Thursday, November 26, 2015

Membangun Riset Perguruan Tinggi

KORAN SINDO Edisi 26-11-2015
Profesor digugat. Mengapa dan apanya yang digugat? Ada yang mengatakan jumlah profesor di negeri kita terlalu sedikit (hanya sekitar 5.000 orang). 
Yang lain bilang publikasi profesor Indonesia kurang. Bahkan ada yang menyatakan syarat meraih jabatan profesor terlalu mudah. Janganjangan ada yang berpendapat, profesor gajinya besar, tapi kinerjanya tidak beda dengan dosen lain yang bukan profesor. 

Yang jelas, dulu profesor banyak yang menderita karena gajinya hanya Rp5 juta per bulan, tetapi di era pemerintahan SBY jabatan profesor diberi apresiasi, yaitu tunjangan guru besar senilai dua kali gaji pokok ditambah tunjangan sertifikasi yang juga diterima dosen-dosen nonguru besar sebesar satu kali gaji pokok. Saat ini banyak profesor yang sudah bisa bernapas lega, tidak lagi dikejar-kejar kebutuhan hidup. 

Mengelola Guru Republik Indonesia

KORAN SINDO, Edisi 26-11-2015
Membincangkan guru di Indonesia adalah cerita tentang peningkatan kompetensi serta kesejahteraan guru yang belum usai, dan jauh dari sederhana. 

Upaya pemerintah mengelola guru republik belum mencapai hasil yang menggembirakan. Deretan masalah guru yang jumlahnya mencapai 2,92 juta orang ini masih sangat banyak dan kompleks. Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional dan HUT Ke-70 PGRI, 25 November 2015, saya ringkaskan masalahmasalah guru tersebut, bukan untuk menghujat siapa, tetapi untuk saling mengingatkan kita semua tentang nasib guru yang jauh dari kompeten, apalagi sejahtera. 

Padahal, para pemimpin republik dulu dan sekarang adalah hasil didikan guru-guru di masa lalu. Setelah melahirkan banyak pemimpin di Kemendikbud dan Kemenag, bahkan presiden RI, para guru masih tertatih-tatih memperjuangkan hak-haknya demi kesejahteraan mereka. Pertama, kualifikasi pendidikan guru. Hanya 40% guru yang berpendidikan S-1, sisanya, 60%, berpendidikan di bawah S- 1. 

Saturday, November 21, 2015

Fokus Pengurangan Kemiskinan

HARYONO SUYONO
Dalam suatu paparan menarik beberapa waktu lalu, Bappenas melihat bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum efektif dan optimal dalam pelaksanaan program dan kegiatannya.
Hal itu antara lain disebabkan tak tepatnya sasaran, tak adanya keterpaduan lokasi, waktu, dan lemahnya koordinasi antarprogram dan kegiatan antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi dianggap belum seluruhnya selaras. Juga diakui masih ada marjinalisasi pada penerima program penanggulangan kemiskinan
Bappenas pun mengakui masih ada ketimpangan pemahaman terhadap kebijakan makro dalam melihat upaya pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah. Di samping itu, pada tiap daerah terdapat kesenjangan di antara berbagai pemegang tanggung jawab terhadap hal yang sama. Biar pun tidak seluruhnya tepat, dilihat juga oleh Bappenas, kesadaran sebagian masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan serta kesehatan ibu dan anak masih rendah.

Peran Psikologi dalam Pembersihan Pasca-G30S

Koran sindo, edisi 21-11-2015
Pengadilan Rakyat Internasional atas Kasus 1965 yang dilangsungkan di Den Haag (10-13 November 2015) mengangkat tuntutan terhadap pertanggungjawaban pemerintah serta angkatan bersenjata di bawah Jenderal (Presiden) Suharto dan milisi yang berada di bawah kendalinya atas peristiwa yang disebut-sebut sebagai tindak kejahatan kemanusiaan pasca-Gerakan 30 September 1965 (G30S). 

Terselip di salah satu halaman pada kertas kerja dalam persidangan itu, tercantum poin peran kalangan psikolog Indonesia dalam pengklasifikasian para tahanan. Mereka yang diduga berafiliasi dengan PKI diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat loyalitas para tahanan itu pada komunisme. Mereka yang termasuk dalam kategori A dianggap memiliki keterlibatan langsung dengan PKI dan menjalani eksekusi mati. 

Involusi Pertanian dan Punahnya Petani

Involusi Pertanian dan Punahnya Petani
Kamis, 12 November 2015, 12:00 WIB
Hasil pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100 persen dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100 persen tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu.

Secara makro, kue terdiri atas dua lapis: lapis pertama adalah pertanian, dan lapis kedua adalah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani, dan lapis kue industri adalah hasil kerja sektor industri.

Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis industri yang membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100 persen, dalam ilmu ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural. Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.

Tragedi Paris, Islam, Dan Barat

koran republika
Senin, 16 November 2015, 13:00 WIB
Di tengah-tengah upaya Eropa menangani pengungsi dari Timur Tengah, Paris diguncang aksi kekerasan yang mengerikan (13/11). Celakanya, sebagian besar pelaku diyakini berasal dari Timur Tengah.

Salah satu implikasi dari tragedi Paris adalah menguatnya sentimen negatif warga Prancis khususnya dan Eropa pada umumnya terhadap Muslim, Arab, dan Islam. Pandangan kelompok ultranasionalis yang anti-Muslim memperoleh momentum. Menurut salah satu narasumber Al-Jazeera dalam acara Ma Wara al-Khabar, retorika anti-Muslim menguat drastis di media-media sosial di Prancis dua hari terakhir. Bahkan, respons sebagian kalangan mengarah pada tindakan-tindakan keras terhadap lembaga-lembaga keislaman.

Catatan Muktamar Persis

Sabtu, 21 November 2015, 13:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
AYIPUDIN
Pendiri Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis) Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Prof DR Hamka (Uhamka) Jakarta

Persatuan Islam (Persis)
sebagai salah satu ormas Islam ketiga terbesar setelah NU dan Muham - madiyah akan mengada - kan muktamar ke-15 di Jakarta pada 21-23 November 2015.

Indonesia Antara TPP dan RCEP

KORAN REPUBLIKA Kamis, 19 November 2015, 12:00 WIB

Dalam pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama (26/10/15) di Washington, Presiden Jokowi di hadapan para wartawan mengungkapkan keinginan Indonesia bergabung dalam Pakta Perdagangan Trans-Pasifik (Trans Pacific-Partnership/TPP). Pernyataan ini ditegaskan kembali pada acara jamuan makan malam dengan kalangan bisnis dan pemangku kebijakan keesokan harinya.

Di dalam negeri, pernyataan Presiden tersebut tentu menyentak publik, mengingat sejak beberapa tahun lalu, Indonesia selalu berusaha menghindar dari setiap lobi Amerika untuk mengajak bergabung dalam TPP. Sebaliknya, Indonesia justru cenderung mendekat ke Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) yang didorong oleh ASEAN dan enam negara mitra, yaitu Australia, Cina, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru.

HMI Penjaga Budaya Indonesia

KORAN SINDO Edisi 21-11-2015
Bayangkan, Indonesia adalah negara dunia ketiga yang sering sakit-sakitan. Layaknya seorang manusia ketika sakit tentu membutuhkan obat, namanya Globalisasi. 

Obat itu rasanya wajib sehingga setiap negara di dunia suka ataupun tidak suka dicekoki dengannya. Namun sejatinya, semua obat memang selalu memiliki efek samping bagi pemakainya. Francois Chaubet, seorang pakar sejarah kebudayaan internasional menyebutnya sebagai hiperkonsumerisme. Mondialisasi-globalisasi yang cepat, mempersempit ruang sehingga memaksa kita untuk berkonsumsi, meningkatkan kebutuhan, serta menyetir para warga di suatu negara dunia ketiga. 

Hiperkonsumerisme itu menuntun kita lupa akan diri. Segala cara kemudian ditempuh untuk memenuhinya. Lahirlah penyakit sistemik manusia yang paling purba, bernama pragmatis. Pragmatis ini menekankan sifat individualis, maruk, maunya selalu untung, dan instan dalam berbagai bidang. Ketika melihat sejarah, peradaban-peradaban besar senantiasa hancur dan digenosidakan— pembunuhan massal—oleh para warga dan pemimpin yang terkena penyakit pragmatis, kita bisa melihat keruntuhan Majapahit dan Sriwijaya sebagai contoh. 

Saturday, November 14, 2015

Menggugat Profesor


Sayang sekali perbincangan tentang keprofesoran yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi baru-baru ini (Kompas, 30-31 Oktober 2015) tidak menyentuh inti persoalan mengapa kinerja perguruan tinggi di Indonesia secara umum tetap loyo di tengah persaingan perguruan tinggi dunia. Padahal, alokasi anggaran Ditjen Dikti telah meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Salah satu indikator ”keloyoan” itu adalah hanya ada satu perguruan tinggi (PT) tahun ini, yaitu Universitas Indonesia, yang masuk dalam daftar 800 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education Survey (THES) 2015/2016. Itu pun di peringkat kategori terbawah: 600-800. Kita tahu pemeringkatan seperti THES bukan patokan mutu yang baku, tetapi ia memperjelas gambaran keterpurukan PT di Indonesia.

Dua Paradigma Desa


Analisis J Kristiadi di harian ini empat hari lalu menempatkan pemilahan dua paradigma sebagai pangkal kisruh desa dalam dua tahun terakhir: desa membangun dan (pemerintah) membangun desa. 

Kesimpulan Kris berguna untuk memusatkan penyelesaian persoalan pada pemupukan pertemanan paradigma. Tujuannya, memantik implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui soliditas antarpemimpin, antarkelembagaan, dan pola perilaku solidaritas di lapangan.

Thomas S Kuhn mengonsepkan paradigma sebagai cara pandang spesifik untuk memetik pemahaman lingkungan, bersikap, dan berperilaku secara khas. Kacamata berbeda memaknai pemberian uang dari desa kepada pendamping sebagai kesopanan berterima kasih, kacamata lain menuduhnya penyuapan.

TPP, Perlukah Kita Bergabung?

Ginandjar Kartasasmita
Belakangan ini muncul perdebatan di masyarakat tentang tepat tidaknya Indonesia masuk ke dalam Kemitraan Trans-Pasifik. Perdebatan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke AS bahwa Indonesia bermaksud masuk TPP. 

Saya menyambut gembira adanya perdebatan terbuka ini karena masalah ini berdampak jauh dan berjangka panjang sehingga sepatutnya menjadi bahan bahasan masyarakat secara luas sebelum pemerintah memutuskan. Tulisan ini merupakan sumbangan terhadap diskusi terbuka mengenai masalah ini.

TPP adalah perjanjian kerja sama ekonomi yang diikuti oleh 12 negara, yaitu Brunei, Singapura, Cile, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Peru, Malaysia, Kanada, Meksiko, dan Jepang. Walaupun pengambil inisiatif pertama TPP bukan AS, tetapi proses perundingan banyak dipengaruhi oleh AS.

Ekonomi Politik Pengupahan

Dodi Mantra 
Regulasi pemerintah atas upah, yang termanifestasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, benar-benar mencerminkan keberlangsungan tatanan kapitalisme neoliberal dalam kompleksitas dan coraknya yang spesifik.

Sebuah tatanan, ketika kapitalisme jadi relasi sosial produksi, berjalan dalam totalitas yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam totalitas ini kapitalisme tak dapat diletakkan semata-mata sebagai sistem ekonomi di mana aktivitas teknis produksi berlangsung.

Sedari produksi di dalam kapitalisme berbasis pada relasi sosial, keberlangsungan dan kelancaran sirkulasinya mensyaratkan penciptaan kondisi penopang di segenap lini kehidupan masyarakat. Membentang mulai dari ranah politik, hukum, sampai budaya, kondisi tertentu harus diciptakan sedemikian rupa sehingga terus memungkinkan sirkulasi relasi sosial produksi kapitalis ini dapat terus berjalan.

Wakaf Budaya, Belajar dari Sosok Umar Kayam


Keteladanan masih jadi krisis laten bangsa kita. Tumbangnya otoritarianisme dan munculnya demokrasi liberal tak otomatis disertai kemunculan tokoh- tokoh nasional yang layak dijadikan panutan secara nilai, etik, dan moral. 

Dunia politik, hukum, dan ekonomi paling jeblok dalam soal keteladanan. Sementara dunia kebudayaan masih lumayan melahirkan tokoh-tokoh teladan. Umar Kayam (1932-2002), misalnya, tokoh yang turut membangun berdirinya Orde Baru, tetapi kemudian bersikap kritis dan memilih posisi di luar kekuasaan dan mewakafkan keilmuannya melalui jalur pendidikan dan kebudayaan.

Profesor untuk Apa?

Hendra Gunawan

Pada akhir tahun 2012 saya menghadiri sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Calcutta Mathematical Society (CMS), di sebuah gedung sederhana tempat CMS berkantor. Ada yang berkesan tentang gedung CMS tersebut. Di ruang utamanya terpampang sejumlah foto para ilmuwan, bukan hanya matematikawan, melainkan juga fisikawan dan ilmuwan terkemuka dalam bidang lainnya. 

Kebanyakan di antara ilmuwan yang fotonya dipasang bahkan bukan ilmuwan asal India, melainkan ilmuwan mancanegara. Sebutlah seperti Isaac Newton, Joseph Fourier, dan Albert Einstein.

Pesan yang ingin mereka sampaikan dengan memajang foto para ilmuwan ini sangat jelas: para ilmuwan tersebut merupakan benchmark (acuan) bagi mereka dalam berkarya. Pemandangan serupa pernah saya jumpai di sebuah perguruan tinggi di Ho Chi Minh City, Vietnam, yaitu terpampangnya foto tokoh kelas dunia yang telah berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Wednesday, November 11, 2015



Oligarki Politik dan Kerangkeng Demokrasi
http://www.unisosdem.org/images/spacer.gif


Oleh: Max Regus



LIMA jari, bahkan 10 jari, tangan sudah tidak cukup untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas sederetan kebijakan-kebijakan politik kontroversial hingga saat ini. Simbolisme `tangan'-Persetujuan Anggaran Hambalang Ajaib--yang judul menjadi berita utama Media Indonesia (31/5) menunjukkan ketidakjelasan keseluruhan akuntabilitas proyek pembangunan yang sudah menguras uang negara. Pertama, kita bisa lihat bagaimana tiap tokoh politik dan pemerintahan memiliki jawaban masing-masing untuk satu titik masalah rawan yang menyimpan banyak kejanggalan.

Kedua, ada soal lain yang lebih serius. Apa yang dikemukakan Media Indonesia dalam simbolisme tangan yang terbuka itu mirip sebuah ucapan selamat tinggal. Sesungguhnya, ada indikasi bagaimana kekuasaan dengan beragam persoalan korupsi sedang mengucapkan salam perpisahan dengan publik. Proyek pembangunan yang menelan uang negara dengan kualifikasi yang masih dalam tanda tanya sebentar lagi akan melenyap dari pandangan kritis publik.

Itu akan menambah daftar panjang kisah kejahatan politik yang sirna dari jangkauan keadilan publik.

Ketiga, demokrasi, yang dipenuhi begitu banyak janji politik masa lalu, kecurangan pada level-level utama kekuasaan, dan prospek keadilan sosial yang semakin suram, mengerut di tangan rakus para penguasa. Itu makna lain simbolisme tangan Media Indonesia.

Lumpuhnya Parpol


KOMPAS 03 Okt 12

Oleh: Arie Sujito



Lengkap sudah jawaban atas sinyalemen yang berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami kelumpuhan akut.

Selama lebih dari satu dekade sejak Reformasi, publik begitu risau atas ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, serta ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini.

Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja usai jadi bukti pelengkap betapa parpol mengalami krisis fungsi. Terbukti, perolehan jumlah kursi di parlemen tidak berbanding lurus dengan perolehan suara di pilkada.

Regenerasi Kepemimpinan Politik

Regenerasi Kepemimpinan Politik
KOMPAS, Kamis, 30 Juli 2009 | 03:04 WIB
Oleh: Arie Sujito 
 
Seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden, kita perlu menatap agenda ke depan. Salah satu hal yang penting dipikirkan adalah regenerasi kepemimpinan politik, terutama menyambut 2014.

Selama ini, organisasi sosial politik (orsospol) sebagai institusi strategis yang bertugas menyiapkan kader dalam rotasi kekuasaan kurang mampu menjalankan fungsinya. Kaderisasi macet, daya orsospol sebagai mesin pencetak kaum idealis dengan tumpuan ideologi kian menyusut. Kondisi ini ironis.

Pada zaman Orde Baru, organisasi formal terjebak desain korporatik. Para kader dituntut loyal kepada kekuasaan. Di sisi lain, karena sistem politik yang otoriter, berkembang kaderisasi secara sembunyi-sembunyi, kaderisasi ”bawah tanah”, toh melahirkan aktivis kritis dengan daya volutarisme kuat. Spirit perjuangan melawan otoriterisme negara, saat itu, tumbuh. Sebaliknya, pada era reformasi yang seharusnya mendapat keleluasaan mengembangkan organisasi dan aktivitas berpolitik, kaderisasi kurang diperhatikan.

Pencitraan dan Emansipasi Pemilih

Arie Sujito  ;  Sosiolog; Dosen Fisipol UGM
KOMPAS, 18 Oktober 2013

POLITIK pencitraan berbasis survei makin populer karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan analisis olah realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan polling atas suatu kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif dengan membangun citra, mampu merebut ruang ”diskursus”.
 
Politik pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis bombastis, melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus digandrungi banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam elektoral.
 
Namun, politik pencitraan berbasis survei atau polling yang ngetren itu juga memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun hasil ”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak seindah tafsir angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan kepalsuan politik. Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan politisi, terutama ketika menemukan alternatif baru dalam figur perubahan.
 
Atas dasar itulah, kemungkinan pada Pemilu 2014 akan banyak muncul tanda-tanda ”kehausan” politik berkualitas berbasis pemilih berdaya. Dalam cara pandang kritis, tantangan untuk menjawab pembenahan elektoral dan demokrasi makin relevan dijawab, yakni perlunya menyajikan pendekatan baru atau metodologi yang lebih emansipatif dalam membangun politik pencitraan. Dengan begitu, jika akan terus dipakai, politik pencitraan sebagai gejala umum modernisasi kampanye harus mampu menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang bermakna. Ini boleh disebut ”pencitraan plus”.
 
Ada beberapa asumsi dasar yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada kecenderungan ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan parpol makin terasa dan tidak bisa dibantah. Fenomena tersebut ditandai dengan pragmatisme pemilih, bahkan apatisme.
 
Hal itu jadi masalah serius, melihat tren pemilu dan pilkada di mana partisipasi pemilih makin menyusut. Kedua, keengganan parpol mereformasi diri jadi problem krusial yang berdampak perluasan penyakit oligarki, korupsi, dan perpecahan dalam organisasi politik itu.
 
Pendekatan baru
Jika dikalkulasi berdasarkan kesempatan untuk membenahi keadaan, lebih penting memprioritaskan membenahi pemilih dibandingkan dengan berharap parpol berubah. Tujuannya adalah menjadikan pemilih sebagai subyek yang cerdas, memiliki kemampuan kritis saat memanfaatkan hak partisipasi pemilu. Bahkan meyakinkan kembali bahwa seburuk apa pun kondisi demokrasi kita, pemilu tetap harus dimanfaatkan dengan cara baru, berbeda dibandingkan dengan sebelumnya, agar suara pemilih tidak sia-sia.
 
Konsekuensi atas itu semua, metodologi membangun pencitraan harus bertumpu pada penggalian nalar, perspektif dan persepsi, serta kualitas argumen pemilih dalam memanfaatkan hak mereka atas suara dalam pemilu. Di sinilah pentingnya mengeksplorasi dan menelaah pengetahuan dan cara pandang pemilih atas situasi politik, figur, atau parpol dan segala seluk-beluk elemen demokrasi. Termasuk melakukan riset mendalam untuk membangun pencitraan berbasis konstruksi sosial pemilih, dengan segala harapan yang melekat di dalamnya, dengan kedalaman bukti dan argumen.
 
Untuk pemilu presiden misalnya, tidak lagi kita melulu mendiagnosis dengan potret cepat atas lapis permukaan pemilih, atau cara kilat survei model polling yang di dalamnya sekadar menguantifikasi harapan, juga pilihan dan orientasi yang bisa dijawab dengan instan atas kandidat. Hasil semacam itu hanya menemukan derajat popularitas dan elektabilitas.
 
Sebaliknya, yang diperlukan lebih dari itu, yaitu penggalian kualitatif, melacak nalar pemilih, menggali, dan menganalisis alasan-alasan kunci dengan temuan lebih dalam dan lengkap. Itu yang disebut menembus jantung pikiran dan hati rakyat sebagai pemilih. Rakyat perlu diketahui dan dipahami sebagai subyek pemilu.
 
Cara ini tentu lebih berbobot karena cenderung tidak serampangan atau generik. Tantangan metodologi penggalian nalar ini adalah kebutuhan data, waktu, dan kapasitas analisis yang tidak asal-asalan. Namun, pendekatan inilah yang justru mampu menghasilkan narasi bermakna yang dapat dimanfaatkan membenahi demokrasi ke depan, bahkan mampu menemukan potret sesungguhnya pemilih dengan segala argumen dukungan.
Pemilih sebagai subyek
Beberapa waktu lalu Lembaga Intrans sempat merilis pendekatan argumen pemilih mirip gagasan tersebut. Adalah pendekatan kualitatif dalam membangun citra politik dalam pemilu. Jika menemukan narasi berisi nalar dan argumen pemilih, kemungkinan menghasilkan perdebatan yang lebih substansial.
 
Terkait dengan hal itu, poin kunci yang perlu diperdalam, di antaranya, pertama, bagaimana memetakan pemilih di Indonesia yang beragam dan tentu memiliki derajat kesadaran dan pengetahuan politik tidak sama. Kita perlu data yang cukup baik dan memadai sebagai modal atau dasar awal untuk melacak mereka lebih jauh. Hal ini membutuhkan metode, tools, atau instrumen yang memadai.
 
Kedua, perumusan dan penyusunan konsep dan indikator persepsi pemilih atas kandidat harus mencerminkan konstruksi berpikir dan realitas sosial pemilih, tidak sekadar dibangun dengan cara-cara nalar asumsi dari sekadar sang peneliti, tim sukses, atau kandidat.
 
Ketiga, perspektif dan kerangka analisis yang mampu menjadikan pemilih sebagai subyek sangat diperlukan. Ini akan menentukan, apakah hasil riset itu mencerminkan potret dan narasi yang mendalam atas situasi nyata ataukah dangkal sama sekali.
 
Konteks itu menjadi dasar perlunya membawa orientasi pada perspektif baru mendorong diskursus substansial tentang elektoral dan bahkan kekuasaan ke depan. Bagaimanapun, kegalauan situasi politik saat ini bisa berulang jika tidak beranjak dan mengubah diri dari cara lama yang makin dangkal itu, yang kebetulan digandrungi karena mudah dikerjakan.
 
Ke depan, jika metodologi persepsi, cara pandang, dan orientasi pemilih atas kandidat ini bisa dioperasikan dengan baik dan pandangan kritis, hal ini akan menjadi sumbangan berharga atas kegalauan politik yang kian dangkal. Pemilih harus diposisikan sebagai subyek, pendekatan emansipasi agar warga kian berdaya dalam pemilu.
Itulah dasar utama terjadinya transformasi politik warga yang bermakna, salah satu penanda demokrasi substansial. ●

Wednesday, November 4, 2015

Potret Euforia Advokat Indonesia

Koran SINDO
Rabu, 4 November 2015 − 07:23 WIB


Hari-hari dalam minggu ini di halaman akun media sosial (medsos) sahabat-sahabat saya ramai dengan foto-foto kebahagiaan dilantik menjadi advokat. Foto-foto dengan latar toga hitam lengkap dengan lidah putih (bef) menjuntai setelah selesai diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi setempat di berbagai daerah di Indonesia. Tak lupa iringan kata-kata selamat secara formal sampai dengan gaya canda terlontar dalam setiap komen di akun-akun medsos tersebut.

Inilah hari ”Lebaran” atau puncak euforia bagi para sahabat yang selama ini bergelut dalam bidang praktisi hukum, namun kesulitan untuk mencari ”nafkah” sesuai profesi karena terbentur dengan berbagai aturan yang tersaji. Mereka selama ini terhambat berbagai macam permasalahan, baik yang di-setting maupun tidak, baik yang diskenariokan oleh para oknum ”senior-senior” sendiri tentu dengan berbagai macam dalil pembenarannya masing-masing, ataupun ihwal lain yang kadang membuat kita para praktisi hukum tersenyum sendiri dengan alasannya.

Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/ IX/2015 tanggal 25 September 2015 seakan menjadi naskah ”kemerdekaan” para sarjana hukum yang selama ini sudah bergelut di pengadilan-pengadilan tanpa status ”de-jure ” kalau mereka adalah para pengacara.

Kebakarn Hutan Gambut dan Global Warming

Koran SINDO
Rabu, 4 November 2015 − 07:52 WIB

Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyatakan, pemerintah tengah membahas upaya restorasi gambut yang terbakar secara masif dalam beberapa bulan terakhir ini (27/10/15). Restorasi ini diprediksi akan menelan biaya puluhan triliun rupiah. Apa boleh buat. Kebakaran hutan gambut yang telah berlangsung hampir tiga bulan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan orang tewas dan jutaan orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap kebakaran tersebut.

Kebakaran hutan sepanjang 2015 ini, menurut Menko Polhukam Luhut Panjaitan, sebagai kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Luhut, salah satu penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. ”Inilah kesalahan kebijakan yang kita buat, bukan maksud menyalahkan pemerintahan yang lalu, dengan membagi-bagikan tanah gambut,” katanya dalam pidato pembukaan Rakor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2015). Ia menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar, lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan.

Presiden Tanpa Pemuda

Udar Rasa

Garin Nugroho
Bulan Agustus 2014 saya memberi catatan khusus dalam kolom ini tentang nilai penting bicara tentang pemuda, mengingat postur penduduk Indonesia usia produktif (15-35 tahun) mencapai lebih dari 60 persen. Kenyataan lain menunjukkan bahwa 50 persen lebih penduduk yang bekerja menanggung beban separuh lainnya, sementara kualitas tenaga kerja Indonesia lebih dari 50 persen didominasi lulusan sekolah dasar. Bisa ditebak, kualitas tenaga kerja Indonesia di bawah tetangga utama di ASEAN, dari Singapura, Malaysia, Filipina, hingga Thailand.

Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, di tengah situasi perayaan Sumpah Pemuda yang berlanjut dengan Hari Pahlawan, tidak cukup hadir komunikasi panduan kebangsaan dari Presiden atau juru komunikasi Presiden dan elite politik untuk merenungi pemuda dan masalahnya.

Karakter

OLEH: BRE REDANA

Seberapa jauh sesuatu hal perlu diatur dengan peraturan, kaidah, undang-undang, struktur, organisasi, dan lain-lain? Bekerja di lingkungan jurnalistik sejak masa pers belum berkembang menjadi industri sebesar, sekompleks, dan semulti-platform sekarang, menjadi ingat kata-kata yang sering diucapkan pimpinan kami waktu itu: yang diperlukan karakter.

Itu untuk menjawab hal-hal yang belum sempat terumuskan secara rinci dalam code of conduct, taruhlah misalnya menyangkut suap atau di kalangan wartawan disebut ”amplop”. Wartawan tidak boleh menerima amplop. Persoalannya, bagaimana wartawan yang ditugaskan dalam beat khusus, misalnya ditempatkan di departemen tertentu pemerintah? Ia harus ikut rombongan menteri, dengan pesawat maupun hotel yang disediakan oleh pihak pengajak? Kadang dihadapkan amplop yang sudah ditetapkan dalam anggaran departemen, sebagaimana anggota rombongan lain?

Kekuasaan Minus Tanggung Jawab

Tidak dialokasikannya anggaran penanggulangan bencana di dalam APBD menunjukkan betapa elite politik abai terhadap bencana dan rakyatnya. 

Otonomi hanya menjadi sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh, pekerjaan menjalankan pemerintahan adalah dalam upaya bagaimana kekuasaan bisa dipertahankan. Dalam semangat itu pulalah sering terjadi perpanjangan izin atau izin baru dkeluarkan menjelang pemilihan kepala daerah atau berakhirnya masa jabatan seseorang. Kondisi itu juga terjadi di pemerintah pusat.

Kekuasaan, minus tanggung jawab, tecermin ketika pemerintah tidak mengantisipasi munculnya kebakaran hutan dan menjadikan 50 juta orang di Sumatera dan Kalimantan terpapar asap. Laporan harian ini menunjukkan, di enam provinsi yang rawan kebakaran hutan dan lahan tidak ada anggaran memadai untuk penanggulangan bencana asap. Bahkan, di Jambi dan Kalimantan Barat, tidak ada sepeser pun anggaran khusus untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan. Di provinsi lain, anggaran kebakaran hutan memanfaatkan anggaran tidak terduga.

Bela Negara Progresif

Farouk Muhammad
Kamis, 22 Oktober 2015, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan mulai melaksanakan program bela negara yang wajib diikuti semua warga negara Indonesia.
 
Program dimulai secara serentak di 45 kabupaten dan kota dengan 4.500 warga sipil dipersiapkan untuk menjadi kader pembina. Kemenhan juga menargetkan 100 juta kader bela negara dalam 10 tahun ke depan. Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan, program itu dimaksudkan untuk mempersiapkan rakyat dalam menghadapi ancaman militer dan nirmiliter seperti tertera dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945. Menhan menegaskan, program bela negara dapat membangkitkan rasa cinta tanah air dan sebagai manifestasi gerakan revolusi mental.

Gagasan itu serentak menuai dukungan dan penolakan. Mereka yang mendukung mengemukakan bahwa program bela negara diyakini mampu memperbaiki mental bangsa melalui pembangunan etos disiplin, terutama dalam memperkuat ketaatan hukum rakyat dan menyelesaikan beragam penyakit sosial. Di sisi lain, meski Menhan menegaskan bahwa program bela negara tak sebatas mengangkat senjata dan akan disesuaikan dengan keahlian setiap peserta, mereka yang menolak bela negara melihat program ini sebagai pendidikan militer atau militerisasi rakyat. Kekhawatiran mereka yang mengkritisi program ini dapat dimaklumi karena luasnya definisi ”ancaman”, risiko munculnya kelompok kekerasan, dan belum terformulasikannya metode pelatihan.

Pilkada Serentak, Reformasi Odasios

Irfan Ridwan Maksum
Pemilihan kepala daerah serentak untuk pertama kalinya akan digelar pada Desember 2015. Waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkannya. Pilihan pilkada serentak merupakan respons atas jalannya pilkada langsung selama ini yang bergantung pada periode kepemimpinan masing-masing di tiap daerah otonom. 

Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara penyelenggara pilkada serentak di dunia ini, kelak. Sistem pilkada baru ini diyakini sukses jika efisiensi dapat diraih sembari mengatasi terjadinya petualang politik sesaat, yang sering kali terjadi pada masa lalu.

Namun, bayang-bayang ketidaksuksesan pilkada serentak pun menghantui, dengan sejumlah dampak buruk yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia dapat terjadi. Konflik yang masif adalah bayangan pertama. Kedua, gangguan administrasi peradilan jika gelombang keberatan masuk di Mahkamah Konstitusi menumpuk, dan stagnasi birokrasi sejumlah pemerintah daerah, serta sejumlah dampak lain. Oleh karena itu, kita wajib memikirkannya.

Rumitnya Mengelola Dana Desa

Analisis Politik J Kristiadi
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, selanjutnya disebut Mendesa PDTT, Marwan Jafar, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya yang sudah sampai ubun-ubun. Hal itu dapat disaksikan pada acara ”Solusi dan Guyonan Orang Desa” yang ditayangkan Minggu, 1 November, sekitar pukul 13.00, oleh salah satu TV swasta. Beberapa kali ia mengimbau keras kepada para bupati/wali kota yang mempersulit pencairan dana desa.

Ia bahkan mengancam menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil. Litani pernyataan keras dengan bumbu ancaman sebenarnya telah berlangsung beberapa bulan, tetapi tampaknya kurang efektif sehingga perlu mengemas rasa geregetan tersebut dalam bentuk drama komedi. Selain lebih ekspresif dan provokatif, penampilan dapat santai, sehingga pesan mudah dicerna masyarakat dan kepala daerah.

Namun, upaya itu belum menjamin kelancaran pencairan dana desa. Sebab, keru- mitan pengelolaan dana desa bertali-temali antara peraturan tumpang tindih, ego sektoral, dan pertarungan politik kekuasaan. Isu ego sektoral bersumber dari kerancuan menjabarkan filosofi eksistensi desa yang dibahasakan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 16/2014 tentang Desa sebagai persenyawaan antara self governing community–SGC (masyarakat yang mengatur urusannya sendiri) dan local self government–LSG (pemerintahan lokal yang mandiri).

Anak Muda dan Radikalisme

Andi Rahman Alamsyah
Dalam dua dekade terakhir radikalisme agama menguat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dengan ide utama kembali pada ajaran agama yang ”murni” sebagai satu-satunya pijakan dalam seluruh aspek hidup.

Hal menarik adalah rata-rata yang terlibat dalam gejala itu berusia muda, 17-40 tahun.
Pendekatan psikologi melihatnya sebagai persoalan kejiwaan anak muda saat masa peralihan dari kanak-kanakmenuju dewasa, yang kerap memunculkan berbagai kegalauan. Ajaran agama radikal menawarkan kepastian sebagai solusi mengatasi persoalan itu. Ada pula yang berpendapat bahwa penyebabnya adalah pemahaman keagamaan radikal yang dipelajari anak-anak muda dari berbagai sumber.

Perkembangan teknologi informasi-komunikasi (TIK) yang amat pesat kian memudahkan mereka mempelajarinya. Penjelasan lain menempatkan hal itu sebagai hasil dari persentuhan anak-anak muda dengan kelompok radikal, yang dipermudah dengan prasarana dan sarana transportasi yang relatif baik serta perkembangan TIK.

Ketiga hal itu memang memengaruhi perkembangan radikalisme agama di kalangan anak muda, tetapi tidak menentukan munculnya gejala itu. Faktor utamanya: industrialisasi-modernisasi yang melahirkan kondisi sosial bagi terbentuknya prekariat.

Pemuda dan Pembangunan Pertanian

Oleh : Posman Sibuea

Saat ini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dituntut mampu membawa Indonesia berswasembada beras pada 2017. Sayangnya, dari laporan Sensus Pertanian 2013, pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan.

Selama satu dekade (2003– 2013) jumlah keluarga petani, termasuk kelompok usia muda di dalamnya, menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.

Urbanisasibesar-besaran kaum muda ke kota tak terbendung. Yang mengurusi pertanian di desa tinggal perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia. Lebih ironis lagi, hampir tak ada orangtua dari keluarga petani yang berharap anaknya menggeluti pertanian. Tak mengherankan, kontribusi sektor pertanian makin turun terhadap produk domestik bruto (PDB). Tingginya laju alih fungsi lahan dan menurunnya jumlah tenaga produktif di sektor pertanian membuat produksi padi (2014) menurun 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan dengan tahun 2013 (BPS, 2014).

Merekonstruksi Kemiskinan dan Penyebabnya

opini > duduk perkara > Merekonstruksi Kemiskinan dan Penyebabnya

OLEH: LUHUR FAJAR MARTHA

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik mengumumkan naiknya angka kemiskinan nasional. Meski telah diprediksi demikian sebelumnya, kenaikan ini tetap mengejutkan banyak pihak. Sebabnya ialah bertambahnya orang miskin dalam jumlah yang relatif besar.
Pemulung  bersama anaknya mencari barang bekas di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (12/10). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, Nota Keuangan RAPBN 2016 menargetkan angka kemiskinan 2016 sebanyak 9,0-10 persen dari total penduduk Indonesia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANPemulung bersama anaknya mencari barang bekas di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (12/10). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, Nota Keuangan RAPBN 2016 menargetkan angka kemiskinan 2016 sebanyak 9,0-10 persen dari total penduduk Indonesia.
Dibandingkan dengan kondisi bulan September 2014, jumlah orang miskin di Indonesia pada Maret 2015 meningkat sebanyak 860.000 orang. Dalam lima tahun terakhir, kenaikan ini merupakan kejadian kedua. Sebelumnya, pada September 2013 angka kemiskinan juga meningkat, tetapi tidak sebanyak kali ini.

Kenaikan angka kemiskinan dari 10,96 persen menjadi 11,22 persen ini ditengarai dipicu oleh naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa bulan sebelumnya. Harga BBM yang meningkat mendorong harga bahan makanan serta transportasi turut naik.

Politik Upah Murah


KORAN REPUBLIKA Selasa, 03 November 2015
 
Sejak lima tahun silam, Indonesia selalu diguncang isu pengupahan yang lazim dibarengi unjuk rasa besar-besaran. Perlu dicatat, dalam setiap unjuk rasa bukan hanya pengusaha yang pusing.

Setiap unjuk rasa selalu melalui proses panjang dan rumit, yang pasti akan menyedot banyak energi. Mulai dari rapat, konsolidasi, sampai penggalangan dana dan perizinan. Jika boleh memilih, buruh pun ingin bekerja tenang. Tapi, dalam banyak kasus, unjuk rasa dan mogok terbukti lebih jitu sebagai instrumen pemenuhan hak-hak buruh.

Keampuhan unjuk rasa tergambar dari data upah minimum periode 2010-2015 yang naik signifikan. Grafiknya eksponensial. Rata-rata pertumbuhan upah minimum di Indonesia pasca-2010 selalu di atas 15 persen. Bahkan pada 2013, DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Pasuruan naik masing-masing 43,9 persen, 60,9 persen, dan 37,4 persen. Namun, perlu pula dicatat pertumbuhan itu tetap membuat upah minimum Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Cina, Filipina, dan Singapura.

Menilai Kebijakan Masa Lalu


KORAN REPUBLIKA, Rabu, 04 November 2015, 

Dalam NU Online ada berita bahwa Yahya Staquf dalam sebuah acara menyampaikan, NU keluar dari Partai Masyumi dan menjadi Partai NU untuk mencegah Partai Masyumi menjadi pemenang lebih dari separuh suara pada Pemilu 1955. Alasan lain karena NU tidak setuju tujuan Masyumi menjadikan Indonesia negara berdasarkan Islam.

Saya tidak tahu Yahya Staquf mendapat informasi itu dari mana. Setahu saya saat NU keluar dari Masyumi pada 1952, NU masih memperjuangkan negara RI berdasarkan Islam. Perjuangan itu bisa kita lihat ketika NU bersama Masyumi, PSII, Perti, dan lainnya memperjuangkan negara berdasarkan Islam di persidangan Konstituante 1956-1959.

Perjuangan itu tidak berhasil setelah pada pemungutan suara pendukung negara berdasarkan Islam hanya memperoleh 43 persen suara. Kira-kira, suara Partai Masyumi kalau NU masih bergabung di dalamnya tidak akan jauh dari angka itu.

Monday, November 2, 2015

Masa Depan ASEAN

Andre Notohamijoyo
Gema tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku akhir 2015 sudah sangat nyaring. Berbagai pertemuan dan kajian tentang MEA pun sudah sangat banyak dilakukan. 

Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN, penulis justru tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN tidak pernah dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan seminar. Ada gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai pula persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi demikian? 

Pelajaran dari Gibran

Kurnia JR
Kahlil Gibran diundang ke Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang membahas soal pembebasan negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani. Sang penyair menolak.

Gibran patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di kaki Gunung Cedar.

Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan kuda troya.

Pembangunan Pasca Kapitalis


Fachry Ali
Pertanyaan penting yang melatarbelakangi tulisan ini adalah: dalam situasi perekonomian global di bawah cerpu kapitalisme liberal yang "kian tak stabil", dapatkah negara menawarkan optimisme dengan "model pembangunan pasca elite" yang berpengaruh konstruktif terhadap penguatan demokrasi?

Frasa "kapitalisme yang kian tak stabil" ini terinspirasi gugatan Charles Moore, mantan editor The Daily Telegraph dan penulis biografi Margaret Thatcher (Perdana Menteri Inggris, 1979-1990), terhadap model pembangunan kapitalisme liberal yang sejatinya elitis (elite-biased). Sifat elitis ini terkandung pada pertanyaan Moore dalam tulisannya "The Middle Class Squeeze" (The Wall Street Journal, 28/9/2015): "Apa gunanya kapitalisme jika keuntungannya diperuntukkan kepada segelintir dan risikonya ditanggung banyak kalangan?" Apa, sih, hebatnya globalisasi jika itu berarti barang-barang dan jasa yang Anda tawarkan dijual murah melalui persaingan antar-bangsa dan jutaan orang baru bisa datang ke negerimu, mengambil lapangan kerjamu, dan menikmati tunjangan negara (welfare benefits)?

Dan, gugatan Moore berlanjut: "Jangankan merasa beruntung menjadi orang biasa dari sebuah negeri bebas, banyak dari kita mulai merasa seperti orang-orang yang mudah diperdaya (suckers). Harapan, hal tak terpisahkan dari kemajuan, memudar dan berganti kekecewaan, bahkan kegetiran (bitterness). Selama ini dihayati bahwa peluang senantiasa membawa harga ketakamanan (insecurity), tetapi apa yang terjadi jika ketakamanan itu meningkat, sementara peluang menyusut?"

Sunday, November 1, 2015

Kinerja Komunikasi Politik Jokowi



Kinerja Komunikasi Politik Jokowi

Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:44 WIB

Evie Ariadne Shinta Dewi

Satu tahun sudah pasangan Jokowi Widodo-Jusuf Kalla memegang tampuk pemerintah tertinggi di Indonesia, setelah 70,99 juta orang memilihnya sebagai presiden dan wakil presiden pada helat demokrasi akbar Pemilu 2014.

Masih hangat dalam ingatan bagaimana suasana kampanye dua pasang kandidat pemilu presiden dan wakil presiden Indonesia saat itu yang saling melancarkan aksi komunikasi politik dengan menggunakan berbagai strategi dan media demi memengaruhi konstituennya agar tanpa ragu memilih mereka.

Di balik tingginya intensitas kegiatan kampanye dua pasang calon presiden dan wakil presiden tersebut, tentu ada tim komunikasi yang kinerjanya justru paling menentukan efektivitas pesan yang disampaikan kepada para pemilih. Para ahli konsultan komunikasi masingmasing pasangan berlomba memetakan tiga faktor penting dalam mengelola komunikasi politik yang efektif yaitu formulasi pesan, pemilihan media, serta penentuan target audience.