penunggang bebas kekuasaan yang teramat merugikan.

Saturday, October 24, 2015

Warisan Kejujuran dan Kecurangan

Indra Tranggono

Bahkan para pencuri recehan sekalipun masih punya ”idealisme”. Mereka tak ingin anak dan cucunya jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh lebih terdidik, berkuasa, dan ”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya malu jika mewariskan tradisi kecurangan dan pencolongan kepada generasi penerus bangsa. 

Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah kejujuran. Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi harta kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran, negeri ini merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum akhirnya terpuruk seperti saat ini akibat maraknya korupsi.

Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci telah memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi harus dikatakan dan dijalani.

Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi kepuasan duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga dibenci.

Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika, estetika, moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat baik, berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan modal utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang bermakna bagi kemanusiaan, masyarakat, dan negara. Dalam konteks bernegara, di titik kebenaran itulah seluruh kepentingan rakyat bermuara.

Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara pun bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan penderitaan rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas negara.

Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan berbagai retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari ulah badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat bisa bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”

Konser korupsi
Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR untuk merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan pendukung revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga sementara dan karena ”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas dari korupsi, KPK harus out dari negara.

Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan usia KPK itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke depan sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang, ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12 tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?

Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit ringan yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan moral bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk empat komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara harmonis menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama dahsyat, membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan kemakmuran bangsa rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu berkekuatan ”gaib” dan mampu menjadikan bangsa kita miskin.

Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi pengampunan bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi. Kenapa para penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada koruptor yang sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa? Kenapa terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai kekayaan dan kebaikan?

KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh KPK sama dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam apa yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya, pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun tradisi.

Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya menjadi bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus. Sayangnya, nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke depan, generasi penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?

Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan dan peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu memperjuangkan masa depan bangsa.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Warisan Kejujuran dan Kecurangan"

Mengingat Tan

Mengingat Tan

Kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka. 

Seandainya ada the founding father yang tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat hidupnya paling tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk kepada Ilyas Hussein, satu dari 23 nama samaran yang disandingnya.

Selama 20 tahun, hidup Tan Malaka berada dalam pengasingan. Ia mengelilingi separuh dunia (1922-1942) di bawah bayang-bayang perburuan intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda sebelum akhirnya mati mengenaskan: pada 21 Februari 1949, tentara Republik Indonesia mengeksekusinya di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Ia dianggap menentang Soekarno-Hatta dan dipandang membahayakan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Ironis, Tan Malaka menemui ajal bukan oleh kaum kolonial, melainkan di tangan bangsanya sendiri.

Kalau hari ini banyak orang yang membaca kembali pikiran Tan Malaka, mungkin benar apa yang pernah dikatakannya tahun 1948, ”Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas Bumi.”

Jokowi dan Dunia Riset Indonesia

Wasisto Raharjo Jati
Sama seperti pada penyelenggaraan acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 24 Maret 2015, pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, 8-11 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo juga tidak hadir. 

Ketidakhadiran seorang presiden dalam acara temu ilmiah menjadi pertanyaan penting mengenai keberpihakan pemerintah dalam kebijakan riset. Dengan kata lain, riset masih menjadi anak tiri dalam kebijakan pemerintahan Jokowi setahun ini.

Hal tersebut berbeda dengan sikap Presiden Tiongkok, Perdana Menteri Jepang, ataupun Kanselir Jerman yang langsung mengiyakan datang dalam acara serupa di negaranya. Mereka datang dan bertemu untuk mendiskusikan hasil riset yang sudah dikerjakan dan dihasilkan untuk disalurkan kepada pemerintah.

Berbasis riset
Dalam kasus Indonesia, pengedepanan hasil kebijakan berbasis riset (policy-based research) dan hasil kajian berbasis riset (evidence-based research) belum mendapatkan perhatian lebih. Implikasinya, kebijakan pemerintah yang dihasilkan selama ini dibuat berdasarkan nalar by agenda dan by issue, bukan by research. Kondisi itulah yang menyebabkan hasil riset bertumpuk di gudang kantor pemerintah.

Fungsi litbang yang sejatinya sebagai lembaga penelitian dan pengembangan justru dipelesetkan menjadi lembaga sulit berkembang. Munculnya akronim itu menunjukkan bahwa riset adalah dunia satire dan ironi.
Meskipun kini Dikti sudah digabung dengan Kemenristek, belum tampak ada gebrakan. Upaya menyinergikan riset yang dikomandoi Dikti melalui PTN, PTS, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi koordinator litbang di setiap kementerian dan nonkementerian belum menunjukkan hasil signifikan.

Perumusan kebijakan
Dunia riset seharusnya menjadi arena strategis bagi perumus kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dibangun melalui proses agenda setting oleh para stakeholder yang ingin kepentingannya dipenuhi dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Adanya subyektivitas personal dan kolektif yang dipilih dalam merumuskan kebijakan publik menyebabkan dimensi kemaslahatan kebijakan tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Kebijakan tanpa didasari hasil riset hanya berujung pada pemborosan anggaran karena tidak ada dasar obyektivitas ilmiah yang dijadikan parameter.

Meski demikian, bicara dunia riset di Indonesia adalah suatu keprihatinan klasik yang selalu berulang. Salah satunya, masalah anggaran riset yang hanya 0,9 persen dari APBN, padahal idealnya 1,5 persen. Selain itu, redistribusi hasil riset dari lembaga penelitian yang tidak merata dan hanya menumpuk di gudang, birokratisasi ilmu pengetahuan sehingga menjadikan peneliti seperti dalam penjara panopticon negara karena selalu diawasi secara sadar dan tidak sadar, dan masalah kesejahteraan peneliti yang dirasa kurang dibandingkan dengan rekan sejawat peneliti di negara-negara lain.

Implikasinya bisa kita simak bahwa pola brain drain akan selalu berulang setiap tahun daripada kita berharap brain gain tanpa ada perbaikan internal di dalamnya. Kenyataan bahwa Presiden berhalangan hadir membuka acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 2015 sudah menyimbolkan bahwa kajian riset masih dianaktirikan. Sebaiknya Presiden memang hadir dalam acara Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) di LIPI jika masih peduli dengan ilmu pengetahuan.

Menurut rilis R&D Magazine pada 2014, posisi Indonesia berada di bawah 1 persen dalam pengembangan riset. Artinya, masyarakat Indonesia berada dalam masyarakat tanpa pengetahuan karena minimnya ilmu pengetahuan yang diolah dan diterapkan.

Secara politis, pemilihan LIPI sebagai tuan rumah Kipnas ke-11 juga mengandung pesan simbolis kepada pemerintah. Pertama, penguatan lembaga penelitian jadi lembaga penelitian dan pengembangan. Selama ini posisi sebagai lembaga penelitian dinilai tidak bisa bergerak bebas dalam menyebarkan hasil kajian riset. Riset itu hanya dilakukan secara internal, hasilnya untuk internal dan menjadi buku, tanpa masyarakat sebagai user mengerti proses terciptanya ilmu pengetahuan.

Bebas dan meluas
Adanya nuansa mendakik dan menukik itulah yang menjadikan lembaga penelitian tidak membumi dan familiar di kalangan masyarakat. Maka, dengan adanya dimensi pengembangan, ilmu pengetahuan itu secara independen bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas dan meluas.

Kedua, penguatan LIPI sebagai lembaga koordinator institusi riset di seluruh Indonesia perlu ditegakkan. Selama ini, peran dan hasil riset setiap lembaga penelitian tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menciptakan kontestasi antarlembaga. Hal itu sebenarnya karena setiap lembaga penelitian ingin mendapatkan pamor dan panggung dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas isu. Pola itulah yang harus diberantas dengan LIPI berperan sebagai mediator dan koordinator bagi semua lembaga riset, bahwa riset untuk kemajuan jauh lebih penting daripada riset untuk persaingan.

Adanya UU Peneliti dan Penelitian Ilmu Pengetahuan yang masuk Program Legislasi Nasional 2015 perlu diadvokasi dan disahkan guna memastikan masa depan ilmu pengetahuan yang cerah. Ketiga, LIPI berupaya menagih janji Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran riset karena setahun lalu Jokowi berjanji akan menaikkan anggaran riset menjadi 1 persen. Dalam Nawacita disebutkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi pilar penting pembangunan negara.

Ketiga pesan simbolis tersebut merupakan upaya menjembatani dunia riset dengan dunia kebijakan yang belum terhubung. Kebijakan tanpa dasar ilmiah adalah pembohongan dan riset tanpa disertai kebijakan adalah kemunafikan. Oleh karena itulah, kedua arena tersebut perlu dihubungkan bahwa bahasa riset yang menukik dan mendakik itu bisa dijelaskan secara awam dalam bahasa kebijakan dan bahasa kebijakan yang serba teknis itu jelas dasarnya dari proses ilmiah. Maka, Kipnas di LIPI pada 8-11 Oktober 2015 menjadi ajang penting dalam menyinergikan riset dalam kebijakan.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman

Kedaulatan Energi dan Listrik

Mudrajad Kuncoro

Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi 16.000 megawatt. 

Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bersikukuh tetap akan menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.

Kontroversi semacam itu jelas "tidak menyejukkan", kontraproduktif, dan dinilai memberikan sentimen negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan energi nasional yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya cita-cita?

Pertumbuhan rendah
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2015 tumbuh 4,67 persen (year on year), melambat dibandingkan triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03 persen. 

Pada triwulan I-2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa pendidikan yang tumbuh 12,16 persen, diikuti oleh informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan industri pengolahan (4,42 persen). Kendati demikian, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi tajam atau tumbuh negatif 5,87 persen.

Dengan kata lain, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama akibat sektor pertambangan yang mengalami pertumbuhan negatif. Ini diperparah dengan pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen. Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, serta tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah buruknya pertumbuhan kedua sektor ini.

Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, arah paket kebijakan ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum, memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri hilir. Menteri ESDM juga telah mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen ESDM No 35/2014), bidang migas (Permen ESDM No 23/2015), dan bidang minerba (Permen ESDM No 25/2015) ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Kementerian ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam enam bulan. Jika tahun 2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 jumlah ini menyusut menjadi 89 perizinan, dengan 63 perizinan telah didelegasikan ke PTSP di BKPM.

Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47. 

Indonesia akan terus menjadi net importer minyak jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan semakin besar jumlahnya, akan semakin besar pula ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Khusus gas, masalah utama terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012 memang ekspor lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013 konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai 1,773 MMSCF per hari.
Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Atau rakyat Madura yang kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan target pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan 273 miliar dollar AS dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.

Prioritas kebijakan
Tidak mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaannya, dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga terjangkau dan mudah diakses, baik rumah tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda.
Untuk itu, perlu prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.

Pertama, realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai tahun 2015 selalu lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak makin tinggi dan kita menjadi net importer minyak. Permasalahan yang menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya.
Kenyataannya, makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal, dan Indonesia barat dengan biaya rendah. Insentif berupa pengurangan, apalagi penghapusan, Pajak Pertambahan Nilai untuk eksplorasi ladang migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk, serta sepeda motor hibrida dan listrik sudah saatnya dicoba. Di Inggris dan negara Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis listrik dan hibrida jauh lebih murah daripada BBM.

Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku. Potensi cadangan gas yang akan dikembangkan terletak jauh dari pusat konsumen/industri dan kebanyakan di laut dalam di kawasan timur Indonesia. 

Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating storage regasification unit (FSRU) atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan, (2) pembangunan pipa gas dengan total panjang 6.362 kilometer, (3) pembangunan 118 SPBG, serta (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU dan pemberian insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.

Debirokratisasi
Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU migas baru dengan adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi dan dilanjutkan untuk menurunkan "biaya birokrasi".

Keempat, sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas, bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain dengan memberi kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan rasio elektrifikasi, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah/desa tertinggal. 

Hingga kini, FSRU baru segelintir serta terpusat di Lampung dan Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera, perluasan jalur pipa gas hingga pelosok desa mutlak diperlukan. Kawasan timur Indonesia butuh lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol laut.
Kelima, perlu sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN, Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun peta jalan agar tak berebut "kue" di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan distribusinya. Strategi coopetition, yaitu mengawinkan strategi bekerja sama dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan agar perusahaan pelat merah menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya, barangkali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN dan Pertamina ataupun Pelindo dan PLN, mengingat kesamaan jenis bisnis dan sinergi yang meningkatkan jika perusahaan pelat merah "dikawinkan".

Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan program aksi dengan target yang jelas. Sudah tidak saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik bukan hanya cita-cita, melainkan menjadi realitas yang dinanti rakyat.
Mudrajad Kuncoro
Guru Besar FEB UGM