Usia republik yang tak terasa
sudah 70 tahun seharusnya menjadikannya cukup dewasa dalam mengarungi
samudrakehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang benar kita berhasil melewati badai topan dengan kekuatan
Pancasila—rumusan para pendiri negara yang terbukti melampaui
zamannya—dan menjadi perekat keutuhan bangsa. Namun, pada usia yang
seharusnya sudah membawa kita semakin aktual sebagai bangsa, justru
muncul kecenderungan pragmatisme politik seperti ungkapan do ut des.
Do ut des mengandung pengertian bahwa kita memberikan sesuatu kepada
orang lain karena mengharapkan orang lain pun memberikan sesuatu untuk
kita. Dengan kata lain, kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena
mengharapkan imbalan tertentu. Motif yang terkenal dengan ungkapan ”ada
udang di balik batu”.
Do ut des tidak saja terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga
merasuki kehidupan perpolitikan negeri ini. Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa praktik perpolitikan negeri ini sudah keluar dari
hakikat politik itu sendiri, yakni mengurus segala sesuatu untuk
kepentingan banyak orang. Politik yang hakiki adalah memperjuangkan
kebaikan umum. Sayang, politik kita menjadi medan do ut des.
Negara-negara dengan ekonomi yang
berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi
tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik
masing-masing.
Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom
komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di
sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan
ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang
membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu,
hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan
negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari
resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis
krisis keuangan dunia.
Polisi ojo dumeh, ojo rumongso
biso, nanging biso rumongso (polisi jangan sok, jangan merasa bisa,
tetapi bisalah merasakan). Merasakan dalam arti tidak meremehkan orang
ataupun lingkungannya. Demikian pepatah Jawa mengingatkan.
Setelah
Kepala Bareskrim Komjen Suhardi Alius diganti oleh Komjen Budi Waseso,
panggung media banyak diwarnai oleh "aksi kepolisian". Penangkapan demi
penangkapan dilakukan terhadap koruptor, juga terhadap bandar narkotik,
terorisme, membongkar kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik,
dan sebagainya. Suatu perubahan yang mengesankan dari kemampuan polisi
yang semula biasa-biasa saja menjadi progresif dan militan.
Presiden Joko Widodo meminta
agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing
dihapus. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, permintaan
Presiden Jokowi itu untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia.
"Memang
disampaikan secara spesifik oleh Presiden untuk membatalkan persyaratan
berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia," kata Pramono,
Jumat, 21 Agustus 2015.
Penghapusan persyaratan kemampuan bahasa
Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) oleh presiden ke-7 RI tersebut
jelas merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Mengapa demikian? Kita
tahu, kini bahasa Indonesia merupakan bahasa yang banyak dipelajari
oleh warga ASEAN, juga warga Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Perbatasan suatu negara, bagi
seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri yang tak
dapat dipandang remeh oleh negara lain.
Pasalnya,
karena adanya perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan.
Karena itu, bisa dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum
menjadi presiden, dalam acara debat dengan calon presiden Prabowo
Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya
saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa
ragu melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara
lain.
Meski mengedepankan diplomasi, dia menyatakan siap
bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa lain. "Apa pun akan saya
lakukan jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan,"
katanya saat itu.
Drama panggung partai politik
kembali berlangsung di Australia setelah Tony Abbott dikalahkan oleh
Malcolm Turnbull dalam voting internal Partai Liberal pada 14 September
dengan hasil perolehan suara 54-44.
Hasil voting ini
mengantarkan Turnbull menjadi pemimpin baru Partai Liberal dan sekaligus
menjadi perdana menteri ke-29 Australia menggantikan Tony Abbott yang
baru memerintah selama dua tahun. "Kudeta partai" ini sekaligus menambah
daftar pergantian kepemimpinan di Australia selama kurun waktu lima
tahun terakhir.
Pendahulu Abbott, Kevin Rudd, pernah mengalami
hal serupa tahun 2010, dikalahkan penantangnya dari sesama Partai
Buruh, Julia Gillard. Pada 2013, Kevin Rudd membalikkan posisi dengan
mengalahkan Julia Gillard dalam voting internal Partai Buruh dan kembali
memimpin Australia meski hanya singkat. Dalam Pemilu 2013, Partai Buruh
akhirnya dikalahkan oleh Partai Liberal yang mengantarkan Tony Abbott
menjadi perdana menteri ke-28 Australia.
Setiap menjelang agenda
politik lokal digelar, seperti pemilihan kepala daerah serentak,
sentimen primordialisme pun kembali menyubur. Proses rekrutmen elite,
misalnya penjaringan calon kepala daerah, selalu dikaitkan dengan
semangat reservasi terhadap "putra daerah" (tempatan) dan menolak segala
yang berbau "non-putra daerah"
Dikotomi
"orang kita" dan "bukan orang kita" diapungkan ke pusaran opini
publik. Pada tataran inilah publik sering digiring dan terjebak pada
eksklusivisme politik primordial, menafikan semangat pluralisme dan
multikulturalisme yang melingkupi atmosfer sosial, politik, ekonomi,
dan budaya masyarakat.
Pengabaian terhadap pluralisme dan
multikulturalisme bisa menghambat demokrasi. Karena itu, unsur
akomodatif secara inklusif dalam ranah politik elite menjadi kata
kunci bagi suksesnya demokratisasi di tingkat lokal. Pengingkaran
terhadap aspek-aspek tersebut akan mengaborsi demokrasi yang sedang
tumbuh dan berkembang di daerah.
Setelah 70 tahun merdeka,
bangsa Indonesia perlu membaca ulang moto dan realitas sosial Bhinneka
Tunggal Ika, mengingat masyarakat Nusantara berkembang sangat dinamis.
Tulisan ini diinspirasi oleh buku Beyond Tribalism (2012) oleh
Celia de Anca, mencoba melihat secara kritis kemunculan komunalisme
baru. Istilah tribalisme dalam buku ini dipahami secara netral, positif,
merujuk pada ikatan suku, marga, ataupun hubungan darah. Bukan
tribalisme dalam konotasi kasar, negatif, tidak beradab. Menurut Celia,
sekarang ini di berbagai masyarakat dunia tengah berlangsung proses
mengendurnya ikatan sukuisme tradisional.
Jika dahulu individualitas seseorang seakan hilang melebur dalam
identitas dan ideologi kesukuan, sekarang seseorang justru berusaha
untuk melepaskan diri dari ikatan dan tekanan kesukuan, lalu membangun
komunitas baru dengan mengandalkan kekuatan pribadinya yang ditopang
oleh prestasi keilmuan, profesi, dan jejaring sosial baru.
Tepat pada hari ini, Rabu (23/9), tidak
kurang dari 1,4 juta anggota jemaah haji dari penjuru dunia tengah
berwukuf di padang Arafah.
Secara leksikal wukuf bermakna berdiam, berhenti, di sebuah tempat.
Wukuf adalah bagian dari rukun haji, sebuah ritual wajib dari seluruh
rangkaian ibadah haji yang tanpanya ibadah haji seseorang menjadi tak
bermakna. Kata Nabi Muhammad SAW, al-hajju ’arafah (inti ibadah haji adalah wukuf di padang Arafah).
Pertanyaannya, pesan esoterik apa yang bisa digali dari ibadah haji,
khususnya wukuf di Arafah? Bagaimana agar pesan esoterik tersebut dapat
ditransformasikan ke dalam konteks kekinian di tengah meruyaknya spirit
parokialisme-kauvinisme keagamaan yang membabi buta? Bagaimana cara
mengatasi mengentalnya politik identitas keagamaan yang dimunculkan oleh
gerakan-gerakan radikal seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)?
Jawaban terhadap pertanyaan ini terangkum dalam sebuah frasa:
kosmopolitanisme Islam!
Deforestasi sudah SOS. Diperparah dengan ”penyakit
menahun” kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, kita seperti bukan
bangsa pembelajar.
Problem yang menaik sejak awal Orde Baru itu selalu
berulang dan kini makin memburuk. Kajian komprehensif Lembaga Forest Watch
Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menyimpulkan, tutupan hutan
Indonesia yang pada 1950 masih 162 juta hektar telah menyusut drastis lebih
dari separuhnya, yakni menjadi sekitar 98 juta hektar, pada akhir 1990-an.
Bersamanya, turut susut pula harta karun hayati
Indonesia yang tiada tepermanai. Bayangkan, Indonesia, yang luas daratannya
hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, diyakini memiliki 16 persen dari
semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari
seluruh spesies tumbuhan di dunia. Posisinya yang menjembatani ekosistem Asia
dan Australia—keunikan yang mencengangkan naturalis masyhur asal Britania Raya,
Alfred Russel Wallace (1823-1913)—membuat keanekaragaman hayati dan nonhayati
Indonesia tiada duanya.
Di tengah pelambatan ekonomi nasional, berita
mengendapnya anggaran publik di daerah tentu kurang menggembirakan.
Data dari Direktorat jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan, hingga semester I-2015, baru 25 persen total dana APBD
yang dialokasikan. Secara nominal, dana di tingkat provinsi, kabupaten, dan
kota yang belum dialokasikan bagi pembangunan mencapai Rp 255 triliun. Sebagian
besar disimpan dalam bentuk giro dan deposito di bank pembangunan daerah
ataupun bank komersial.
Dengan asumsi mengendapnya anggaran itu terjadi karena
ketakutan kepala daerah dan otoritas anggaran untuk mengalokasikan dana,
pemerintah kini tengah merancang produk peraturan anti-kriminalisasi pejabat.
Melengkapi UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tiga produk hukum
dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau instruksi presiden
tengah disiapkan untuk menjamin agar otoritas anggaran tidak takut mengambil
inisiatif kebijakan serta memperlancar alokasi anggaran. Bukan rahasia lagi,
banyaknya pejabat daerah yang masuk penjara mendorong aparat "main
aman" dengan menghindari posisi sebagai otoritas anggaran atau hanya
melakukan alokasi kegiatan rutin, bukan kegiatan pembangunan yang bermanfaat
bagi rakyat.
Tujuan Pembangunan Milenium
(MDG) akan berakhir pada 2015, diganti dengan Agenda Pembangunan
Berkelanjutan 2030 atau Agenda Pembangunan Pasca 2015 yang berlaku 1
Januari 2016.
Tanggal 25-27 September 2015, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) akan menyepakati Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Apa tujuan
utama Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030? Di manakah posisi Agenda
Pembangunan Berkelanjutan 2030 dalam percaturan global?
Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia
menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual
Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.
Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang
secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk
selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar
tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.
Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya
pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber
segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak
terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua
berhala”.
Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi,
kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah
pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia
menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.
Didit Putra Erlangga Rahardjo/KOMPAS Para Youtuber berpose pada salah satu sudut di acara Youtube Happy Hour Jakarta, Jumat (26/12/2014).
Oleh Dedy Dahlan @dedydahlan KOMPAS.com - Google pasti punya dukun yang sangat
sakti, atau mungkin intuisi bisnis yang sangat kuat, waktu mereka
memutuskan membeli YouTube pada tahun 2006. YouTube yang pada saat itu
hanyalah sebuah situs kecil independen yang baru berumur setahun, dibeli
dengan harga bombastis 1,65 miliar dollar AS atau setara Rp 23,76
triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS) yang membuat seluruh dunia
kaget. Emang seistimewa itukah?
Namun pertanyaan tentang keistimewaan YouTube itu terjawab dengan
hampir segera, karena sejak pembeliannya hingga saat ini, YouTube telah
menjadi nama terbesar di dunia internet! Nama yang bukan hanya
menghasilkan uang jauh lebih besar untuk Google, tapi juga untuk
sebagian besar penggunanya!
Baik direncanakan atau tidak, YouTube berkembang menjadi semacam
industri tersendiri, dengan pengguna yang dapat menjadikan YouTube
sebagai lahan untuk peluang mendapatkan income, atau bahkan sebagai
profesinya!
Hiruk-pikuk suasana pusat perbelanjaan di salah satu kota satelit
sebagai kota penyangga wilayah Jakarta sama sekali tidak mencerminkan
suasana perekonomian nasional yang sedang muram dihajar mata uang Negeri
Paman Sam.
Tawa dan canda riang pengunjung kafe dan restoran lintas negara seakan
tak ada yang perlu dicemaskan mengenai daya beli masyarakat yang
melemah. Padahal, tak jauh dari pusat perbelanjaan megah yang
bertaburkan penerangan berwarna-warni itu, masih banyak masyarakat yang
sulit memenuhi kebutuhan standar, misalnya untuk makan tiga kali sehari
karena sulitnya mencari pekerjaan setelah mengalami pemutusan hubungan
kerja (PHK) sebagai dampak perlemahan perekonomian nasional.
Banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi
nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. ”Aib
terbesar,” kata Juvenalis, ”ketika kamu lebih mementingkan kehidupan
ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah
kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan- pemikir terbaik bangsa ini,
sejak lama meri- saukan fenomena seperti itu. Dalam catatan harian dari
balik penjara, dengan nama sa- maran Sjahrazad, yang dibukukan dalam Renungan Indonesia,
Bung Sjahrir menulis, ”Bagi kebanyakan orang-orang kita ’yang
bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ’intelektuil’, sebab
di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan
intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ’orang-orang yang bertitel’
itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan
batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan
hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan
dipelihara.”
Dalam penyusunan RAPBN 2016 ada perubahan
mendasar terhadap strategi kebijakan fiskal dan politik anggaran. Salah
satunya yang cukup revolusioner adalah reformulasi kebijakan
penganggaran transfer ke daerah dan dana desa.
Perubahan kebijakan penganggaran transfer ke daerah dan dana desa
(TKDD) pada RAPBN 2016 tersebut tidak hanya bersifat transformasional,
melainkan juga sangat radikal dan fundamental. Selain merupakan
instrumen kebijakan yang tepat dalam mewujudkan misi ”membangun
Indonesia dari pinggiran”, sekaligus lebih memperkuat jati diri
Indonesia sebagai negara yang konsisten melaksanakan asas otonomi daerah
dan desentralisasi dalam wadah NKRI.
Sebagaimana disampaikan Presiden dalam pidato pengantar penyampaian
RAPBN 2016 dan Nota Keuangan 14/8/2015, ada empat langkah perubahan
fundamental dalam kebijakan TKDD mulai 2016. Pertama, meningkatkan
alokasi anggaran TKDD sehingga lebih besar dari anggaran belanja
kementerian dan lembaga (K/L), agar lebih mencerminkan ciri Indonesia
sebagai negara yang menjalankan desentralisasi fiskal penuh.
Ekonom terkemuka Universitas Harvard, Dani
Rodrik, menulis artikel kembalinya kebijakan industrial pasca krisis
hebat 2008. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyebutnya sebagai
cara menciptakan pekerjaan berketerampilan tinggi, sementara Presiden
Perancis kala itu, Nicolas Sarkozy, memaknainya sebagai upaya untuk
mempertahankan pekerjaan di tengah perlambatan perekonomian.
Dalam konteks negara berkembang, Kepala Ekonom Bank Dunia Justin Lin
menyebut kebijakan industrial sebagai upaya mempercepat perubahan
struktural. Argumen Rodrik, kebijakan industrial kembali saat ekonomi
dilanda resesi. Kebijakan industrial pernah dianggap usang seiring
menguatkan Konsensus Washington yang mengharamkan segala macam campur
tangan pemerintah dalam mempromosikan pertumbuhan melalui percepatan
transformasi struktural.
Di Indonesia, argumen sejenis dikenal dengan istilah Hukum Sadli.
Sederhananya, saat terjadi resesi, relaksasi kebijakan industri
diperlukan agar dinamika ekonomi terangkat kembali. Atas argumen inilah,
kebijakan pemerintahan Joko Widodo sering dianggap bercorak anomali;
tatkala perlambatan ekonomi terjadi, justru diikuti dengan serangkaian
pengetatan kebijakan industri. Namun, anomali tersebut berubah haluan
pasca diumumkannya paket kebijakan deregulasi, minggu lalu.
JAKARTA, KOMPAS - Gema takbir di hari kemenangan Idul Fitri
berkumandang di seluruh Nusantara, memberikan harapan untuk menata
kehidupan bernegara mewujudkan kebahagiaan. Dari sekian banyak isu
politik, keputusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor
33/PUU-XIII/2015, yang menyatakan Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, mencemaskan banyak
kalangan karena dianggap semakin menyuburkan politik dinasti.
Dalam perspektif universal, keputusan Mahkamah Konstitusi menjadi
salah satu fundamen mengukuhkan sendi-sendi demokrasi. Namun, sekaligus
juga memberikan isyarat bahwa para pembuat peraturan perundangan harus
mempunyai politik perundang-undangan yang jelas. Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) harus mempunyai kebijakan hukum perundang-undangan
untuk mewujudkan tujuan tertentu. Oleh karena itu, satu undang-undang
dengan undang-undang yang lain harus terintegrasi dalam suatu sistem
yang komprehensif.
Dari sudut pandang ini, politik dinasti adalah akibat dari proses
politik perundang-undangan yang dangkal serta tidak mempunyai paradigma
yang jelas. Tegasnya, absennya niat baik para penyusun undang-undang
menjadi kausa suburnya politik dinasti dewasa ini. Keputusan Mahkamah
Konstitusi menemukan validitasnya karena daya pukul Pasal 7 Huruf r
ternyata sangat mudah dilumpuhkan oleh para petahana dengan mengundurkan
diri agar sanak saudaranya atau kroninya dapat menjadi kandidat
kepala/wakil kepala daerah.
Perspektif tersebut sejalan dengan berbagai kajian politik dinasti
antara lain di negara yang dianggap kampiun demokrasi, Amerika Serikat.
Politik dinasti bukan sebab, melainkan akibat melekat dari hakikat
kekuasaan itu sendiri.
Studi politik dinasti yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal
Bo, dan Jason Snyder (2007) mengenai dinasti politik di Kongres Amerika
Serikat sejak berdirinya tahun 1789 memberikan beberapa catatan.
Pertama, terjadi korelasi antara dinasti politik dan kompetisi politik.
Merebaknya politik dinasti berbanding lurus dengan kompetisi politik
yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi
politik, semakin menyuburkan politik dinasti. Kedua, semakin lama
seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung mendorong
keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan yang cenderung
memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan mereka disebut dengan
power begets power.
Hal yang mirip juga pernah dikemukakan Robert Michel (1911), dengan
teorinya yang disebut hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy).
Intinya, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang demokratis, pemimpin
cenderung mencengkeram kekuasaannya dan menggerogoti prinsip-prinsip
demokrasi. Putnam (1976) juga mengingatkan, elite politik pemegang
kekuasaan cenderung melanggengkan kekuasaan (self-perpetuating) meskipun
mengakibatkan pembusukan terhadap institusi itu sendiri.
Politik dinasti juga semakin meluas karena sistem kekerabatan, seperti favoritisme atau patronase, kroniisme, dan nepotisme.
Kekhawatiran masyarakat sangat dipahami terkait merebaknya dinasti
politik. Ini karena, menurut mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Djohermansyah Djohan, pada tahun 2013 sebanyak 61 kepala daerah atau 11
persen dari semua kepala daerah di Indonesia mempunyai jaringan politik
kekerabatan atau dinasti politik. Bahkan, gejala menguatnya dinasti
politik telah menjebak demokrasi menuju dynast-ocracy (dinastokrasi)
sudah diangkat dalam editorial The Jakarta Post edisi 21 Agustus 2008.
Dalam perspektif kekinian, keputusan Mahkamah Konstitusi
dikhawatirkan membuat politik dinasti semakin sulit dikendalikan. Para
pemegang kekuasaan semakin leluasa membangun imperium dinasti politik.
Hal ini karena praktik demokrasi selama lebih kurang satu setengah
dekade terakhir semakin oligarkis dan proses rekrutmen politik
didominasi oleh kapital. Persaingan elite politik tidak didasarkan atas
kualitas komitmen mereka terhadap kebijakan publik yang memihak rakyat,
melainkan transaksi kepentingan kekuasaan.
Perasaan miris terhadap merajalelanya politik dinasti juga dapat
dirasakan dalam sidang Panitia Kerja Komisi II pada waktu menyusun RUU
Pilkada sekitar pertengahan tahun 2013. Sayangnya, momentum keprihatinan
dan niat baik para pemutus politik untuk mengendalikan laju politik
dinasti tidak disertai dengan perdebatan mendalam. Politik dinasti
dianggap sebagai penyebab rusaknya tatanan demokrasi. Maka, formula
mengontrol politik dinasti adalah kandidat kepala daerah tidak boleh
memiliki konflik kepentingan, yang dikaitkan dengan hubungan
kekerabatan, dengan petahana. Pada titik ini sebenarnya dapat dirasakan
absennya politik perundang-undangan negara dalam menyusun regulasi.
Belajar dari praktik penyusunan regulasi yang tanpa politik
perundang-undangan serta kelihaian elite politik memanipulasi pasal
dalam regulasi, perang melawan politik dinasti harus dilakukan dengan
menyusun atau merevisi undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan
negara, antara lain Undang-Undang Pemilu (Presiden, DPD, DPRD, dan
Partai Politik), secara komprehensif, memakai paradigma yang jelas,
serta sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Namun, keinginan itu hanya dapat terwujud kalau warga negara
berpartisipasi penuh dalam proses politik tersebut. Tanpa dukungan yang
signifikan dari masyarakat, demokrasi di Indonesia akan selalu terjebak
pada ganasnya transaksi kekuasaan yang mengandalkan kapital. Semoga
berkah Hari Kemenangan semakin menjadikan manusia Indonesia berdaulat
atas dirinya sendiri serta mengobarkan semangat bertanding untuk berbuat
baik terhadap sesama.
Bagi seorang antropolog yang
profesinya sehari-hari mengajar mahasiswa mengenai makna budaya dan
kebudayaan, pembahasan yang muncul di surat kabar belakangan ini sangat
menggelikan.
Umpamanya polemik mengenai isi RUU Kebudayaan yang tak kunjung habis.
Ada orang berpendapat bahwa dengan adanya UU tersebut, kebudayaan akan
menjadi beku dan statis. Ada orang lain yang berpendapat bahwa, kecuali
ada UU, hasil kebudayaan—kesenian dan kearifan bangsa—akan cepat musnah.
Memandang perselisihan ini, para antropolog menggeleng-gelengkan
kepala: seakan-akan pemikiran yang mereka kemukakan selama puluhan
tahun, baik di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku dan esai-esai,
tak pernah sampai ke khalayak ramai.
Hasil kajian yang menyatakan
Islam kompatibel dengan demokrasi semakin banyak pada pengujung abad
ke-20 dan mencapai puncaknya dari tahun 2010 hingga awal 2013. Pengakuan
terhadap demokrasi di kalangan kelompok-kelompok politik Islam juga
semakin luas.
Keterlibatan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dalam pemilu secara
terbatas melalui wakil-wakil personalnya, sejak tahun 1980/1990-an,
semakin meningkatkan persepsi positif kelompok Islam terhadap demokrasi,
setidaknya terhadap ”pemilu”. Setelah tumbangnya Hosni Mubarak yang
menempatkan kelompok itu menjadi kelompok paling potensial untuk
berkuasa, penegasan terhadap kompatibilitas Islam dan demokrasi jadi
begitu kuat.
Para tokoh Ikhwan ataupun partai bentukannya, hizb al-hurriyah wal
’Adalah, menggelorakan kompatibilitas Islam dan demokrasi ini, termasuk
ulama panutannya, Yusuf Qardhawi. Dan, keberhasilan mereka memegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif Mesir melalui Pemilu 2012 membuat
mereka merayakan capaian tersebut bak pesta perkawinan di antara dua
makhluk berbeda, Islam dan demokrasi.
Setelah Komisi Pemberantasan
Korupsi dan majalah Tempo, kini giliran Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dikriminalkan. Begitu informasi yang diturunkan sejumlah media
massa pada akhir pekan lalu.
Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri melaporkan semua anggota Komnas
HAM atas tuduhan telah melakukan pelecehan dan fitnah terhadap para
penyidik melalui media massa karena memublikasikan hasil
penyelidikannya.
Betapapun membungkus langkah tersebut sebagai suatu upaya hukum, tetap
saja muncul pertanyaan: ada apa dengan kepolisian? Apakah tersebab
masalah calon pemimpin tertingginya dibatalkan Presiden, lantas semua
pihak yang dianggap tak sejalan justru diadukan atau dilekati tuduhan
melanggar hukum? Terlebih pihak yang melaporkan adalah penyidik Polri.
Fakta itu semakin meyakinkan publik betapa Polri tidak sedang dalam
keadaan normal.
Cerita Pagi
Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka
Sindo
Hasan Kurniawan
Senin, 7 September 2015 − 05:05 WIB
TIDAK biasanya Presiden Soekarno meminta dokter pribadinya dr Soeharto
menyiapkan ruangan khusus untuk menerima seorang tamu penting di rumahnya,
Jalan Kramat Raya, No 28, Jakarta.
Pertemuan itu dilangsungkan dengan sangat rahasia, di hari pertama Hari Raya
Idul Fitri 1945 atau 9 September 1945. Dengan diantar ajudan pribadinya,
Soekarno datang lebih dahulu ke rumah dr Soeharto.
Tidak berselang lama, tokoh pemuda Sajoeti Melik datang bersama rekannya menggunakan
sepeda. Pria itu mengaku bernama Abdulradjak dari Kalimantan. Inilah tamu
penting yang ditunggu Soekarno.
Tetapi siapakah dia? dr Soeharto tidak pernah mengetahuinya. Mereka lalu
diantar menuju kamar belakang rumahnya, di mana Soekarno sudah menunggu di
dalam. Keduanya pun langsung masuk ke ruangan.
Koran SINDO
Rabu, 9 September 2015 − 12:36 WIB
Langkah Kuda PAN
Abd Rohim Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Umum Forum
Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM)
Jika panggung politik diumpamakan papan catur, keputusan Partai Amanat Nasional
(PAN) untuk bergabung dengan pemerintah ibarat langkah kuda, tidak lurus dan
zig-zag.
Tidak lurus karena dianggap melenceng dari kesepakatan bersama Koalisi Merah
Putuh (KMP); zig-zag karena meskipun telah menyeberang namun mengaku kakinya
tetap di KMP. Sejatinya, apa yang ditempuh PAN sudah bisa dibaca sejak Kongres
IV di Bali yang menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum.
Seperti kita ketahui, kemenangan mantan Menteri Kehutanan ini tidak lepas dari
dukungan Soetrisno Bachir, ketua umum PAN 2005- 2010, yang pada pemilu presiden
lalu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tanpa dukungan Soetrisno
Bachir, Zulkifli Hasan bisa jadi kalah dari Hatta Rajasa yang merupakan mentor
politiknya.
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Kretek, however, is more than simply an exotic cigarette and economic
phenomenon, it is an integral part of Indonesiaintegral part of Indonesias
cultural tradition. (Mark Hanusz)
Mark Hanusz dan Pramudya Ananta Toer; dua sosok pribadi, yang satu hidup di
dunia kemegahan uang dan yang satu lagi seniman besar yang hidup di dunia ide.
Usaha untuk membuat kedua bertemu kelihatannya merupakan sesuatu yang mustahil.
Jika kita hanya melihatnya secara sepintas lalu, akan segera jelas bahwa Mark,
seorang bankir, dan Pram, sastrawan terkemuka, niscaya tidak akan cocok satu
dengan yang lain. Keduanya mungkin memang tidak bisa bertemu secara hangat
untuk berbicara tentang hidup.
Koran SINDO
Rabu, 9 September 2015 − 12:36 WIB
A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Sejarawan Edward Gibbon dalam The History of the Decline and Fall of the Roman
Empire mengatakan bahwa degradasi moralitas yang ditandai dengan semakin
menjamurnya gejala hidup mewah nan berlebihan merupakan penyebab utama
hancurnya sebuah negara.
Dia lebih lanjut berkesimpulan bahwa tanda utama kemunduran sebuah peradaban
adalah ketika terjadi disparitas yang begitu tinggi antara kaum elite dan
rakyat biasa. Gejala itu nampaknya sudah kita temui akhir-akhir ini. Jika
melihat pola hidup para elite negeri ini, tentu yang terbayang di benak kita
adalah citra kemewahan yang sangat serta gaya hidup yang lebih mementingkan
”libido duniawi”.
Jack Ma (50) tidak pernah menjadi juara di sekolah.
Dia berulang kali mengalami penolakan. Dia pernah ditolak masuk universitas.
Berulang kali pula dia melamar pekerjaan dan ditolak berbagai perusahaan. Tak
seorang pun yakin dengan masa depan Jack Ma. Namun, lelaki kelahiran Hangzhou,
Tiongkok, ini tidak pernah menyerah.
Jack Ma, pendiri dan Pemimpin Alibaba.com, perusahaan
e-dagang asal Tiongkok, menjadi orang terkaya di Tiongkok setelah penjualan
saham perdana Alibaba di bursa Amerika Serikat mencatat rekor 25 miliar dollar
AS pada September 2014. Dia menjadi orang Tiongkok daratan pertama yang masuk
dalam daftar orang terkaya dunia versi majalah Forbes.
Jack Ma kini menjadi contoh inspirasi bagi banyak
orang yang memulai e-dagang. Pelajaran yang dapat dipetik dari seorang Jack Ma
adalah dia tumbuh dari kehidupan yang sangat miskin dan dia bukan seorang juara
di sekolahnya. Dia pernah tiga kali gagal masuk ke universitas, namun terus
mencobanya sampai berhasil.
Jakarta - Penurunan kinerja ekonomi dan perlambatan pertumbuhan
ekonomi global memang terjadi di hampir semua negara. Namun apakah
perlambatan ekonomi Indonesia semata-mata hanya disebabkan oleh pengaruh
faktor eksternal atau karena adanya salah kelola dari sisi internal?
Tidak
dapat dimungkiri, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor
konsumsi, yaitu sekitar 62,62 persen. Sampai triwulan II 2015,
berdasarkan harga konstan 2010, porsi peran konsumsi rumah tangga masih
sangat dominan, 54,67 persen, pemerintah 7,9 persen, dan lembaga
nonprofit 1,08 persen. Sementara, porsi investasi yang tercermin dari
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 31,69 persen, ekspor 22,56 persen,
dan impor 21,13 persen, sehingga porsi net ekspor sebesar 1,43 persen.
Dari data tersebut, sangat gamblang untuk mendeteksi sumber utama penyakit yang menjadi "biang kerok" perlambatan ekonomi.
Perayaan hari raya Idul Fitri atau biasa disebut Lebaran di Indonesia
bisa dibilang cukup unik. Lebaran tidak hanya berdimensi religius,
tetapi juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, dan ekonomi.
Eratnya sistem kekerabatan dan hubungan kekeluargaan menjadikan Lebaran
sekaligus sebagai momentum silaturahim ”massal”.
Budaya saling berkunjung antarsanak saudara dan handai tolan memiliki
implikasi langsung terhadap kegiatan ekonomi. Bagaimana tidak, hampir
setiap rumah tangga seolah ”wajib” menyediakan berbagai hidangan khas
Lebaran. Bukan itu saja, Lebaran juga sering identik dengan baju baru,
bahkan tak jarang berbagai perlengkapan rumah tangga yang harus baru
sampai kendaraan baru. Karena itu, tak jarang pada saat Lebaran kegiatan
pegadaian dan pembiayaan kredit mengalami peningkatan cukup signifikan.
Sebenarnya, meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat tersebut
semestinya justru dapat dimanfaatkan sebagai sumber peningkatan
produktivitas nasional. Apalagi jika pemerintah mampu memberikan
berbagai stimulus dan insentif kepada dunia usaha, tentu akan semakin
mendorong efisiensi sehingga mampu memacu produksi. Demikian juga jika
terdapat langkah-langkah antisipatif guna mendorong ketersediaan
berbagai komoditas pangan penting. Terutama bahan pangan yang
permintaannya pasti meningkat saat Lebaran, seperti beras, gula, cabai,
daging, dan telur.
Dengan demikian, meningkatnya permintaan masyarakat setiap Ramadhan dan
Lebaran tidak akan diikuti fluktuasi harga. Alhasil, Lebaran justru
menjadi momentum peningkatan produktivitas, tetapi tanpa harus disertai
tekanan inflasi. Lebaran justru memacu kinerja sektor riil dan momentum
mengurangi ketergantungan impor.
Lebaran yang juga selalu diikuti oleh tradisi mudik terus berlangsung
turun-temurun. Jumlah pemudik Lebaran kali ini diperkirakan mencapai 20
juta orang. Tradisi mudik merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Pemusatan kegiatan pembangunan yang terkonsentrasi di kota-kota besar
telah mendorong arus urbanisasi dari seluruh pelosok negeri menyerbu
kota-kota besar. Hampir semua sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
tidak ada yang tertinggal di desa. Akibatnya, desa dan daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah justru tertinggal.
Terbatasnya SDM berkualitas di desa memicu ketimpangan pembangunan
desa-kota semakin melebar.
Jembatan mengurai kesenjangan
Momentum mudik mestinya dapat menjadi jembatan untuk mengurai
kesenjangan pembangunan desa-kota. Para urban yang telah berhasil di
kota-kota besar dapat memberikan transfer informasi, pengetahuan, dan
berinvestasi di kampung halamannya melalui usaha-usaha produktif.
Setidaknya, Lebaran 2015, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang tunai
baru sekitar Rp 125 triliun. Artinya, terdapat perputaran uang tunai dan
potensi transfer dana dari kota ke desa yang mencapai lebih dari Rp 100
triliun. Sayangnya, perputaran uang itu hanya untuk kegiatan yang
bersifat konsumtif belaka. Bahkan, sebagian besar tersedot untuk
memenuhi kebutuhan transportasi dan pengeluaran bahan bakar minyak (BBM)
karena tradisi kemacetan arus mudik yang tak kunjung terselesaikan.
Keberhasilan pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sekalipun
ternyata belum mampu memutus persoalan pemborosan konsumsi BBM akibat
kemacetan arus mudik di jalur pantai utara Jawa.
Semestinya pemerintah mengantisipasinya dengan menyediakan sarana
transportasi yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Minimal berbagai
alat transportasi yang di bawah kendali BUMN dapat dioptimalkan, seperti
PT Kereta Api Indonesia, Damri, Pelni, dan Garuda Indonesia, justru
diberikan insentif, bukan malah ikut dinaikkan. Strategi ini minimal
akan menekan kenaikan ongkos transportasi angkutan Lebaran, terutama
mengendalikan kenaikan ongkos transportasi yang dilakukan angkutan
swasta. Artinya, laju inflasi yang disumbang dari transportasi dapat
dikendalikan. Tidak hanya itu, jika porsi pengeluaran pemudik untuk
transpor dapat dikurangi, tentu potensi peningkatan daya beli masyarakat
untuk menggerakkan sektor produksi akan semakin meningkat.
Pengeluaran pemudik di desa mempunyai dampak langsung menggerakkan
ekonomi desa. Apalagi jika pemerintah daerah mempunyai cukup kreativitas
mengoptimalkan sumber daya pemudik sebagai putra daerah untuk membangun
kampung halamannya melalui investasi jangka panjang. Ketersediaan dana
desa yang akan digelontorkan kepada setiap desa dapat menjadi modal awal
untuk meningkatkan kapasitas ekonomi di desa. Dana tersebut akan
semakin optimal jika pemerintah daerah atau desa dapat menggandeng putra
daerah untuk menumbuhkan berbagai usaha produktif di desa. Jika potensi
ekonomi desa dapat dikelola dan dibangun, bukan hal mustahil segera
akan terjadi arus reurbanisasi dari kota ke desa.
Sayangnya, pengelolaan tradisi Lebaran sampai tahun ini sama sekali
belum ada perubahan. Sejak menjelang Ramadhan, berita utama yang
menghiasi semua media tetap saja kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan
pokok. Padahal, jika stabilisasi harga kebutuhan pokok dapat dijaga,
niscaya daya beli masyarakat dapat meningkat sehingga dapat
mengembalikan kemampuan konsumsi rumah tangga. Lebaran dapat dijadikan
momentum untuk kembali menggairahkan kelesuan ekonomi.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di
halaman 15 dengan judul "Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi".
Presiden Joko Widodo agaknya kembali melakukan kebijakan yang bagi
sebagian kalangan disebut blunder. Kali ini ketika Jokowi memerintahkan
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama BPJS
Ketenagakerjaan Elvyn Masassya (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian
tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan
Hari Tua. Padahal, PP itu belum lama ditandatangani Presiden, persisnya
30 Juni 2015.
Revisi PP JHT tampaknya terkait erat dengan protes dan demonstrasi kaum
pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka
berdemo tidak hanya di tengah puasa Ramadhan yang panas, tetapi juga
mengancam bakal mengerahkan massa besar awal Agustus 2015.
Perdebatan menjemukan pemilihan kepala daerah serentak dewasa ini
terjebak hanya di sekitar masalah yang berkaitan dengan intrik politik,
seperti dugaan upaya mengganjal pilkada karena partai belum siap akibat
kepengurusan rangkap; usul agar pilkada ditunda karena
pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum di daerah tidak beres, anggaran
yang belum keluar, dan isu yang paling panas adalah fenomena calon
tunggal. Membiarkan perdebatan terperangkap pada isu periferi akan
semakin membuat perpolitikan nasional masuk dalam pusaran turbulensi
politik yang mengacaukan kiblat politik. Arah perdebatan menjadi
pragmatis sensasional, bukan substansi yang seharusnya menjadi arah
penyempurnaan penyelenggaraan pilkada yang komprehensif.
Oleh sebab itu, sebaiknya perbincangan harus mengacu kembali kepada
khitah atau garis haluan perjuangan bangsa sehingga pilkada dapat
dilakukan secara langsung. Pertama, pilkada mewujudkan pemerintahan
daerah yang efektif, melembagakan dan memperdalam demokrasi lokal.
Pemilu lokal bukan sekadar demokrasi ritual yang memuja prosedur politik
melegitimasi penguasa, melainkan bagian dari pendidikan politik rakyat.
Publik pun semakin sadar bahwa hak memilih selalu sejalan dengan
kewajiban dan kemampuan mengontrol penguasa daerah secara terus-menerus.
Pada 5 Agustus 2015, banyak pihak cukup terkejut dengan rilis dari
Badan Pusat Statistik. Optimisme masyarakat terhadap perbaikan kinerja
ekonomi pada triwulan II-2015 pupus sudah. Padahal, banyak kalangan
meyakini, kendati pertumbuhan triwulan II-2015 sulit mencapai 5 persen,
setidaknya akan lebih baik daripada triwulan I-2015.
Minimal ada empat alasan potensi perbaikan ekonomi pada triwulan
II-2015. Pertama, anggaran pemerintah sudah selesai dibahas pada akhir
April 2015 dan pemerintah sudah berjanji akan mempercepat anggaran sejak
Mei 2015.
Banyak orang bertanya, kapan perekonomian mencapai titik nadir dan
kembali bangkit? Tak mudah menjawabnya. Dinamika pasar modal dan pasar
uang menunjukkan kita belum menyentuh dasarnya. Indeks Harga Saham
Gabungan pada akhir minggu lalu mulai naik ke level 4.800-an setelah
menyentuh level 4.700-an. Namun, tak ada yang bisa memastikan tak akan
melorot lagi. Sementara nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi
hingga menyentuh Rp 13.500-an per dollar AS pada akhir perdagangan pekan
lalu.
Meski dinamika perekonomian masih tak menentu, paling tidak persepsi
publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai membaik.
Survei berkelanjutan Litbang Kompas yang dimuat secara serial
sejak Senin (27/7/2015) menunjukkan adanya ”titik balik” pemerintahan
Jokowi yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Pada Januari 2015
tingkat kepuasan publik berada pada angka 61,7 persen, merosot menjadi
53 persen pada April dan kembali naik ke 57 persen pada survei bulan
Juli.
Citra Presiden juga mengalami pembalikan siklus. Jika pada Januari
angkanya 89,9 persen, pada April turun menjadi 65,2 persen, tetapi bulan
Juli kembali naik pada 80,5 persen. Dengan begitu, bisa dikatakan, di
mata publik, popularitas Jokowi yang sempat terpuruk perlahan mulai naik
kembali.
Secara lebih rinci, persepsi positif masyarakat terjadi akibat
perbaikan bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial.
Sementara masalah hukum dan ekonomi masih menjadi catatan buruk. Dari
situ, fokus agenda kerja ke depan sangat jelas arahnya, yaitu membenahi
sisi hukum dan ekonomi. Di bidang ekonomi, masalahnya memang kompleks.
Selain persoalan depresiasi nilai tukar dan gejolak di pasar modal,
persoalan di sektor riil juga semakin merisaukan.
Laporan keuangan semester I-2015, banyak perusahaan mengonfirmasi
pelambatan ekonomi. Di antara kelompok bank besar, PT Bank Negara
Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan penurunan kinerja paling besar dengan
penurunan laba 50,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Sementara laba PT Bank Mandiri (BMRI) Tbk hanya naik tipis 3,5
persen dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hanya naik 1,19 persen.
Penjualan motor dan mobil terkoreksi tajam sehingga laba PT Astra
Internasional Tbk (ASII) turun 18 persen. Permintaan kebutuhan pangan
juga turun sehingga laba PT Indofood Sukses Makmur (INDF) terkoreksi
sekitar 25 persen. Bahkan, penjualan rokok pun melambat. Laba PT Gudang
Garam Tbk (GGRM) turun sekitar 11 persen.
Penurunan permintaan tak hanya dialami kelompok bawah, tetapi juga
menengah atas. PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik gerai Ranch
Market, Farmer Market, dan Ministop, mengalami penurunan laba 34 persen.
Jika kelompok atas saja melambat, apalagi permintaan kelompok menengah
bawah. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pemilik gerai Alfamart,
mengalami penurunan laba hingga 57 persen. Secara singkat, pelambatan
sudah menyentuh jantung perekonomian kita.
Dinamika pasar keuangan telah merembet ke sektor riil. Selain persoalan
stabilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan ekonomi juga
menjadi tantangan amat serius bagi pemerintah. Seandainya belanja
pemerintah bisa didorong secara maksimal sekalipun, belum tentu
pertumbuhan akan terangkat tahun ini, mengingat guncangan pada sektor
keuangan masih terus terjadi. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tak
akan lebih dari 5 persen tahun ini.
Meski begitu, dalam survei Kompas ditunjukkan betapa
pemerintah di bawah Presiden Jokowi dianggap berhasil mengendalikan
harga, memeratakan pembangunan antarwilayah, mengembangkan pasar
tradisional, mewujudkan swasembada pangan, serta memberdayakan petani
dan nelayan. Sementara persoalan besar ada pada pengendalian nilai
tukar.
Bahkan, untuk variabel memeratakan pembangunan antarwilayah serta
mengembangkan pasar tradisional, angka kepuasannya melampaui angka
survei bulan Januari. Angka kepuasan dalam hal mengembangkan pasar
tradisional, jika bulan Januari berada pada 62,6 persen, sempat turun
sedikit menjadi 62 persen pada April dan melejit menjadi 68,9 persen
pada Juli. Artinya, masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap
upaya pemerintah dalam program-program kesejahteraan rakyat. Dalam hal
ini, ”intervensi” yang dilakukan Jokowi berhasil baik.
Melihat fakta ini, tak berlebihan jika secara umum pemerintahan Jokowi
masih menjanjikan. Inilah momentum sangat baik bagi Jokowi untuk
mengonsolidasikan pemerintahan agar lebih solid, efektif, dan terus
menciptakan kinerja positif. Tantangan jangka pendek kenaikan suku bunga
The Fed yang diperkirakan akan terjadi pada September nanti menjadi
ujian penting. Jika berhasil dilalui, dan kecemasan pasar mereda, di
situlah ruang pelonggaran moneter terbuka. Suku bunga bisa sedikit
diturunkan dan pelambatan ekonomi tak berlanjut.
Harapannya, baik persepsi publik maupun pemburukan ekonomi sama-sama
telah melewati titik nadir. Sekarang saatnya berbenah menyiapkan
momentum 2016 di mana perekonomian bisa lebih ekspansif. Dalam konteks
inilah penataan ulang kabinet harus ditempatkan.
A Prasetyantoko, Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2015, di
halaman 15 dengan judul "Mencari Titik Nadir Perekonomian".
Satu lagi buku menarik tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba.
Judil menduduki posisi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia
(DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru (Orba) karena didakwa terlibat
Malari.
Seperti halnya biografi, buku ini bercerita tentang sosok
Judil yang dikenal sebagai aktivis politik sejak mahasiswa sampai kini.
Ia konsisten mengkritisi Orba tidak hanya saat menimba ilmu kedokteran
di UI, tetapi juga setelah itu melalui Petisi 50.
Risiko dan
penderitaan yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara
atau dibuntuti aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya
sebagai dokter pun dicabut.
Judil membuat gempar panggung politik
ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi pesaing
Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil
melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun
1998.
Krisis selalu berulang dengan pola sama meski
pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya,
dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya, This Time is Different
(2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap
penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan
penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama.
Namun,
tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini
akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada
banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.
Minggu
lalu, nilai tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS
kendati di akhir pekan ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat
gejolak 2008, nilai tukar melemah hingga mencapai titik terendah pada
November 2008, yakni Rp 12.400 per dollar AS. Adapun pada krisis 1998,
sesuai catatan Bank Indonesia, titik terendah pada akhir Juli, yakni Rp
14.900 per dollar AS.
Petani sebagai pemegang saham mayoritas bangsa tidak
terwakili dalam sistem politik Indonesia.
Ini tergambar dari sedikitnya 15 undang-undang yang
melawan kepentingan petani, dan hanya satu undang-undang yang jelas- jelas
berpihak kepada petani, dengan nasibnya yang tersia-sia.Inilah penyebab utama
kemiskinan dan pemiskinan petani.Karena itu, diperlukan revolusi dalam sistem
perwakilan kita.
UU yang memiskinkan
Berita utama Kompas, 26/4/ 2010, pernah mengungkapkan
anjloknya nilai tukar petani yang disertai dengan menurunnya penguasaan lahan.
Padahal, ada sekitar 25 juta rumah tangga petani yang memproduksi nilai tidak
kurang dari Rp 258,2 triliun per tahun melalui produk pangan, seperti padi,
jagung, kedelai, ubi kayu, dan sebagainya.
Banyak petani menengah dengan rata-rata penguasaan
lahan 2 hektar jatuh menjadi petani miskin dengan rata-rata penguasaan lahan
kurang dari setengah hektar.Pada gilirannya, petani yang miskin ini pun
terperosok menjadi buruh tani.
Seandainya
korupsi di Indonesia tidak parah, seandainya perusahaan-perusahaan
milik negara tidak dijadikan sapi perah oleh para politikus, seandainya
para direksi dan komisaris Pertamina memiliki rekam jejak yang tak
tercela, maka penjualan tanker raksasa Pertamina adalah perkara jamak.
Seandainya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini
berperilaku terpuji, seandainya mereka tak kerap bepergian ke luar
negeri yang lebih banyak unsur melancongnya ketimbang mengemban tugas
negara, seandainya mereka tak pernah menerima amplop, maka kunjungan
anggota DPR ke Korea Selatan dan Hongkong niscaya tak perlu diusik.
Di tengah integrasi perekonomian dunia, tentu tidak ada satu negara pun
yang mampu mengisolasi diri dari berbagai dampak pelambatan ekonomi
global. Besar transmisi pada gejolak perekonomian domestik tergantung
dari struktur ekonomi, karakteristik, dan daya tahan setiap negara.
Faktor yang tak kalah menentukan adalah respons kebijakan dan strategi
memanfaatkan peluang. Menghadapi pelemahan nilai tukar, misalnya,
beberapa negara, seperti Tiongkok dan Vietnam, justru memanfaatkannya
sebagai strategi memitigasi pelambatan pertumbuhan ekonomidomestik
melalui momentum mendorong ekspor.
Hal yang sama semestinya dapat dilakukan Indonesia. Penurunan harga
komoditas harus segera dimanfaatkan untuk mendorong industri pengolahan.
Saatnya Indonesia menghentikan menjual komoditas primer dan fokus
membangun industri hulu, industri substitusi impor, dan industri hilir.
Anjloknya harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat
dioptimalkan untuk melakukan hilirisasi industri. Sementara rendahnya
harga komoditas pertambangan merupakan momentum memperkuat industri hulu
atau industri dasar. Jika segera dilakukan, tidak hanya melepaskan
ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor, tetapi
sekaligus dapat mengubah kiblat kebijakan industri. Ke depan, Indonesia
berpeluang menjadi negara industri berbasis daya saing yang tinggi.
Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota parlemen
Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesal- kan. Memperkenalkan
Setya dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan
dukungan (endorsement) ”sahabatnya yang merupakan salah satu di antara orang sangat berkuasa” dari Indonesia.
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam konteks
politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap di
Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya
pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary Tanoesoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.
Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement),
mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang membawa nama
dan lembaga terhormat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya
sepatutnya bertemu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai
Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.
Publik harus diberitahu mana lembaga survei yang independen dan mana yang menjadi bagian tim sukses.
ist dok
Ada lembaga survei yang hasil-hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi,
tapi ada juga yang prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei
yang benar-benar objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional
yang disewa partai politik atau kandidat yang objektivitasnya
dipertaruhkan.
Sejak era Reformasi,
hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan -atau
bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu kepala daerah tingkat
kabupaten/kota hingga pemilu presiden/wakil presiden, lembaga survei
senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal
kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat
setelah pemilu dilangsungkan.
Sepanjang dilakukan secara benar dan objektif, lembaga survei punya
peranan yang konstruktif, antara lain untuk menambah kegairahan
pelaksanaan pemilu sehingga para pemilih tertarik dan mau datang ke
bilik suara. Lembaga survei punya peran besar, terutama dalam
memprediksi hasil pemilu. Hasil prediksi inilah yang kemudian direspons
publik, terutama para pengamat hingga pelaksanaan pemilu menjadi ajang
yang menarik perhatian.
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong
Dalam
acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah
yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon
presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi
kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri
atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta
pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.
Dengan
mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik,
organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi
netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke
pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini
dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.